Liputan6.com, Kutai Kartanegara - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) VIII di Desa Kedang Ipil, Kecamatan Kota Bangun Darat, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Rakernas dimulai dengan pembukaan secara seremonial pada Senin (14/4/2025) pagi.
Rakernas kali ini mengusung tema “Perkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Gempuran Pembangunan yang Merusak.”
Advertisement
Menurut Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, pemilihan lokasi kegiatan mengalami perubahan signifikan dari rencana awal. Rukka Sombolinggi mengungkapkan bahwa AMAN memiliki tradisi untuk menggelar pertemuan secara bergilir antar wilayah di Indonesia.
Advertisement
Setelah sukses mengadakan kongres di Papua dan Rakernas sebelumnya di Sumatera, awalnya Rakernas VIII direncanakan untuk dilaksanakan di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN).
"Dengan harapan waktu itu, kita ingin menunjukkan bahwa kita masih ada. Termasuk bagi masyarakat adat," ujar Rukka Sombolinggi.
Namun, dalam kurun waktu dua tahun terakhir, situasi di sekitar IKN dinilai telah berubah drastis.
"Kita tidak mungkin lagi bikin pertemuan di situ karena tidak ada kampung yang seperti ini yang bisa kita tempati," lanjutnya.
Sekjen AMAN menegaskan salah satu prinsip utama dalam penyelenggaraan forum-forum AMAN, termasuk Rakernas, adalah berbasis di kampung-kampung masyarakat adat.
"Karena di situ adalah tempat kita. Di IKN saat ini sudah tidak memungkinkan untuk membuat pertemuan masyarakat adat sebesar ini. Logistiknya tidak mungkin, kecuali kalau kita mau berkemah seperti para pejabat berkemah," tegasnya.
Setelah mempertimbangkan berbagai opsi, panitia dan AMAN Kalimantan Timur dipercaya untuk menentukan lokasi pengganti yang dinilai paling tepat. Desa Kedang Ipil kemudian dipilih sebagai tuan rumah Rakernas VIII.
"Tempat ini juga ditunjuk salah satunya karena menjadi contoh dari yang kita sebut sebagai resiliensi. Teguh, kokoh, ditekan dia bangkit lagi kembali dan kuat melawan. Di sini adalah simbol yang tadi disebutkan resiliensi dan resistensi," jelas Rukka Sombolinggi.
Kedang Ipil Simbol Resiliensi
Lebih lanjut, ia mengungkapkan masyarakat adat di Kedang Ipil saat ini tengah berhadapan dengan ancaman serius dari ekspansi perkebunan kelapa sawit.
"Di mana saat ini mereka sedang berhadapan-hadapan dengan perkebunan kelapa sawit. Yang ingin mengambil 1000 hektare wilayah adat mereka. katanya untuk sawit," ujarnya.
Masyarakat adat Kedang Ipil dengan tegas menolak rencana tersebut.
"Tapi masyarakat yang ada di sini nolak dengan alasan bahwa mereka khawatir kehadiran sawit itu, pabrik sawit itu akan merusak hutan yang menjadi tanggung jawab untuk dijaga oleh mereka. Dan juga akan menghancurkan sumber-sumber penghidupan bagi kampung ini," kata Rukka Sombolinggi.
Pemilihan Desa Kedang Ipil sebagai lokasi Rakernas VIII AMAN tidak hanya menjadi tempat untuk membahas isu-isu strategis organisasi, tetapi juga menjadi simbol perlawanan dan ketahanan masyarakat adat dalam menghadapi berbagai ancaman, termasuk perampasan wilayah adat atas nama pembangunan dan investasi.
Tema Rakernas kali ini semakin menegaskan komitmen AMAN untuk memperkuat resiliensi masyarakat adat di tengah derasnya arus pembangunan yang seringkali merugikan. Rakernas ini diharapkan dapat menghasilkan langkah-langkah konkret untuk memperkuat perjuangan masyarakat adat di seluruh Nusantara.
Rakernas ini berakhir pada Rabu (16/4/2025) dengan dihadiri sekitar 500 peserta dari seluruh struktur organisasi AMAN. Forum ini menjadi ruang evaluasi, refleksi, dan penyusunan strategi politik gerakan Masyarakat Adat untuk menghadapi tantangan yang semakin besar di masa depan.
Ketua Panitia Pelaksana, Yoga Saeful Rizal, menyatakan bahwa pemilihan Kedang Ipil sebagai tuan rumah RAKERNAS AMAN VIII bukan sekadar teknis, melainkan memuat makna politis. Wilayah adat ini berada di garis depan ancaman ekspansi sawit dan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). “Seluruh kekuatan AMAN berkumpul di sini, memperkuat solidaritas dan strategi perjuangan,” katanya.
Dalam sambutan pembukaan, Kepala Desa Kedang Ipil, Kuspawansyah, menyampaikan bahwa keresahan Masyarakat Adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang yang sering distigma sebagai pelaku pembakaran hutan.
“Padahal, sejak nenek moyang, ladang kami tak pernah menyulut kebakaran,” ujarnya.
Advertisement
