Sejarah Status Keistimewaan Yogyakarta Melekat Sejak Penjajahan Belanda

Dengan menjadi Daerah Istimewa, pemerintah DIY atau tepatnya Sultan Hamengku Buwono sebagai gubernur memiliki otonomi khusus dalam hal pengelolaan daerah dan kebijakan di tingkat provinsi.

oleh Tifani diperbarui 08 Des 2023, 00:00 WIB
Diterbitkan 08 Des 2023, 00:00 WIB
Tugu Yogyakarta
Tugu Golong Gilig, sebagai ikon Kota Yogyakarta

Liputan6.com, Yogyakarta - Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi paling tua nomor dua di Indonesia. Hadirnya Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menjadi satu di antara beberapa alasan penyebab perolehan status istimewa ini.

Dengan menjadi Daerah Istimewa, pemerintah DIY atau tepatnya Sultan Hamengku Buwono sebagai gubernur memiliki otonomi khusus dalam hal pengelolaan daerah dan kebijakan di tingkat provinsi. Dikutip dari laman jogjaprov.go.id, berikut sejarah status keistimewaan Yogyakarta sudah melekat masa penjajahan kolonial Belanda.

Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman mendapatkan statusnya sebagai Kerajaan Vasal atau Zelfbestuurende Landschappen selama masa penjajahan kolonial Belanda. Jepang pun turut mengakui keberadaan dua kerajaan tersebut dengan tetap mempertahankan status istimewa yang disebut sebagai Kooti.

Melalui penunjukannya sebagai daerah khusus, keduanya diberikan kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri. Meski, tetap berada di bawah pengawasan Jepang.

Dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan, Pangeran Purboyo mengusulkan agar daerah kekuasaan Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman dijadikan daerah otonom secara penuh. Hal ini diajukan dalam sidang PPKI pada 19 Agustus 1945.

Hasilnya, status quo Kooti dipertahankan hingga terbitnya regulasi tentang pemerintahan daerah. Pada tanggal 1 September 1945, terjadi restrukturisasi anggota Yogyakarta Kooti Hookookai yang mengakibatkan pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta.

Setelah mengetahui pandangan masyarakat Yogyakarta terhadap proklamasi kemerdekaan, Sultan Hamengku Buwono IX mengeluarkan Dekrit Kerajaan yang dikenal sebagai Amanat 5 September 1945. Dekrit tersebut mengandung penjelasan mengenai bergabungnya monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia.

Pada hari yang sama, Sri Paduka Paku Alam VIII juga mengeluarkan dekret serupa. Wilayah DIY, termasuk Daerah Kasultanan dan Pakualaman, bersama dengan seluruh kabupaten dan kota pun bergabung dengan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta.

 

Sempat Jadi Ibu Kota

Melansir buku Keistimewaan Yogyakarta dari Sudut Pandang Geomorfologi karya Langgeng Wahyu Santosa. Yogyakarta sempat menjadi Ibu Kota Republik Indonesia sejak tahun 1946.

Akan tetapi pada waktu itu hanya berfungsi sebagai negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berpusat di Jakarta. Keadaan ini berlangsung hingga 17 Agustus 1950 ketika UU Nomor 3 Tahun 1950 secara resmi dibentuk.

Mulanya, undang-undang tersebut hanya membahas pembentukan DIY yang terdiri dari tujuh pasal dan satu lampiran daftar kewenangan otonomi. Regulasi ini hanya mengatur hal-hal seperti wilayah, ibu kota, jumlah anggota DPRD, kewenangan, dan aturan peralihan.

Dalam UU Nomor 3 Tahun 1950, disebutkan dengan bahwa Yogyakarta merupakan Daerah Istimewa setingkat provinsi, namun bukan sebagai provinsi. Meskipun istilahnya mirip, ada konsekuensi hukum dan politik yang berbeda khususnya dalam hal kepala daerah dan wakilnya.

Walaupun DIY bukan monarki konstitusional, DIY pun mengadakan pemilu pertamanya di Indonesia untuk memilih anggota legislatif di tingkat Daerah Istimewa, kabupaten, dan kota pada 1951.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya