Hotel Sultan Jakarta Dikosongkan, Apa Alasannya?

Hotel Sultan yang berdiri di kawasan Gelora Bung karno kini resmi dikosongkan. Hotel bintang lima tersebut dikenal sebagai hotel swasta yang telah berdiri selama puluhan tahun di atas lahan milik negara.

oleh Natasa Kumalasah Putri diperbarui 05 Okt 2023, 12:16 WIB
Diterbitkan 05 Okt 2023, 12:06 WIB
Hotel Sultan
"Hari ini kita lakukan prosesi pengosongan, tapi dengan cara yang sangat persuasif. Dari kami memasang spanduk, kemudian plang pengumuman bahwa lahan di blok 15 ini yang sekarang ada Hotel Sultan ini adalah termasuk dalam HPL Nomor 1/Gelora yang dimiliki oleh Kementerian Sekretariat Negara, PPKGBK," kata Setya dalam konferensi pers, Rabu (4/10). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Bandung - Pihak Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat mengerahkan sekitar 100 personel untuk melakukan pengamanan di lahan Hotel Sultan Jakarta, pada Rabu (4/10/2023). Lahan seluas 13 hektare di kawasan Gelora Bung Karno (GBK) tersebut ternyata tengah dilakukan pengosongan.

Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Komarudin membenarkan kegiatan pengamanan tersebut. Ia menjelaskan pengamanan dilakukan untuk mengantisipasi adanya potensi gangguan ketika proses pengosongan lahan.

"Kami siapkan konsep pengamanan untuk kegiatan di GBK termasuk memasak patok atau pelang di sana, tentunya kehadiran kami di sini untuk memastikan bahwa tidak ada potensi-potensi ataupun gangguan terhadap kegiatan tersebut,” ujarnya mengutip dari Antara.

Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto sebelumnya menjelaskan alasan pengosongan tersebut. Salah satunya karena Hotel Sultan di kawasan GBK kini telah resmi kembali menjadi milik negara.

"Status Hak Guna Bangunan (HGB) Kawasan Hotel Sultan, Gelora Bung Karno (GBK) atas nama PT Indobuildco resmi berakhir. Kawasan tersebut kini statusnya kembali dikuasai oleh pemerintah berdasarkan Hak Pengelolaan (HPL) atas nama Sekretariat Negara Republik Indonesia," ujarnya.

Hadi menjelaskan jika HGB Nomor 26/Gelora dan HGB Nomor 27/Gelora atas nama PT Indobuildco telah berakhir pada 4 Maret 2023 dan 3 April 2023. Sehingga otomatis status tanah kembali pada HPL Nomor 1 Tahun 1989 atas nama Sekretariat Negara Republik Indonesia.

"Ini berawal dari kepemilikan HGB dari tahun 1973 dengan jangka waktu 30 tahun, sehingga HGB berakhir pada 2003. Lalu, di tahun 1989, dikeluarkan HPL Nomor 1/Gelora tahun 1989 atas nama Sekretariat Negara Republik Indonesia oleh Kantor Pertanahan Jakarta Pusat. Setelah perpanjangan HGB hingga tahun 2023, kini HGB tersebut resmi berakhir," ujarnya.

Sejarah Hotel Sultan

Hotel Sultan di Kawasan Gelora Bung Karno (GBK)
Hotel Sultan di Kawasan Gelora Bung Karno (GBK). (Ady Anugrahadi/Liputan6.com).

Perlu diketahui, Hotel Sultan merupakan salah satu hotel tua di Jakarta dan sudah dikelola selama puluhan tahun. Hotel berbintang lima ini ternyata merupakan hotel milik swasta yang dibangun di atas tanah negara.

Hotel ini dikelola oleh PT Indobuildco dan direktur utamanya adalah Pontjo Sutowo yang dikenal sebagai anak Direktur Pertamina era Orde Baru Ibnu Sutowo. Pengelolaan hotel ini sempat menimbulkan kontroversi terutama terkait berdirinya hotel swasta di lahan milik negara.

Salah satu kontroversinya telah terjadi sejak 1971, di mana saat itu Jakarta menjadi tuan rumah untuk konferensi pariwisata se-Asia Pasifik. Pada tahun tersebut, hotel di Jakarta belum cukup untuk menampung delegasi dari berbagai negara.

Ada sekitar 3.000 orang yang menghadiri acara bertaraf internasional tersebut di Jakarta. Alhasil, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin saat itu mengajukan permohonan kepada Pertamina untuk mendirikan hotel di Jakarta.

