Benteng Otanaha, Tempat Berlindung yang Kini Jadi Destinasi Wisata Gorontalo

Keberadaan Benteng Otanaha sekaligus menjadi bukti adanya jejak Portugis di masa lalu. Portugis memang merupakan salah satu negara yang pernah menduduki Indonesia.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 13 Jul 2024, 10:00 WIB
Diterbitkan 13 Jul 2024, 10:00 WIB
Benteng Otanaha di Gorontalo
Benteng Otanaha di Gorontalo (Liputan6.com/Arfandi Ibrahim)

Liputan6.com, Gorontalo - Benteng Otanaha berlokasi di Kelurahan Dembe I, Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo. Dahulu, benteng ini menjadi tempat berlindung dari serangan musuh, tetapi sekarang menjadi destinasi wisata sejarah dan alam.

Keberadaan Benteng Otanaha sekaligus menjadi bukti adanya jejak Portugis di masa lalu. Portugis memang merupakan salah satu negara yang pernah menduduki Indonesia.

Terdapat dua benteng lainnya di lokasi ini, yakni Otahiya dan Ulupahu. Adapun Benteng Otanaha merupakan benteng utama.

Salah satu yang menjadi daya tarik wisata adalah letak benteng yang menghadap Danau Limboto. Untuk sampai ke sini, wisatawan tempat wisata Gorontalo akan bertemu dengan Benteng Otahiya lebih dulu.

Adapun untuk mencapai Benteng Otahana dan Ulupahu bisa diakses dengan berjalan kaki menaiki 351 anak tangga atau dengan mengendarai mobil atau motor. Berada di atas bukit, kedua benteng itu menawarkan pemandangan indah dari atas. Pengunjung juga bisa melihat Danau Limboto dan perbukitan hijau dari sana.

Dari tiga benteng yang ada, Benteng Otanaha adalah yang paling tua. Berbagai sumber menyebut, benteng ini dibangun pada 1522. Namun, dari cerita tutur masyarakat diketahui bahwa benteng ini baru ditemukan pada 1585 oleh Naha, salah satu anak Raja Ilato yang memerintah Kerajaan Limboto.

Nama Benteng Otanaha berasal dari dua kata, ota dan naha. Ota berarti benteng dan naha adalah nama penemunya. Naha juga menemukan dua benteng lainnya dan memberi nama sesuai dengan nama istri dan anaknya, Otahiya dan Ulupahu.

Ketiga benteng itu berbentuk bulat tanpa atap. Khusus Otanaha, bentuknya bahkan menyerupai angka delapan.

Masing-masing benteng berdiameter sekira 20 meter. Karena sempat digunakan sebagai tempat berlindung dari musuh, maka disekeliling dinding benteng terdapat celah untuk mengintai dan membidikkan senjata.

Pada 2009, ketiga benteng tersebut direnovasi untuk memperkuat strukturnya. Meski demikian, arsitektur aslimya tetap dipertahankan. Pada 2011, pemerintah menetapkan kawasan ini sebagai cagar budaya.

Kehadiran Portugis

 Mengutip dari indonesiakaya.com, didirikannya ketiga benteng tersebut tak lepas dari kehadiran Portugis di Gorontalo. Benteng ini menjadi saksi sejarah dari perjuangan masyarakat Gorontalo saat berperang melawan Portugis.

Kedatangan Portugis ke Nusantara untuk mencari rempah-rempah ini dimulai dari merebut pelabuhan strategis di Malaka. Portugis kemudian melanjutkan pelayaran untuk menemukan kepulauan rempah-rempah yang sebagian sampai ke wilayah Ternate dan sebagian lagi tersesat dan menemukan jalur perdagangan rempah di kawasan timur antara Maluku dan Sulawesi.

Awalnya, kedatangan bangsa Portugis disambut oleh masyarakat, sehingga menciptakan kerja sama perdagangan. Namun ketika Portugis ingin memonopoli, serangan dilancarkan kerajaan-kerajaan lokal.

Portugis pun terusir dari Ternate dan mencoba mencari tempat berlindung di Kerajaan Limboto, salah satu kerajaan dari konfederasi Lima Pahalaa (Lima Kerajaan) bersama Gorontalo, Boalemo, Atinggola, dan Bone yang akhirnya menjadi Kerajaan Gorontalo di Sulawesi Utara. Atas kesepakatan dan izin dari raja Limboto, mereka mendirikan tiga benteng pertahanan.

Benteng tersebut dibangun dari batu, pasir, kapur, dan sebagai alat perekat adalah putih telur burung maleo.Sayangnya, hubungan Portugis dan Limboto tak berlangsung lama.

Kerajaan Limboto menilai Portugis melanggar kedudukan dan adat-istiadat Gorontalo. Maka, Limboto menjalin kerjasama dengan Ternate untuk mengusir penjajahan Portugis.

Portugis akhirnya meninggalkan Sukawesi dan benteng pertahanan yang telah dibangun pun digunakan oleh Limboto. Benteng yang disebut Benteng Otahana, Otahiya, dan Ulupahu tersebut masih berdiri kokoh hingga saat ini.

(Resla)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya