Liputan6.com, Gorontalo - Sore itu gerimis menyelimuti Desa Londoun, Kecamatan Popayato Timur, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Gerimis yang mungkin juga tak pernah hilang di hati Miksel Rambi. Sambil menatap langit-langit rumah, dia coba mengenang kembali konflik lahan yang pernah terjadi di tanah Bumi Panua, tempat tinggalnya.
Refli Rambi, adiknya, kala itu membakar pos jaga perusahaan sawit. Perangai galak itu tidak begitu saja terjadi bak seorang kriminil yang kehilangan hasil curiannya. Itu protes warga, lahan sumber kehidupannya tergusur perusahaan.
"Tanah ini sudah digunakan sebelum perusahaan masuk. Nah, saat perusahaan menggusur jalan, lahan adik saya terkena pembuatan jalan, jadi dia hanya menanam di lokasi yang tidak terkena jalan," kata Miksel.
Advertisement
Beberapa bulan kemudian, saat panen tiba adiknya meminta izin ke pihak perusahaan untuk membuat penjemuran jagung hasil panen untuk digunakan sementara waktu. Sayangnya, permintaan izin tersebut tidak diindahkan, hingga jagung rusak terkena jamur.
"Ini kan cuma penjemuran sementara, tidak sampai sebulan, supaya jagung ini tidak rusak. Habis dipakai juga akan dibongkar karena hanya terbuat dari kayu. Tapi tetap tidak dikasih izin," tuturnya.
Merasa frustasi dengan hasil panen yang merugi, adiknya Refli Rambi, kemudian menuju ke pos penjagaan dan protes kepada petugas. Aksi ini kemudian berujung pada pembakaran salah satu pos penjagaan milik perusahaan.
Ia bilang, saat itu perusahaan berusaha mendekati tokoh-tokoh lokal yang berpengaruh. Pendekatan ini bertujuan untuk membujuk masyarakat agar mau menjual tanah kepada pihak perusahaan, untuk dibuatkan jalan menuju ke Hutan Popayato. Padahal, kata dia, saat itu hutan masih menjadi sumber kehidupan bagi warga sekitar untuk menyambung hidup.
"Masyarakat di sini masih banyak yang mengandalkan hasil hutan ataupun kebun," ucapnya pelan, sambil menarik salah satu kursi plastik yang tersusun di teras rumahnya.
Sayangnya, hutan itu bakal lenyap dalam beberapa tahun ke depan. Pemerintah telah mengizinkan perusahaan kayu untuk mengelolah hutan tersebut dengan luasan wilayah konsesi yang terbilang cukup luas.
"Sekarang ini sudah susah, untuk sekadar mencari kebutuhan kayu bakar. Untuk acara di gereja saja kami harus menyurat," kata masyarakat lain yang tak ingin disebutkan namanya.
"Anak saya masih kecil. Masih harus sekolah jangan sebut nama saya," ujarnya dengan maksud tersirat.
Hari bertambah sore, sementara di luar gerimis belum juga reda. Sesekali terdengar deru kendaraan milik perusahaan yang lalu-lalang di depan rumah Miksel Rambi.
Ya, perusahaan itu bernama PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) yang masuk ke Provinsi Gorontalo sekitar 15 tahun silam. Pemerintah mengizinkan perusahaan kayu itu untuk mengelolah hutan Popayato dengan wilayah konsesi yang terbilang cukup luas.
Dirinya menyebutkan, setelah belasan tahun PT BTL berada di hutan tersebut, bukan hanya pepohonan yang hilang, tetapi juga kepercayaan warga Londoun yang terus terkikis karena terus dibohongi pihak perusahan.
Ia bercerita, kehadiran PT BTL berulang kali menimbulkan ketegangan di tengah masyarakat lokal. Bahkan sejak perusahaan berniat membeli tanah milik warga untuk dibuatkan jalan menuju lokasi perusahaan.
Oleh perusahaan, tanah mereka ditawar untuk pembuatan akses jalan dengan harga yang begitu rendah, yakni Rp600 per meter. Kendati dibayar murah, warga rela menjual tanahnya karena pihak perusahaan berjanji akan membuatkan sertifikat.
Iming-iming mendapatkan sertifikat gratis, warga akhirnya mau menjual tanahnya. Khusus di Desa Londoun, yang menjadi akses menuju lokasi perusahaan. Kurang lebih dari 100 warga yang menjual tanah ke pihak PT BTL.
"Warga mau sebab pihak perusahaan berjanji akan memfasilitasi pembuatan sertifikat untuk setiap tanah yang dibayar," katanya.
Namun nyatanya, janji hanya sekadar janji, hingga kini, banyak sertifikat warga yang belum juga diterbitkan pihak pertanahan.
Dari ratusan sertifikat yang dijanjikan, hanya ada sekitar 30 sertifikat yang dibuat. Warga Londoun terpaksa terus membayar pajak atas tanah yang seharusnya sudah menjadi milik perusahaan.
"Kami dijanjikan untuk difasilitasi pembuatan sertifikat, tapi sampai sekarang banyak yang belum terbit. Pajak masih kami yang bayar, padahal tanahnya sudah dibeli perusahaan," ujarnya.
Persoalan persoalan konflik agraria pihak PT BTL dengan warga desa, sebenarnya tidak berhenti di situ. Pihak perusahaan juga diketahui pernah menggusur jalan desa sepanjang hampir 600 meter.
Penggusuran jalan dilakukan untuk pelebaran jalan menuju perusahaan dengan lebar kurang lebih 30 meter.
Sosialisasi awal dengan masyarakat, pelebaran jalan itu hanya untuk digunakan sementara. Tapi sampai saat ini masih juga digunakan dan tidak ada kejelasan sama sekali.
"Kami sudah menanyakan hal ini ke pihak perusahaan, mereka mengaku tidak tahu," tuturnya.
Dalam beberapa kesempatan rapat yang diadakan, pihak perusahaan dan kepala desa tidak memberikan jawaban yang memuaskan terkait penggunaan jalan itu.
Belakangan diketahui, perusahaan hanya mendapatkan persetujuan dari salah satu aparat desa untuk penggunaan jalan tersebut, sebagai gantinya aparat desa tersebut diizinkan membuka usaha kantin di dalam wilayah perusahaan.
Janji perusahaan tidak hanya pembuatan sertifikat, ada tiga janji lainnya yang tidak pernah ditunaikan setelah hampir 15 tahun perusahaan ini berada di Kabupaten Pohuwato. Perusahaan juga menjanjikan Plasma 2 hektare per orang, kemudian kayu ramuan rumah satu kubik untuk satu keluarga.
"Mereka juga berjanji akan memberikan bantuan bibit jagung," tuturnya.
Janji yang diterima masyarakat desa tinggal janji belaka, perusahaan justru fokus pada target yang kini operasinya berubah dari komoditi Sawit menjadi Hutan Tanaman Energi, yang membabat pepohonan alam di Pohuwato.
"Setiap sosialisasi pihak perusahaan bilang plasma akan diberikan setelah tanaman itu besar dan mulai diproduksi. Tapi sampai sekarang tidak ada. Pihak perusahaan beralasan masih menunggu hasil dari tahapan pengelolaan hutan," katanya.
Konflik di Perhutanan Sosial
Sertifikat tanah milik warga yang tak kunjung diserahkan juga berimplikasi pada kerugian materi. Warga masih harus membayar pajak meski tanahnya sudah digunakan perusahaan.
Perusahaan mengklaim bahwa selama ini mereka sudah membayar pajak. Padahal objek pajak tanah yang menjadi akses jalan itu, sampai dengan saat ini pajaknya masih terbebani kepada masyarakat. Karena sampai saat ini, belum ada pemisahan sertifikat.
Selain disinyalir merubah ratusan meter jalan desa menjadi jalan perusahaan, PT IGL juga diduga membangun jalan perusahaan di kawasan perhutanan sosial. Padahal, kawasan yang menjadi perhutanan sosial itu memiliki dokumen resmi dari kementerian KLHK tahun 2019.
"Saya sudah tanyakan itu ke pihak perusahaan. Tapi tidak ada respons. Pos mereka masih ada di situ," ungkapnya.
Pengajuan izin perhutanan sosial itu berangkat dari konflik yang berlarut-larut terjadi antara pihak perusahaan dan masyarakat. Hingga akhirnya masyarakat mengajukan permohonan izin Perhutanan sosial ke kementerian KLHK.
Upaya ini kemudian mendapatkan persetujuan, hasilnya, pada 2019, sekitar 158 hektare wilayah yang berdekatan dengan perusahaan diizinkan KLHK untuk digunakan oleh masyarakat.
Dari Awal bukan Sawit?
Pandangan Miksel Rambi nanar menatap jauh ke luar, mengingat kembali saat perusahan memintanya untuk membantu dalam mengidentifikasi jenis kayu yang ada di hutan tersebut.
Ia bercerita, sejak awal beroperasi, pihak perusahaan sudah melakukan pengambilan sampel terhadap pohon yang ada di hutan tersebut. Ia tahu betul, sebab dirinya dilibatkan oleh perusahaan dalam pengambilan sampel kayu di hutan itu.
Sekitar tahun 2014, ia bersama kakaknya diminta perusahaan untuk mengidentifikasi jenis kayu yang ada di hutan itu. Totalnya, ada sekitar 15 jenis kayu yang berhasil teridentifikasi.
Dalam proses pengambilan sampel tersebut, banyak ditemukan jenis kayu seperti Meranti, beberapa jenis kayu Palapi dan ada pula kayu jenis Nantu. Namun, sebagian kayu yang lain sudah hilang dari ingatan.
"Jadi lebih dari satu tahun setelah pengambilan sampel kayu itu, mungkin sekitar tahun 2016 itu baru uji coba layak atau tidak pelet ini. Setelah beberapa kali dikirim sampel ke laboratorium," ungkapnya.
Meski saat itu PT BTL dikenal masyarakat sebagai perusahaan sawit, namun sejak 2017 pihak perusahaan diduga sudah mulai melakukan pembibitan dan penanaman kayu jenis Gamal di wilayah konsesinya.
"Setahu saya, sudah tanam gamal sejak tahun 2017, itu mereka baru mulai pembibitan gamal. Jadi, hutan yang mereka babat ini yang diolah jadi pelet," ujarnya.
Sepengetahuannya, uji sampel tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah jenis kayu yang ada di hutan tersebut layak untuk dibuat pelet dan bisa laku jika dijual ke luar negeri.
"Bukan gamal itu yang diambil, tapi kayu yang ditebang itu yang mereka ambil jadi pelet, karena gamal sekarang masih pembibitan dan ada yang sudah ditanam tapi masih belum layak ditebang," ujarnya.
"Makanya waktu itu mereka baru uji coba layak atau tidak pelet ini dikirim ke luar, karena ini bukan dari gamal," ungkapnya.
Sebelum perusahaan ini membangun pelabuhan di Desa Trikora, Pelet kayu ini awalnya masih dikirim ke luar negeri melalui pelabuhan yang ada di Kecamatan Paguat.
Proses inilah yang menjadi pertanyaan masyarakat yang kemudian dijawab oleh pihak perusahaan dengan alasan yang menurut masyarakat tidak masuk akal.
"Masyarakat menuntut perjanjian plasma, Direktur sampaikan mereka menunggu hasil. Jadi hutan semua dibuka sesuai izin yang ada, ditanam, dan ketika sudah menghasilkan, baru itu yang mereka bagi ke masyarakat sesuai data yang ada. Mati dulu kita kalau begitu lamanya," katanya.
Advertisement
Kerusakan Hutan Alam
Seiring dengan konflik sosial yang terjadi, aktivitas pembabatan hutan atau dikenal deforestasi yang dilakukan oleh perusahaan, dinilai menjadi biang kerok kerusakan hutan yang kian meluas.
Laporan dari berbagai lembaga lingkungan hidup menunjukkan bahwa degradasi hutan di wilayah ini telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, mengancam ekosistem serta kehidupan masyarakat setempat. Pemerintah daerah dan pihak terkait diminta segera mengambil tindakan tegas demi meminimalisir kerusakan yang terus berlangsung.
Salah satunya PT BTL, perlahan perusahan ini menghancurkan hutan di Kabupaten Pohuwato. Musabab, perusahaan yang berlabel kebun energi ini diduga kuat telah membabat hutan alam ribuan hektar sejak tahun 2021.
Bukan tanpa alasan, pembabatan hutan alam ini dilakukan demi mengambil kayu sebagai bahan baku utama untuk memproduksi wood pellet. Wood pellet sendrii dijadikan sebagai biomassa untuk Co-firing yang digadang-gadang menjadi solusi untuk menekan krisis iklim.
Klaim pemerintah, bahwa bioenergi adalah energi terbarukan yang akan menjadi solusi transisi energi di masa yang akan datang. Bahkan, Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo dan Gibran menyatakan bahwa Indonesia akan menjadi raja energi hijau.
Awalnya, BTL merupakan perusahaan kelapa sawit yang mendapatkan izin lokasi dari Bupati Pohuwato berdasarkan surat keputusan Nomor 171/01/VI/2010 tanggal 1 Juni 2010 tentang pemberian izin lokasi seluas 16.000 hektar.
Setahun kemudian, BTL pun kemudian mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan sekitar 15.797.48 hektar dari KLHK. Seiring berjalannya waktu, tahun 2022 izin pelepasan kawasan hutan itu telah dicabut berdasarkan surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 01 Tahun 2022.
Dalam putusan atas nama KLHK itu tercatat, ada sekitar 192 unit perizinan/Perusahaan di Indonesia dicabut dengan total luas 3.126.439.36 hektar oleh Presiden Jokowi melalui KLHK. Pencabutan izin itu terhitung mulai tanggal 6 Januari 2022.
Akan tetapi tahun 2020 ternyata BTL sudah terlebih dahulu mengajukan izin penetapan hutan hak dengan perubahan komoditas dari Sawit ke Gamal dan Kaliandra. KLHK pun akhirnya menyetujui usulan tersebut dengan skema Hutan Hak dengan luas 15.493 hektare kepada PT BTL.
Dengan begitu, pencabutan izin pelepasan kawasan hutan oleh KLHK pada tahun 2022 secara otomatis tidak merubah apapun, termasuk aktivitas perusahaan. Data ini juga sama dengan riset yang dipublikasikan oleh Walhi yang mengatakan kebijakan KLHK tidak merubah apapun.
Sehingga, perusahaan BTL itu tetap melakukan kegiatan operasionalnya di lapangan. Artinya, izin pinjam pakai kawasan hutan milik BTL telah diputihkan atau dilegalkan kembali dengan perubahan komoditas. Sepertinya, BTL dilegalkan kembali atas nama transisi energi melalui pemanfaatan biomassa kayu sebagai sumber energi listrik.
Berdasarkan Temuan Forest Watch Indonesia (FWI) (2024), tren deforestasi di Gorontalo tepatnya di Kabupaten Pohuwato signifikan dan terlihat masif dalam kurun waktu 2021 sampai 2023. Deforestasi terjadi di dalam konsesi PT BTL dengan luasan yang sudah di babat sekitar 1.105 hektare.
Sementara berdasarkan Citra satelit Nusantara Atlas, PT BTL telah membabat hutan alam sekitar 2.027 hektare antara januari 2023 hingga agustus 2024. Bahkan, diduga kuat BTL tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Penampakan citra satelit tersebut, tidak memperlihatkan secara detail wilayah HGU konsesi perusahaan.
Menurut Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, Media FWI bahwa meskipun kedua perusahaan bergerak di bidang usaha perkebunan kelapa sawit, namun berdasarkan analisis spasial perizinan FWI (2024) yang mengantongi izin HGU hanya PT IGL. Sementara PT BTL belum diketahui telah mengantongi izin HGU atau tidak.
Riset itu selaras dengan temuan Forest Watch Indonesia (FWI) pada awal 2024. Di mana, BTL telah membabat hutan alam seluas 1.105 hektare di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo sejak 2021 sampai 2023. Angka itu menjadi bagian dari 140 ribu hektare tutupan pohon yang hilang di Gorontalo sejak 2001 hingga 2023 (Data Global Forest Watch). Pohuwato menjadi kabupaten yang paling banyak kehilangan tutupan pohon sebesar 41.8 ribu hektare dalam periode yang sama.
Ironisnya, bahan baku industri wood pellet dari BTL yang disuplai ke PT Biomassa Jaya Abadi (BJA) justru diekspor ke Jepang dan Korea Selatan dengan total produksi 21.066.025 kg dengan nilai 2.833.380 USD. Artinya, kayu alam yang diambil oleh BTL dari Pohuwato ini tidak memberikan kontribusi dalam program transisi Indonesia yang ingin menggunakan Co-Firing pengganti batubara di 52 PLTU.
Anggi Prayoga bilang, Gorontalo berada dalam cengkraman Proyek Bioenergi Nasional salah satu yang terluas di Indonesia dengan luas 282 ribu hektare oleh 10 izin. Deforestasi terencana yang terjadi di Gorontalo akibat pembangunan proyek bioenergi tidak bisa dibenarkan.
"Pemanfaatan kayu dari hutan alam tidak akan pernah bisa menjawab apa-apa berkaitan dengan agenda transisi energi sebagai upaya pengurangan emisi," kata Anggi.
Senanda dengan Renal Husa dari Walhi Gorontalo, dirinya menegaskan penolakan terhadap semua industri ekstraktif, termasuk Proyek Bioenergi Nasional seluas 282 ribu hektare di Gorontalo. Sebab, ini bakal mengancam ruang kelola rakyat dan berpotensi menimbulkan bencana ekologis baru.
"Hutan Gorontalo harus dikelola oleh rakyat, bukan korporasi, mengingat sejarah panjang konflik dengan masyarakat, seperti yang terjadi pada empat perusahaan," kata Renal.
Sementara Terry Repi Akademisi Universitas Muhammadiyah Gorontalo menyoroti bahwa bioenergi menjadi ancaman serius bagi biodiversitas. Aktivitas bioenergi dapat mengakselerasi hilangnya habitat terutama bagi spesies spesialis dan spesies dengan jelajah yang luas, berisiko menyebabkan kepunahan.
Konversi hutan dapat mengubah struktur dan komposisi ekosistem hutan serta mendorong munculnya spesies invasif yang mengganggu keseimbangan ekosistem. Selain itu, dibutuhkan waktu yang sangat lama, antara 44 hingga 104 tahun, bagi hutan untuk menyerap kembali kelebihan CO2 setelah penebangan.
"Artinya, asumsi bahwa bioenergi kayu bersifat netral karbon adalah terlalu optimistis dan dapat menunda upaya mitigasi perubahan iklim yang lebih efektif," kata Tery Repi.
Berdasarkan laporan dari tim ilmuwan Global Carbon Project dalam jurnal Earth System Science Data akhir 2023 menunjukkan, Indonesia jadi salah satu negara 10 besar penghasil karbon dunia. Bahkan, di sektor penggunaan lahan, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia.
Di sisi lain, dalam riset Trend Asia yang berjudul “Adu Klaim Menurunkan Emisi” menyebut, bioenergi yang diklaim sebagai energi terbarukan justru akan melibatkan deforestasi, dan menimbulkan hutang karbon yang akan memakan waktu puluhan tahun untuk dilunasi. Pasalnya, riset itu menemukan proses produksi kayu tersebut akan menghasilkan net emisi 26,48 juta ton emisi karbon.
Dalam penelitian Trend Asia yang berjudul “Ancaman Deforestasi Tanaman Energi” juga menemukan hal serupa. Di mana, transisi energi Indonesia dari tanaman energi untuk dijadikan biomassa kayu akan memicu deforestasi hingga 2,3 juta hektare atau 33 kali luas Jakarta.
Pemegang Saham BTL
Struktur kepemilikan dan manajemen PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) baru-baru ini terungkap berdasarkan data yang diakses melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) pada 5 Agustus 2024.
Dari data tersebut, teridentifikasi bahwa perusahaan ini dipimpin oleh Ir. Burhanuddin sebagai Direktur, dan Syamsul B. Ilyas sebagai Komisaris. Namun, yang menarik perhatian adalah munculnya nama Andy Kelana yang tercantum sebagai Presiden Komisaris, sementara Heru Purnomo menjabat sebagai Presiden Direktur sekaligus pemegang 1 persen saham perusahaan.
Mayoritas saham PT BTL, sebesar 99 persen, dikuasai oleh PT Buana Pratama Cipta (BPC). Menurut data yang sama, PT BPC sendiri dimiliki oleh PT Reka Varia Tara (RVT) yang menguasai 99 persen saham.
Mighty Earth menemukan, keterlibatan Andy Kelana semakin terlihat, karena ia juga tercatat memiliki 87,5 persen saham di PT RVT, sementara 12,5 persen sisanya dimiliki oleh Helena Adnan. Kedua nama ini tidak asing lagi dalam dunia hukum, mengingat keduanya adalah mitra di Firma Adnan Kelana Haryanto & Hermanto (AKHH), yang memiliki portofolio klien di sektor pertambangan, termasuk PT Merdeka Copper and Gold Tbk, PT Saratoga Investama, dan Provident Capital.
Penjualan atau Alih Kepemilikan yang Mencurigakan?
Di situs resminya, Provident Agro mengklaim telah menjual seluruh sahamnya di PT Inti Global Laksana dan PT Banyan Tumbuh Lestari kepada pihak ketiga pada Juli 2019. Namun, fakta yang terungkap menunjukkan indikasi bahwa saham tersebut mungkin dialihkan kepada perusahaan yang dikendalikan oleh Andy Kelana dan Helena Adnan.
Ada dugaan kuat bahwa kedua orang ini memegang saham tersebut atas nama pemegang saham pengendali Provident Investasi Bersama Tbk, yaitu Winato Kartono, Edwin Soeryadjaya, dan Garibaldi Thohir.
Mighty Earth, juga dalam laporannya yang dirilis pada Mei 2024, mencurigai bahwa penjualan tersebut hanya sebuah transfer internal di dalam kelompok usaha Provident Group.
Dalam laporannya, Mighty Earth menyatakan, "Berdasarkan bukti yang ada, tampaknya Provident Agro 'menjual seluruh kepemilikan saham PT Inti Global Laksana dan PT Banyan Tumbuh Lestari' kepada Andy Kelana dan Helena Adnan, yang bertindak atas nama pemegang saham pengendali Provident Investasi Bersama Tbk." Pernyataan ini menegaskan bahwa Andy Kelana dan Helena Adnan tidak mungkin menjadi pemilik manfaat dari PT BTL dan PT IGL.
Advertisement
Keterlibatan dalam Proyek Lain
Selain keterlibatannya di PT BTL, Andy Kelana juga diketahui memiliki 3,69 persen saham di PT Biomass Jaya Abadi (BJA), perusahaan yang berbatasan langsung dengan konsesi PT BTL. Mayoritas saham PT BJA dimiliki oleh Winato Kartono melalui Provident Biofuels Pte Ltd dan PT Provident Capital Partners, yang juga merupakan klien Andy Kelana di AKHH. Pemegang saham lainnya di PT BJA termasuk Edwin Soeryadjaya dari Saratoga Group (8,577 persen) dan Garibaldi Thohir dari Thohir Group (4,92 persen).
Edwin Soeryadjaya, yang juga menjabat sebagai Komisaris Saratoga Investama dan Presiden Komisaris PT Adaro Energy Tbk, memiliki peran penting dalam berbagai perusahaan strategis. Sementara itu, Garibaldi Thohir adalah CEO Adaro Energy dan salah satu eksportir batu bara terbesar di dunia. Keterlibatan mereka dalam berbagai proyek, termasuk PT BJA, menunjukkan bagaimana jejaring bisnis ini saling terkait satu sama lain.
Winato Kartono, yang mendirikan Provident Capital Indonesia, juga memiliki pengaruh besar dalam jejaring bisnis ini. Selain menjadi Komisaris di berbagai perusahaan seperti PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk dan MBMA, ia juga berinvestasi dalam proyek-proyek besar bersama Saratoga Investama Sedaya. Jejak langkah Winato dalam industri ini menunjukkan betapa kompleks dan terhubungnya jaringan kepemilikan dalam Provident Group.
Dari rangkaian informasi ini, terlihat jelas bahwa meski ada klaim penjualan saham, hubungan bisnis yang melibatkan nama-nama besar ini tetap erat dan saling terkait, menyisakan banyak pertanyaan mengenai siapa sebenarnya yang memegang kendali di balik layar PT Banyan Tumbuh Lestari.
BTL Bantah Tuduhan
Direktur PT BTL, Burhanudin, dengan tegas membantah semua tuduhan yang dialamatkan kepada perusahaannya. Ia menegaskan bahwa sebagai pelaku usaha, PT BTL selalu mematuhi aturan yang berlaku, dengan seluruh perizinan yang sudah lengkap dan sesuai prosedur.
"Kami adalah investor jangka panjang yang berkomitmen pada keberlanjutan. Tidak mungkin kami mengabaikan aturan yang ada, terutama mengingat ini adalah bisnis internasional. Kepatuhan terhadap regulasi adalah prioritas utama kami," kata Burhanudin.
Lebih lanjut, Burhanudin menekankan bahwa PT BTL dan mitra-mitra perusahaan lainnya telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan daerah. Mekanisme penatausahaan yang dijalankan perusahaan berlandaskan pada Hak Guna Usaha (HGU) yang sah.
"Saya tidak setuju jika lahan kami disebut sebagai hutan, karena sudah berstatus HGU dan APL. Lahan tersebut telah kami kembangkan menjadi kebun, dan dalam proses pembangunan kebun, kami melakukan pembukaan lahan atau land clearing, dan hasilnya kami manfaatkan dengan baik," jelasnya.
Burhanudin juga menambahkan bahwa aktivitas perusahaan seharusnya diapresiasi oleh pemerintah, terutama karena biomassa saat ini menjadi perhatian dunia dan merupakan teknologi baru di Indonesia.
"Setelah penebangan, kami langsung melakukan penanaman kembali. Setiap hektare lahan ditanami sekitar 5.000 pohon, sehingga dari sudut pandang manapun, sulit untuk mengatakan bahwa ini adalah deforestasi," ujarnya.
Saat ditanya mengenai hubungan antara PT BTL dan PT Provident Investasi Bersama (PIB), pihak PT BTL menegaskan bahwa perusahaan mereka tidak memiliki afiliasi langsung dengan PIB. Mereka juga membantah adanya pengetahuan atau keterlibatan terkait kepemilikan PT Reka Varia Tara (RVT).
"BTL adalah mitra bisnis yang fokus pada produksi bioenergi, khususnya wood pellet. Sebagai penyuplai bahan baku yang kemudian diolah oleh PT BJA untuk dipasarkan, kami tidak terlibat dalam urusan kepemilikan saham atau struktur kepemilikan perusahaan lain. Fokus kami murni pada operasional," jelas perwakilan PT BTL.
Terkait dengan isu konflik agraria antara masyarakat dan PT BTL, pihak perusahaan juga memberikan klarifikasi. Mereka membantah adanya janji pemberian sertifikat tanah secara gratis kepada masyarakat.
"Perusahaan tidak memiliki wewenang untuk menerbitkan sertifikat tanah. Kapasitas PT BTL hanya sebatas membantu dalam pengurusan sertifikat bersama dengan pemerintah desa dan kecamatan. Sejak kapan perusahaan memiliki kewenangan untuk menerbitkan sertifikat?" tegasnya.
Advertisement
Sistem Berkelanjutan
Di tempat yang sama, Public Relations (PR) Manager Internal PT BTL, Purnama, menjelaskan bahwa setelah pembukaan lahan, segera dilakukan penanaman jenis pohon gamal dan kaliandra. Pohon-pohon ini menjadi bahan baku utama di masa depan.
"Pohon-pohon yang kami tanam akan menjadi bahan baku utama setelah 4 tahun. Proses panen dapat dilakukan hingga lima kali setelah satu kali penanaman," kata Purnama sambil menunjukkan video dari lahan yang sudah mereka tanami.
Dalam proses pemanenan, pohon dipotong sekitar 50 sentimeter dari tanah, sehingga pohon tersebut dapat tumbuh kembali dan siap dipanen lagi di kemudian hari.
"Setelah lima kali panen, barulah kami mengganti pohon tersebut dengan yang baru, tanpa mencabut akarnya, sehingga kesuburan tanah tetap terjaga," tambahnya.
Purnama juga menjawab isu tentang hanya dua jenis kayu yang disebut ada dalam kawasan yang kini menjadi HGU perusahaan. Menurutnya, data itu hanya mencatat jenis kayu yang dominan, sementara hasil penelitian menunjukkan ada sekitar 15 jenis kayu di wilayah konsesi BTL.
"Yang dicatat adalah yang dominan, dan sistem memerlukan pencantuman nama latin. Hanya dua jenis kayu yang memiliki nama latin, dan semuanya sudah tercatat dalam Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH)," pungkasnya.
**Liputan ini didukung dan didanai Forest Watch Indonesia (FWI) lewat Journalist Fellowship Program: Transisi Energi Watch