Demo Tolak Rohingya: Pentas Gerakan Mahasiswa Ahistoris yang Terkesan Memalukan

Gerakan mahasiswa mana yang memekik dengan mata membelalak ke atas pengungsi Rohingya yang tidak bisa berbuat apa-apa?

oleh Rino Abonita diperbarui 28 Des 2023, 07:06 WIB
Diterbitkan 28 Des 2023, 05:55 WIB
Mahasiswa Aceh Tolak Rohingya
Menurut mahasiswa, Indonesia saat ini masih susah sehingga tidak pantas untuk menampung warga asing. (CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP)

Liputan6.com, Aceh - Setelah mempertontonkan keberingasan terhadap pengungsi yang didominasi oleh anak-anak dan perempuan, gerombolan mahasiswa Aceh merayakan kemenangan dengan berjoget ria sembari mendengarkan musik yang diputar keras-keras di halaman kantor Kemenkumham Aceh, tempat di mana para pengungsi Rohingya yang baru saja mereka usir berada.

Mahasiswa yang diperkirakan berjumlah ratusan sebelumnya melancarkan aksi demonstrasi ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Para mahasiswa mengatasnamakan BEM Nusantara itu berasal dari sejumlah almamater seperti Abulyatama, Bina Bangsa Getsempena, Muhammadiyah, dan Al-Washliyah.

Di pelataran gedung dewan, mahasiswa bergerak menenteng spanduk berisi kalimat "Tolak Rohingya" sembari mengumandangkan yel-yel perjuangan. Orasi dilantangkan ke udara bersamaan dengan kepulan asap yang menghitam, berasal dari ban yang baru saja dibakar. Hari yang terik, panas yang berasal dari karet terbakar, membuat siapa saja yang mendekat berpeluh keringat.

Apa yang para mahasiswa lakukan masih berada di dalam koridor yang dapat dimaklumi sebagai bentuk kebebasan berekspresi sampai mereka menuju ke Gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA) di mana seratus lebih pengungsi Rohingya ditempatkan. Di tempat itulah lakon memalukan yang menampilkan kemerosotan gerakan mahasiswa dipentaskan dengan jemawa.

Setelah menembus barikade keamanan, mahasiswa yang sebelumnya tertahan di mulut basemen BMA kini mulai berlarian dengan berangasan sehingga hiruk pikuk teriakan dan suara gaduh langkah kaki memenuhi seisi basemen. Padahal, yang ada di depan mereka waktu itu hanyalah sejumlah laki-laki yang tengah menunaikan ibadah salat zuhur berjemaah.

Mahasiswa kemudian mulai mempertontokan adegan kekerasan terhadap kumpulan pengungsi perempuan dan anak-anak yang saat itu hanya bisa menangis histeris dan pasrah. Sejumlah barang milik pengungsi yang ditendang oleh mahasiswa saling terbang di udara—tendangan-tendangan penuh kemarahan itu dilakukan tepat di depan muka para pengungsi perempuan dan anak-anak yang tampak putus asa.

Lagu-lagu perjuangan mahasiswa yang dilantunkan pada permulaan aksi telah kehilangan sakralitasnya, ternyata tak lagi disenandungkan sebagai suplemen moral sewaktu berhadapan dengan rezim otoriter atau alat-alat kekuasaan. Libido pergerakan mahasiswa malah mencapai puncaknya dan kian menjadi-jadi sewaktu digunakan sebagai alat peraga kekuatan di hadapan pengungsi.

Corak "show force" atau aksi memamerkan kekuatan ini persis sama dengan apa yang dilakukan alat-alat kekuasaan seperti polisi selama menjadi tameng keamanan dalam membendung gerakan mahasiswa yakni mempertontonkan adegan penuh kekerasan. Bagaimana ceritanya kebiasaan patologis ini malah diderita oleh mahasiswa? 

Demonstrasi oleh mahasiswa di Balee Meuseuraya Aceh (BMA) sama sekali tidak layak untuk dimasukkan ke dalam diskografi gerakan mahasiswa. Bukan saja tidak cukup syarat karena tujuan dan motif yang sama sekali jauh dari akarnya, tetapi juga karena mahasiswa-mahasiswa ini teralienasi dari hakikatnya sebagai generasi pemikir kritis.

Yakinlah bahwa sebagian besar peserta aksi bergerak atas dasar kejumudan bukan karena adanya dorongan berpikir kritis dalam membaca situasi. Isu mengenai keberadaan pengungsi Rohingya di Aceh kini menjadi jebakan hasutan kebencian yang dengan amat mudah dapat menjerat siapa saja untuk ikut-ikutan membenci.

Misinformasi dan disinformasi seputar pengungsi Rohingya menjadi jaring laba-laba yang memerlukan serangkaian usaha untuk melewatinya. Ini akibat membanjirnya narasi negatif terkait pengungsi Rohingya di Aceh yang sudah berlangsung selama lebih satu bulan terakhir. 

Belakangan ini hasutan kebencian terhadap pengungsi Rohingya memang mengayau berbagai platform media sosial. Fenomena ini muncul seiring intensnya pendaratan pengungsi Rohingya di Serambi Makkah dalam satu bulan terakhir.

Selain dibombardir melalui unggahan netizen, narasi "negatif" terhadap pengungsi Rohingya yang berseliweran di media sosial berkembang biak melalui media massa. Sejumlah media mengutip unggahan mentah-mentah netizen tanpa melakukan verifikasi. 

Terkait sejumlah berita yang mengandung unsur hasutan kebencian terhadap pengungsi Rohingya dapat dilihat dalam artikel Liputan6.com berjudul Arus Besar Hasutan Kebencian terhadap Pengungsi Rohingya di Aceh.

Jika sentimen kebencian terhadap Rohingya ternyata adalah hal yang sengaja direkayasa oleh pihak tertentu, maka amat disayangkan bahwa ternyata mahasiswa yang semestinya "merdeka" ternyata ikut terseret ke dalamnya.

Ahistoris

Menyinggung soal gerakan mahasiswa yang telah kehilangan muruah, aksi pengusiran Rohingya dari Aceh tidak boleh dijustifikasi sebagai tindakan meneruskan aspirasi rakyat mengingat sentimen yang dibangun bukanlah sentimen yang lahir secara alamiah.

Pun pergerakan yang dilangsungkan mahasiswa juga tidak boleh ahistoris, gerakan mahasiswa juga haram hukumnya disisipi oleh gerakan yang secara moral diduga cacat.

Dunia dihiasi oleh sejumlah catatan gerakan mahasiswa yang tentu saja "sakral". Antara lain, gerakan mahasiswa di Perancis pada Mei 1968 oleh mahasiswa Universitas Sorbonne yang semula dilancarkan sebagai protes terhadap penutupan Universitas Paris di Nanterre dan rencana pengusiran sejumlah mahasiswa.

Demonstrasi berhari-hari hampir memicu revolusi di mana gerakan ini pada akhirnya menjadi akumulasi kekecewaan atas situasi ekonomi politik. Ratusan mahasiswa vis-à-vis dengan polisi di Latin Quarter Paris. Sejumlah orang dinyatakan tewas dalam kemelut ini. Gerakan ini menjadi dasar dari diciptakannya rancangan undang-undang reformasi pendidikan, kondisi kerja yang lebih baik, dan upah yang lebih tinggi bagi para pekerja.

Selanjutnya, terdapat pula gerakan mahasiswa "berdarah" di Cina pada musim semi 1989 yang kelak dikenal dengan nama tragedi pembantaian Tiananmen. Dalam Tiananmen, usai kematian seorang martir bernama Hu, para mahasiswa yang menginginkan adanya reformasi politik, sosial, dan ekonomi mulai berkumpul di lapangan Tiananmen di mana demonstrasi mulai menyebar di sejumlah kota lainnya. 

Seiring dengan membludaknya massa di Tiananmen, Beijing mulai menerapkan hukum militer dan mulai mengerahkan tank menuju ke pusat berkumpulnya massa. Korban tewas dalam puncak demonstrasi pada 3-4 Juni 1989 ini mencapai 200 lebih dan ribuan luka-luka. 

Di Indonesia, ada beberapa peristiwa yang turut mewarnai gerakan mahasiswa "Reformasi 1998" hingga Soeharto turun dari kursi kepresidenan. Salah satunya Trisakti, saat empat mahasiswa ditembak mati dan puluhan lainnya terluka oleh aparat keamanan di kampus tersebut pada 12 Mei 1998.

Dari semua contoh gerakan mahasiswa tersebut, tidak ada satu pun di antaranya yang memekik dengan mata membelalak ke atas 68 anak-anak, 42 perempuan, dan 27 pengungsi laki-laki yang tidak bisa berbuat apa-apa. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya