Liputan6.com, Yogyakarta - Indonesia memiliki banyak tokoh dengan pemikiran filsafat Nusantara yang belum banyak ditulis hingga saat ini. Fakultas Filsafat UGM menyebut pemikiran filosofis seperti Ki Ronggo Warsito, Ki Ageng Suryomentaram, RMP Sosrokartono, Airlangga, Mahapatih Gajah Mada, Sultan Agung, Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro, Pattimura, penting untuk digali lebih mendalam.
Peneliti Laboratorium Filsafat Nusantara, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Heri Santoso, mengatakan pemikiran filosofis para pahlawan tersebut penting untuk relevansi bagi generasi dan era kini. Harapannya tidak hanya untuk dunia pendidikan pemikiran tokoh tersebut juga dapat mendorong kajian tentang filsafat Nusantara.
“Kita perlu melakukan penggalian lebih mendalam,” ujar Heri di Kampus UGM Selasa 28 November 2023.
Advertisement
Baca Juga
Heri mengatakan upaya eksplorasi kekayaan filsafat dan kearifan lokal nusantara ini dapat dengan penggalian secara geografis melalui kategorisasi berdasarkan wilayah berdasarkan eksplorasi filsafat dan kearifan lokal masyarakat dari rumpun Melayu, Sunda, Jawa, Bali, Lombok, Bugis, Dayak, Ternate Tidore, Papua bisa dijadikan representasi kekayaan filsafat dan budaya Nusantara.
“Eksplorasi juga dapat dilakukan melalui penggalian filsafat dan kearifan lokal yang terkandung dalam budaya, religi dan agama yang telah berkembang di nusantara, dari zaman dulu hingga saat ini,” ujarnya.
Selain itu, kegiatan eksplorasi itu nanti juga bisa dilakukan melalui pendekatan filsafat umum atau melalui cabang-cabang kefilsafatan seperti filsafat hidup, metafisika, epistemologi, kosmologi, filsafat ketuhanan, antropologi, etika, dan estetika.
Fakultas Filsafat UGM menggelar Simposium Nasional Filsafat Nusantara dengan tajuk “Pemikir dan Pemikiran Filsafat Nusantara serta Kontribusinya bagi Dunia”, Sabtu (25/11) lalu, salah satu pembicara dalam simposium tersebut adalah penulis dan Budayawan, Irfan Afifi. Menurutnya, falsafah masyarakat Indonesia sebenarnya bukanlah f ilsafat seperti yang ada dalam tradisi Barat, tetapi semacam pandangan hidup masyarakat lokal Indonesia yang bertahan hingga sekarang.
“Falsafah model inilah, barangkali yang dulu diklaim sebagai bahan yang digali oleh Soekarno dalam melahirkan Pancasila. Falsafah atau pandangan dunia ini tidak pernah terpisah dengan pandangan dunia agama yang ada di Indonesia,” katanya.
Guru Besar Fakultas Filsafat UGM Lasiyo, mengatakan salah satu dari hasil penggalian dari kajian filsafat nusantara yang dulunya merupakan salah satu paham yang berkembang di era kerajaan Majapahit adalah semboyan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Falsafah ini saat itu untuk mengatasi munculnya keragaman dan fanatisme agama di kalangan umat Hindu dan Buddha.
“Sekarang ini lewat semboyan itu kita diajak bersatu dalam pengabdian pada negara,” katanya.
Sementara Rektor ISI Padang Panjang, Sumatera Barat, Dr. Febri Yulika, menyampaikan salah satu hasil pemikiran tokoh feminisme dari tanah minang yang perlu digali lebih mendalam adalah pemikiran Rahma El-Yunusiyah yang hidup pada tahun 1900-1969. Menurutnya, tokoh perempuan asal minang ini pada masanya memperjuangkan soal hak-hak kaum perempuan tanpa menghapus kewajiban perempuan sebagai ibu rumah tangga, keterampilan memasak dan menjahit, melalui pendidikan, Rahma dengan mengelola sekolah madrasah pada tahun 1923.
“Ia mendorong meningkatkan derajat kaum perempuan lewat pengetahuan umum, agama dan bahasa arab yang disesuaikan dengan karakter kewanitaannya,” katanya.
Dosen Fakultas Filsafat UGM Rizal Mustansyir, mengatakan Filsafat Nusantara merupakan segala warisan pemikiran asli yang terdapat dalam adat-istiadat dan kebudayaan semua kelompok etnik di Nusantara. Hasil pemikiran itu muncul dalam berbagai bentuk seperti Babad Tanah Jawi, Serat Pujangga Jawa dan karya tulis lainnya dari tokoh pada masa Pra-Kemerdekaan seperti Ranggawarsita, Mangkunegara IV, Sosrokartono, Raja Ali Haji dan Syekh Ahmad Khatib al- Minangkabawi.