Cerita tentang Cagar Alam Mutis Timau, Ibu Pemberi Kehidupan Pulau Timor

Masyarakat Adat khawatir sekaligus curiga sistem zonasi Taman Nasional akan membatasi akses dan kegiatan masyarakat. Terutama aktivitas pariwisata yang dikhawatirkan akan mengganggu tatanan budaya dan adat-istiadat

oleh Ola Keda diperbarui 07 Feb 2025, 00:30 WIB
Diterbitkan 07 Feb 2025, 00:30 WIB
Masyarakat adat saat menggelar ritual penolakan cagar alam Mutis Timau menjadi Taman nasional. (Ola Keda/Liputan6.com)
Masyarakat adat saat menggelar ritual penolakan cagar alam Mutis Timau menjadi Taman nasional. (Ola Keda/Liputan6.com)... Selengkapnya

Liputan6.com, Kupang - Penetapan Taman Nasional Mutis-Timau di Nusa Tenggara Timur (NTT) terus menuai kontroversi. Masyarakat adat setempat menolak perubahan status dan menganggapnya sebagai pengkhianatan terhadap hak dan keberadaan mereka.

Taman nasional ini menjadi taman nasional ke-56 di Indonesia melalui Keputusan Menteri LHK Nomor 96 Tahun 2024 tentang perubahan fungsi pokok Cagar Alam Mutis Timau menjadi Taman Nasional.

Deklarasi Taman Nasional Mutis Timau telah dilakukan pada Minggu 8 September 2024 lalu oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya secara virtual.

Sayangnya, penetapan taman nasional ini tidak melalui dialog dan diskusi dengan para tokoh adat setempat. Penolakan demi penolakan pun terjadi seperti yang dilakukan masyarakat adat Mollo Utara di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Mereka mengatakan penetapan “Taman Nasional” itu secara tiba-tiba dan tidak ada keterlibatan para Usif dan Amaf dalam pengambilan keputusan. Hal ini kemudian dianggap bahwa pemerintah telah mengabaikan keberadaan para tokoh-tokoh adat di Mollo. Penetapan Taman Nasional secara sepihak ini juga dianggap tidak menghormati hukum adat Mollo.

Masyarakat Adat khawatir sekaligus curiga sistem zonasi Taman Nasional akan membatasi akses dan kegiatan masyarakat. Terutama aktivitas pariwisata yang dikhawatirkan akan mengganggu tatanan budaya dan adat-istiadat, ritus-ritus adat, hingga aktivitas yang berkaitan dengan penghidupan masyarakat seperti penggembalaan ternak dan kebersihan lingkungan yang tentu saja akan berpengaruh terhadap sumber-sumber air di Mutis.

Namun, KLHK menekankan tidak ada rencana untuk pembangunan wisata masif di kawasan tersebut, meskipun pembangunan sarana lain yang bersifat strategis mungkin dilakukan.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Pembagian Zona Adat

Yeheskiel Mnune, Tokoh Adat Mollo dari Desa Ajaobaki menjelaskan sistem zonasi seperti yang dikatakan pemerintah itu sejak dahulu kala masyarakat adat sudah melakukannya.

Menurutnya, hukum adat telah mengatur zona-zona mana saja yang boleh dan tidak boleh diganggu. Namun menurutnya, pemerintah tidak pernah berkoordinasi dengan para usif dan amaf dalam proses penetapan status ini.

“Sistem zonasi seperti itu kami di hukum adat sudah mengaturnya. Bagian wisata, bagian ternak sampai pada bagian ritual itu semua sudah diatur sejak dulu. Masing-masing bagian punya nama dan ritualnya tersendiri. Jika pemerintah mau mengatur zonasi, apakah mereka tahu dengan cerita seperti ini ? Cerita-cerita di balik penetapan wilayah dan ritual di dalamnya?," ungkap Yeheskiel Mnanu.

Menurutnya, penolakan masyarakat adat terhadap status taman nasional didasari atas kekhawatiran akan eksploitasi sumber daya alam di Mutis.

Mama Lodia Oematan, perempuan adat Desa Fatumnasi menjelaskan, Mutis adalah sumber kehidupan orang Mollo khususnya dan orang Timor pada umumnya sehingga wajib bagi masyarakat Mollo untuk menjaga warisan para leluhur.

Selama ini, sudah turun temurun hutan membantu masyarakat adat berdaulat atas pangan, obat-obatan dan sumber daya alam di dalamnya.

“Kalau kami kekurangan makanan, kami pergi ke mutis berdoa dan minta baik-baik kepada leluhur untuk mengambil makanan. Kami jarang membeli makanan dari luar. Sumber makanan kami dari hutan," katanya.

Ritual Hutan Adat

Masyarakat Adat Mollo Utara bersama para Usif dan Amaf telah melaksanakan ritual adat untuk menolak status Taman Nasional Mutis – Timau dan mengembalikan status Gunung Mutis sebagai Hutan Adat.

Ritual ini dimulai di Nausus, tempat ikatan Usif-usif (semacam raja atau adipati, tetapi bukan dalam arti monarki barat karena para usif tidak berkuasa mutlak, melainkan harus mendengar dan bermusyawarah dengan para amaf ketika mengambil keputusan), dengan menyembelih seekor kambing putih sebagai persembahan kepada alam dan leluhur.

Selanjutnya, ritual dilanjutkan di enam lokasi sakral di kaki Gunung Mutis yang ditetapkan oleh para Usif. Acara puncak berlangsung di Mutis, ditandai dengan penyembelihan seekor babi dan penanaman dua pohon beringin di pintu masuk sebagai simbol persatuan antara dua wilayah besar di Mollo Utara, yaitu Netpala dan Nunbena.

Ritual ini menandakan bahwa secara adat, Gunung Mutis telah ditutup untuk publik. Meskipun BKSDA menutup kawasan tersebut hingga 14 Februari 2025, namun secara adat, Gunung Mutis kini berstatus hutan larangan yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang.

Pernyataan Sikap Masyarakat adat Mollo

Setelah melakukan ritual adat, masyarakat Mollo kemudian berkumpul di Fatumnasi dan menyatakan sikap menolak Taman Nasional Mutis-Timau dan mengembalikan status gunung mutis sebagai hutan adat yang telah disakralkan secara turun temurun.

Pernyataan sikap bukan merupakan perlawanan terhadap negara tetapi sebagai upaya untuk mempertahankan harkat dan martabat sebagai orang Mollo secara khusus dan orang Timor secara keseluruhan.

“Sejak dahulu, para leluhur telah menetapkan Mutis sebagai tempat sakral orang Timor untuk menghidupi orang Timor di seluruh wilayah Pulau Timor atau yang disebut atoni pah meto. Kami tidak berurusan dengan Surat Keputusan kementrian, tapi kami berurusan dengan adat kami. Jika ada orang yang melanggar tatanan adat ini maka konsekuensinya berat bisa berakhir dengan kematian," tegas Alfred Baun, Masyarakat Mollo.

Tokoh perempuan adat Mollo, Aleta Baun, menjelaskan persiapan untuk ritual adat ini telah berlangsung selama kurang lebih satu minggu. Ritual panjang ini merupakan salah satu bentuk pernyataan sikap terhadap status baru Taman Nasional Mutis – Timau.

“Melalui Ritual ini kami Masyarakat Adat Mollo menolak Taman Nasional Mutis – Timau. Kami menolak cagar alam gunung Mutis. Kembalikan hutan adat kepada masyarakat adat,’ setu Aleta Baun.

Untuk diketahui, gerakan penolakan yang sama juga telah dilakukan oleh masyarakat adat Desa Noepesu dan Desa Fatuneno, Kecamatan Miomaffo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara dengan menggelar ritual adat pada 31 Oktober 2024 lalu.

Ritual adat tersebut dihadiri oleh oleh masyarakat adat, aggota DPRD TTU dari Fraksi PDIP, Veronika Lake, Rohaniwan Katolik, Rm. Paulus Bapa, Ketua Forum Sejarah dan Budaya Timor (FSBT), Kayetanus Abi, serta sejumlah perwakilan organisasi kemahasiswaan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya