Liputan6.com, Jakarta - Meugang adalah tradisi khas masyarakat Aceh yang telah berlangsung selama berabad-abad. Tradisi ini dilakukan sehari sebelum bulan Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha, di mana masyarakat Aceh memasak dan menikmati daging bersama keluarga, kerabat, serta berbagi dengan yatim piatu dan kaum dhuafa.
Meugang bukan sekadar perayaan kuliner, tetapi juga memiliki makna sosial, budaya, dan spiritual yang mendalam bagi masyarakat Aceh. Dalam tradisi ini, kebersamaan dan solidaritas sosial menjadi nilai utama yang terus dijaga dari generasi ke generasi.
Meugang dipercaya telah ada sejak masa Kesultanan Aceh Darussalam. Pada masa itu, sultan menyelenggarakan Meugang sebagai bentuk kepedulian terhadap rakyatnya, di mana daging dibagikan secara merata agar semua orang dapat menikmati makanan yang layak sebelum menjalankan ibadah puasa atau merayakan hari besar Islam.
Advertisement
Baca Juga
Seiring waktu, tradisi ini diadopsi oleh masyarakat umum dan menjadi bagian dari budaya Aceh hingga saat ini. Makna utama dari Meugang adalah kebersamaan dan kepedulian sosial.
Tradisi ini mengajarkan bahwa sebelum memasuki bulan suci Ramadan atau merayakan hari besar yang penting bagi setiap keluarga untuk memastikan bahwa semua orang, terutama mereka yang kurang mampu, dapat menikmati makanan yang layak.
Oleh karena itu, banyak masyarakat Aceh yang rela mengeluarkan uang lebih untuk membeli daging, meskipun harga daging pada saat Meugang sering kali melonjak drastis.
Menjelang hari Meugang, pasar-pasar di Aceh dipenuhi oleh masyarakat yang ingin membeli daging sapi atau kambing. Pedagang daging bahkan menambah stok mereka untuk memenuhi tingginya permintaan.
Harga daging pada saat Meugang bisa naik dua hingga tiga kali lipat dibandingkan hari biasa, namun hal ini tidak menyurutkan semangat masyarakat untuk tetap menjalankan tradisi ini. Setelah membeli daging, masyarakat Aceh akan mulai memasaknya dengan berbagai bumbu khas.
Menjaga Harmoni Sosial
Beberapa hidangan yang umum disajikan pada Meugang antara lain kuah beulangong (semacam gulai daging dengan bumbu khas Aceh), rendang Aceh, dan semur daging.
Setiap keluarga memiliki cara tersendiri dalam mengolah daging, yang biasanya diwariskan dari generasi ke generasi. Setelah makanan siap, keluarga besar akan berkumpul untuk makan bersama.
Tidak hanya anggota keluarga inti, tetapi juga sanak saudara, tetangga, dan bahkan orang-orang yang kurang mampu akan diajak untuk menikmati hidangan Meugang. Masyarakat juga sering mengantarkan makanan ke masjid, panti asuhan, atau rumah yatim piatu sebagai bentuk sedekah dan kebersamaan.
Meugang bukan hanya tentang makan bersama, tetapi juga tentang mempererat hubungan sosial dan mempertahankan nilai-nilai budaya. Dalam kehidupan modern, di mana kesibukan sering membuat anggota keluarga jarang berkumpul, Meugang menjadi momen yang sangat berarti untuk mempererat silaturahmi.
Selain itu, Meugang juga mencerminkan nilai gotong royong dan kepedulian terhadap sesama. Meskipun harga daging mahal, masyarakat Aceh tetap berusaha menjalankan tradisi ini, bahkan mereka yang kurang mampu pun akan berusaha sebisa mungkin untuk membeli dan memasak daging.
Jika tidak memungkinkan, biasanya ada tetangga atau keluarga yang akan berbagi, menunjukkan kuatnya nilai sosial dalam budaya Aceh. Tradisi ini bukan hanya sekadar menyantap daging, tetapi juga menjadi simbol solidaritas sosial di masyarakat Aceh.
Dengan mempertahankan Meugang, masyarakat Aceh tidak hanya melestarikan warisan budaya nenek moyang, tetapi juga menjaga harmoni sosial dalam kehidupan mereka. Meugang bukan hanya tentang makanan, tetapi juga tentang kebersamaan dan makna spiritual yang mendalam dalam menyambut bulan suci dan hari raya Islam.
Penulis: Belvana Fasya Saad
Advertisement
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)