Diketahui saat itu, PT Pertamina adalah perusahaan negara yang berada di puncak kejayaannya sebagai perusahan minyak terbesar. Sehingga hal tersebut menjadi alasan Ali Sadikin meminta permohonan kepada Pertamina.

Merasa Tertipu

Ali Sadikin
Ali Sadikin

Adapun pembangunan hotel dilakukan oleh PT Indobuild Co pada 1973. Diketahui ternyata perusahaan tersebut bukan perusahaan negara di bawah Pertamina. Alhasil, hotel tersebut menjadi hotel swasta yang dibangun di lahan negara.

Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin kala itu merasa bahwa dirinya tertipu karena memberikan izin tersebut. Ia awalnya menduga hotel tersebut milik Pertamina, tetapi ternyata milik keluarga Ibnu Sutowo.

Saat itu, hotel tersebut turut bekerja sama dengan jaringan hotel internasional Hilton Hotels Corporation. Sehingga, Hotel Sultan lebih dikenal dengan nama Hotel Hilton sebelum akhirnya kerja sama tersebut berakhir sejak 2006 dan berganti nama seperti sekarang.

Selain itu, kontroversi sempat terjadi ketika pemerintah memberikan izin pihak swasta membangun dan mengelola bangunan di lahan negara. Adapun PT Indobuild Co diberikan Hak Guna Bangunan (HGB) selama 30 tahun.

Melalui banyak tarik dan ulur selama puluhan tahun, kini pengelolaan di Hotel Sultan mulai dimenangkan oleh pemerintah. Adapun saat ini proses pengosongan Hotel Sultan di Gelora Bung Karno resmi dilakukan.

Lantas Siapa Ibnu Sutowo?

Ibnu Sutowo merupakan dokter militer Indonesia yang kemudian diangkat menjadi Direktur Utama PT Pertamina pertama pada 1957. Ia menjabat menjadi direktur selama dua periode sampai akhirnya didepak karena diduga melakukan korupsi di Pertamina.

Saat menjadi dokter perwira, Ibnu Sutowo dikenal sebagai dokter yang sangat andal dan pernah melakukan amputasi tangan Kolonel Bambang Utoyo pada 1947. Hanya menggunakan alat sederhana dan tanpa bius ia mampu mengamputasi tangannya dengan sangat baik.

Pria kelahiran 23 September 1914 di Grobogan, Jawa Tengah tersebut sudah belajar di sekolah kedokteran Nederlands Artsen School (NIAS) Surabaya selama 10 tahun. Setelah lulus ia kemudian bekerja menjadi dokter di Palembang dan Martapura.

Adapun setelah Indonesia merdeka, Ibnu Sutowo diangkat menjadi Kepala Jawatan Kesehatan Tentara di Sumatera selatan. Ia kemudian bergabung dalam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) pada 5 Desember 1946.

Ketika bergabung menjadi TNI AD Ibnu Sutowo ditunjuk menjadi Deputi II Bidang Operasi Kepala Staf Angkatan Darat dan merangkap menjadi Deputi Pelaksana Perang Pusat sejak 29 Desember 1956 hingga 9 Oktober 1968.

Saat pangkatnya menjadi Kolonel Ibnu Sutowo ditunjuk menjadi Direktur Utama PT Perusahaan Minyak Negara atau Pertamina pada tahun 1968. Namun jabatannya berlangsung hingga 1976.

Pada 1975, kondisi keuangan di Pertamina dinilai memburuk hingga nyaris bangkrut setelah investasi di berbagai bidang tidak lancar. Selain itu, banyak para petinggi di Pertamina diduga melakukan korupsi besar-besaran termasuk Ibnu Sutowo.

Sejak itu, Presiden Soeharto menertibkan internal di Pertamina dengan menjual sebagian asetnya yang berlebihan. Ia juga membentuk tim Koalisi Empat untuk melakukan penyelidikan dan terdiri dari Wilopo, Anwar Tjokroaminoto, IJ Kasimo, dan Herman Johannes.

Melalui penyelidikan ditemukan adanya penyimpangan di dalam Pertamina, tetapi saat itu tidak ada tindakan hukum yang dijatuhkan kepada para pelaku. Adapun Ibnu Sutowo dilengserkan dari jabatannya tersebut pada 5 Maret 1976.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya