BRIN Sebut Perlu Adaptasi dan Mitigasi Menghadapi Megathrust

Gempa megathrust bukanlah hal yang baru, terdapat banyak gempa megathrust yang terjadi di berbagai wilayah.

oleh Arie Nugraha diperbarui 08 Sep 2024, 00:00 WIB
Diterbitkan 08 Sep 2024, 00:00 WIB
Gempa Megathrust
Gempa di Megathrust Selat Sunda (M8,7) dan Megathrust Mentawai-Suberut (M8,9) boleh dikata 'tinggal menunggu waktu' karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar. (Liputan6.com/ Dok BMKG)

Liputan6.com, Bandung - Koordinator Kelompok Riset Geohazard Risk & Resilience Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nuraini Rahma Hanifa menyebutkan perlunya adaptasi dan mitigasi seluruh kelompok masyarakat Indonesia dalam menghadapi gempa megathrust.

Rahma mengatakan di Indonesia, gempa megathrust bukanlah hal yang baru. Berdasarkan data yang dikompilasi oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), terdapat banyak gempa megathrust yang terjadi di berbagai wilayah.

Terdapat beberapa lokasi terlihat kosong yang sebenarnya bukan berarti tidak ada potensi tsunami, melainkan disebut sebagai 'seismic gap'. Artinya kata Rahma, sebuah area yang memungkinkan akan terjadinya gempa besar kapan saja.

"Hasil riset yang telah banyak dilakukan dapat berkontribusi dalam upaya pengurangan risiko gempa. Megathrust beserta potensi gempanya adalah nyata, namun hal ini sebagai bagian dari fenomena alam yang harus dihadapi dengan adaptasi dan mitigasi," ujar Rahma dicuplik dari laman BRIN, Rabu (4/9/2024).

Rahma menerangkan secara harfiah megathrust berarti patahan naik yang sangat besar. Letak Indonesia yang berada di atas ring of fire (jalur gunung api), memiliki wilayah yang luas dan rentan terhadap megathrust.

Rahma menuturkan gempa megathrust pertama kali menjadi perhatian utama pada 2011, dengan semakin banyak riset yang dilakukan dan penerapan hasil riset yang berkembang.

Rahma menegaskan upaya untuk menjembatani antara riset dan kebijakan sangat penting untuk membangun mitigasi terhadap megathrust.

"Berdasarkan peta gempa 2017 yang sedang diperbarui dan diproyeksikan selesai pada akhir 2024, lokasi megathrust di Indonesia umumnya terletak di sisi barat Sumatera hingga selatan Jawa. Bidang megathrust ini seukuran Pulau Jawa. Bayangkan jika bergerak 20 meter secara serentak, goncangannya akan sangat besar," jelas Rahma.

Di selatan Jawa, megathrust terbentang sepanjang 1.000 km dengan bidang kontak selebar 200 km, yang menghujam hingga kedalaman sekitar 60 km, dan terus mengakumulasi energi yang siap dilepas kapan saja.

Rahma menyebutkan di bawah Pulau Jawa, terdapat lempeng Samudra Indo-Australia yang menghujam ke bawah selatan Jawa, sedangkan di atasnya ada lempeng kontinental.

"Pertemuan antara lempeng samudra dan lempeng kontinental inilah yang disebut bidang megathrust," ungkap Rahma.

Rahma menjelaskan, dalam konsep bencana terdapat hal yang bisa dan tidak bisa dikontrol, seperti pergerakan bumi, dan pertumbuhan penduduk.

Risiko bencana adalah fungsi dari bahaya dan kerentanan, yang dibagi dengan kapasitas atau kemampuan beradaptasi.

Kerentanan ini berhubungan dengan eksposur atau pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko bencana dari potensi megathrust, kapasitas adaptasi penduduk harus ditingkatkan.

"Jika hal ini tidak ditingkatkan, sementara kita sudah tahu akan adanya bencana tetapi tidak mengambil tindakan apa-apa, maka kapasitas kita rendah, dan ini akan meningkatkan risiko bencana," ucap Rahma.

Rahma menekankan pentingnya pemahaman yang baik tentang megathrust untuk meningkatkan kapasitas adaptasi.

Ancaman dari megathrust terbagi menjadi ancaman primer seperti goncangan gempa permukaan dan surface rupture. Kemudian ada ancaman sekunder seperti tsunami, longsor, likuifaksi, dan kebakaran.

"Kita bisa hidup berdampingan dengan fenomena megathrust, dan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Kita memang harus hidup bersama dengan megathrust, apalagi kita berada di negara kepulauan," tukas Rahma.

 

Penjelasan PVMBG Badan Geologi

Dilansir Liputan6, informasi soal gempa megathrust (zona penunjam) kembali mencuat. Sebagian besar masyarakat mengungkapkan kekhawatirannya atas kejadian alam yang disinyalir tinggal menunggu waktu ini.

Menurut Koordinator Mitigasi Gempa Bumi PVMBG Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Supartoyo, zona penunjaman merupakan tempat pertemuan atau interaksi antar lempeng, khususnya yang bersifat tumbukan (convergent).

"Apabila interaksi tersebut melibatkan dua lempeng yang berbeda, yaitu lempeng benua dan samudera disebut subduksi, sedangkan apabila interaksi antara lempeng sejenis disebut kolisi," jelas Supartoyo dalam keterangan tertulisnya, Kamis (15/8/2024).

Supartoyo mengatakan zona subduksi terbentuk akibat tumbukan antara dua lempeng yang berbeda massa jenis, yaitu lempeng benua dan lempeng samudera.

Ciri khas proses subduksi adalah terbentuknya magma pada kedalaman sekitar 150 km hingga 200 km, kemudian menerobos ke permukaan bumi dan muncul sebagai gunung api.

Supartoyo menuturkan adapun mekanisme kolisi tidak demikian. Zona penunjaman dibagi menjadi dua, yaitu megathrust dengan kedalaman penunjaman sekitar kurang dari 50 km dan intraslab atau zona Benioff yakni dengan kedalaman penunjaman sekitar lebih dari 50 km.

"Gempa bumi ini bersumber dari megathrust berpotensi menghasilkan gempa bumi dengan kekuatan besar, yaitu magnitudo lebih dari delapan sehingga berpotensi terjadi tsunami," ungkap Supartoyo.

Supartoyo menerangkan isu tentang gempa bumi megathrust dan potensi terjadinya tsunami yang saat ini muncul, sebelumnya telah muncul berkali-kali, antara lain tahun 2004, 2018, 2022 dan terakhir 2024.

Isu tersebut berkembang menjadi kekhawatiran dan keresahan masyarakat, karena kurangnya pemahaman masyarakat dalam menerima informasi tersebut.

Semestinya jelas Supartoyo, data dan informasi tersebut dijadikan pedoman untuk meningkatkan upaya mitigasi gempa bumi dan tsunami.

"Zona penunjaman merupakan sumber gempa bumi utama di Indonesia yang membentang mulai dari barat Pulau Sumatera, selatan Jawa hingga Bali dan Nusa Tenggara, laut Banda, utara Papua, utara Sulawesi, timur Sulawesi Utara dan barat Halmahera," lanjut Supartoyo.

Zona penunjaman yang membentang di barat Pulau Sumatera, selatan Jawa hingga Bali dan Nusa Tenggara dikenal sebagai Busur Sunda.

Berdasarkan catatan Badan Geologi selama tahun 2022 telah terjadi beberapa kejadian gempa bumi di selatan Banten dan Jawa Barat yang berkaitan dengan aktivitas pada zona penunjaman alias megathrust dan intraslab.

Supartoyo menjelaskan zona penunjaman Busur Sunda yang terletak di selatan Jawa saat ini cukup aktif yang dibuktikan dengan sering terjadi gempa bumi.

"Gaya tektonik yang bekerja pada zona penunjaman tentu akan terjadi penumpukan energi, dan suatu ketika energi tersebut akan dilepas menjadi gempa bumi," ungkap Supartoyo.

 

Data Gempa Bumi Badan Geologi

Berdasarkan referensi yang dikumpulkan dari Newcomb dan McCan, 1987; Okal, 2012 dan catatan Badan Geologi, kejadian gempa bumi di Busur Sunda setelah tahun 1900 pernah terjadi pada tahun 1903 (M 7,9), 1921 (M 7,3), 1937 (M 7,2), 1994 (M 7,8) dan 2007 (M 7,7).

Menurut perhitungan para ahli kebumian, gempa bumi bersumber dari zona penunjaman Busur Sunda terutama dari zona megathrust di selatan Jawa diperkirakan kekuatannya mencapai magnitudo delapan, sehingga diperkirakan berpotensi terjadi tsunami.

Data tersebut dipergunakan untuk melakukan pemodelan bahaya gempa bumi dan tsunami dengan kondisi kasus terburuk guna mendukung upaya mitigasi gempa bumi dan tsunami.

"Hal ini dilakukan juga oleh Badan Geologi dalam menyusun Peta Kawasan Rawan Bencana Gempa Bumi (KRBG) dan Peta Kawasan Rawan Bencana Tsunami (KRBT)," jelas Supartoyo.

Supartoyo menegaskan kejadian gempa bumi dan tsunami hingga kini belum dapat diramal menyangkut waktu, kekuatan dan lokasinya.

Sehingga upaya terbaik yang dapat dilakukan adalah melalui peningkatan upaya mitigasi yang dilakukan secara struktural dan non struktural.

Mitigasi struktural dilakukan melalui pembangunan fisik untuk dapat mengurangi jenis-jenis bahaya gempa bumi dan tsunami.

"Mitigasi non struktural dilakukan dengan meningkatkan kapasitas pemerintah setempat dan penduduk yang bermukim dan beraktivitas di KRBG dan KRBT guna menghadapi ancaman potensi bencana gempa bumi dan tsunami," sebut Supartoyo.

Upaya Badan Geologi

Supartoyo mengatakan Badan Geologi turut berperan dalam upaya mitigasi gempa bumi dan tsunami melalui penyediaan data dasar berupa peta KRBG dan peta KRBT.

Selain itu juga Badan Geologi melakukan kegiatan sosialisasi dan simulasi gempa bumi dan tsunami.

Oleh karena itu guna menghadapi ancaman potensi dari gempa bumi megathrust di selatan Jawa, Badan Geologi merekomendasikan agar meningkatkan upaya mitigasi, mendorong kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk dapat memanfaatkan peta KRBG dan peta KRBT dari Badan Geologi untuk masukan dalam penataan ruang.

"Serta medorong kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk menyusun regulasi khusus tentang mitigasi gempa bumi, mitigasi tsunami yang disusun secara terpisah dari bencana yang lain," sebut Supartoyo.

Supartoyo mengatakan regulasi tersebut bisa berbentuk Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota atau SK Gubernur, Bupati, Walikota tentang mitigasi gempa bumi dan mitigasi tsunami.

Harapannya ucap Supartoyo, dengan berbagai upaya tersebut akan dapat mengurangi risiko dari kejadian gempa bumi dan tsunami.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya