Simulacra, Fenomena Menggelisahkan Jurnalisme Era Post Truth

Kebohongan yang diulang-ulang dan terus disuarakan para pendengung (buzzer) pada akhirnya akan diyakini sebagai sebuah kebenaran.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 04 Nov 2024, 01:00 WIB
Diterbitkan 04 Nov 2024, 01:00 WIB
Jurnalistik post truth
Sastrawan Beno Siang Pamungkas, menyampaikan kegelisahannya terhadap kebenaran dalam era post truth yang akhirnya melatarbelakangi didirikannya zonasi.id. foto : liputan6.com/edhie prayitno ige 

Liputan6.com, Semarang - Semua pemerintahan menyebarkan dusta. Beberapa di antaranya berdusta lebih banyak daripada yang lain. Kutipan salah satu jurnalis dari Amerika Serikat ini menjadi awal diskusi tren jurnalisme post truth.

Diskusi digelar untuk menandai diluncurkannya sebuah portal informasi dan edukasi, zonasi.id di Semarang. Sastrawan Beno Siang Pamungkas menyebutkan bahwa saat ini eksistensi media-media arus utama mulai tergerus oleh keberadaan media sosial.

"Jadi mendirikan sebuah media itu hanya dilakukan oleh orang yang hilang. Apalagi sekarang media arus utama yang besar saja banyak yang terlilit utang dan hanya menunggu waktu untuk mati," katanya.

Diskusi jurnalistik ini menghadirkan Kasi Humas Polrestabes Semarang, Kompol Agus Setyabudi dan Ketua IJTI Jawa Tengah, Teguh Hadi Prayitno.

Kompol Agus Setyabudi mencoba memperkenalkan aplikasi LIBAS (Polisi Hebat Semarang) yang diyakini mampu menjawab kebutuhan warga Semarang jika ada kejadian mendesak. Disebutkan pula bahwa aplikasi itu juga bisa dimanfaatkan untuk menangkal berita bohong (hoaks).

"Ini adalah salah satu upaya polisi hadir lebih dekat dan respon lebih cepat," katanya.

Upaya menangkal hoaks tersebut memang menjadi sebuah tantangan. Apalagi jika produsen hoaks adalah pemerintah sendiri. Misalnya berita tentang investor asing di IKN yang ternyata adalah berita bohong karena memang tidak ada investor asing.

 

Rekayasa Fakta

Jurnalistik post truth
Ardiyansyah Harjunantio, menjadi moderator diskusi dengan tema jurnalisme era post truth saat peluncuran portal informasi dan edukasi, zonasi.id. foto: liputan6.com/edhie prayitno ige 

Sementara itu, Teguh Hadi Prayitno menyoroti perebutan kue iklan oleh media. Menurutnya untuk mendapatkan iklan secara temporer, memang lebih mudah, namun menjaga pengiklan untuk terus beriklan di media mainstream sangat sulit

"Media arus utama hanya kebagian remah-remah dari iklan yang saat ini membanjiri media sosial. Pengiklan lebih memilih influencer daripada media mainstream," kata Teguh.

Contoh konkrit dari kegelisahan Teguh adalah dibawanya para influencer ke IKN, sementara untuk media arus utama justru dibatasi untuk mengakses acara.

Ardiyansyah Harjunantio, moderator diskusi ini menyebut bahwa ancaman serius Jurnalisme Post Truth adalah diyakininya kebohongan sebagai sebuah kebenaran faktual. Belajar dari propaganda Nazi yang memproduksi kebohongan dan dikabarkan berulang secara masif akhirnya dianggap sebagai sebuah kebenaran.

"Ini menjadi hiper realitas. Realitas rekaan. Belum lagi realitas itu dengan mudah diproduksi dengan Artificial Intellegence (AI). Sebab AI berbasis data, jadi ketika sengaja input data dengan salah, maka akan berbahaya," katanya.

Peluncuran Zonasi.id ini menjadi langkah penting dalam memperkuat ekosistem informasi di Semarang. Seperti disampaikan Beno Siang Pamungkas, perlunya para jurnalis untuk menghadirkan sumber berita yang objektif dan mendidik di tengah kompleksitas dunia informasi saat ini. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya