Saat Mahasiswa Filsafat UGM Teliti Arat Sabulungan di Mentawai

tradisi di Indonesia sangat banyak karena terdiri dari ribuan pulau. Adat tradisi ini yang membuat Indonesia berwarna dibandingkan dengan negara lain secara budaya. Seperti Arat Sabulungan.

oleh Yanuar H diperbarui 11 Sep 2022, 22:00 WIB
Diterbitkan 11 Sep 2022, 22:00 WIB
Saat Mahasiswa Filsafat UGM Teliti Arat Sabulungan di Mentawai
Mainan pesawat dan gabus telok abang dijajakan setiap bulan Agustus jelang HUT Kemerdekaan RI (Liputan6.com / Nefri Inge)

Liputan6.com, Yogyakarta Arat Sabulungan di Kepulauan Mentawai menjadi perhatian lima mahasiswa UGM yaitu Aza Khiatun Nisa, Nur Amalia Fitri, Muhammad Farid Wajdi, Kartika Situmorang, dan Moch Zihad Islami untuk diteliti. Aza Khiatun Nisa mengaku salah satu tujuan dari penelitian kearifan lokal Arat Sabulungan dapat menjadi model nasional yang dituangkan dalam strategi pembangunan berkelanjutan berbasis kultur. 

“Sejalan dengan penemuan yang didapatkan yakni pembangunan berkelanjutan yang memiliki kesan modern bisa berkolaborasi dengan kearifan lokal,” kata Aza dalam rilis Selasa (30/8/2022).

Arat Sabulungan menjadi tuntunan masyarakat Mentawai dalam menjaga hutan agar tercipta keseimbangan hidup antara komponen fisik dan non-fisik. Terdapat enam temuan praktik tradisi yang mengatur dan membatasi penggunaan sumber daya alam yakni kei-kei (tabu dan larangan), tulou (denda), alak toga (mas kawin), panaki (ritual minta izin), punen (pesta), dan leleiyo atau urai simatak (lagu rakyat).

Aza menjelaskan Arat Sabulungan bagi masyarakat Mentawai memiliki peran dan kedudukan sebagai prinsip religius sekaligus filosofis hidup disamping mereka juga memeluk agama resmi. Selain sebagai prinsip religius Arat Sabulungan juga berperan sebagai sistem hukum dan norma sosial, serta sebagai prinsip konservasi lingkungan. 

“Salah satu contoh konservasi lingkungan yakni terkait izin. Pada izin terhadap pembangunan jalan, gedung, atau yang lainnya dari pemerintah tidak hanya sebatas pada pemerintah pusat melainkan juga pada masyarakat Mentawai melalui sikerei atau ketua adat,” ujarnya.

Pada penelitian ini, Aza bersama rekannya menjadikan Aman Sasali selaku sikerei atau ketua adat menjadi salah satu narasumber riset mereka dalam mendalami sejarah Arat Sabulungan. Menurut Aman Sasali, istilah Arat Sabulungan itu merangkul banyak makna, di dalamnya ada adat, agama, pesta, dan tradisi.

Saksikan video pilihan berikut ini: 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Tempat Penelitian

“Secara singkat, Arat itu adat. Sabulungan itu ritual. Kata bulung diambil dari kata tumbuh-tumbuhan. Jadi singkatnya adalah adat yang diambil dari alam," jelasnya.

Namun begitu Arat Sabulungan menurutnya bukan hanya sebatas izin di atas kertas melainkan juga perlu ada izin secara ritual agar tidak diganggu oleh roh-roh leluhur. Sebab masyarakat Mentawai juga memahami jika hutan yang mereka pakai itu adalah warisan untuk cucu-cucu mereka 

“Dulu ada yang pernah minta buka jalan. Kami bukannya tidak mau dikasih uang, tetapi berpikir bahwa itu tidak sebanding dengan masa depan cucu-cucu kami nantinya. Sekarang juga banyak kayu-kayu yang sudah tidak sebesar dulu," ungkap Aman Sasali.

Penelitian dilakukan di dua tempat diantaranya yakni Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan (Pulau Siberut) dan Desa Tuapejat, Kecamatan Tuapejat (Pulau Sipora), Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 17-25 Juni 2022 lalu.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya