Harga Gula Indonesia Dikhawatirkan Naik, Ini Saran dari Guru Besar UGM

Agenda ketahanan pangan mulai digencarkan oleh pemerintah dengan menurunkan ketergantungan terhadap produk impor. Tahun ini, pemerintah menghentikan impor untuk empat komoditas bahan pokok, yakni gula, garam, beras, dan jagung.

oleh Yanuar H Diperbarui 17 Feb 2025, 08:00 WIB
Diterbitkan 17 Feb 2025, 08:00 WIB
harga gula alami kenaikan
Seorang pedagang menimbang gula pasir di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Selasa (21/11/2023). (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Liputan6.com, Yogyakarta - Pemerintah menghentikan impor untuk empat komoditas bahan pokok, yakni gula, garam, beras, dan jagung yang berisiko akan menyebabkan inflasi terhadap harga komoditas tersebut, khususnya gula yang sebelumnya, angka impor gula mencapai 3,5 juta ton/tahun yang melebihi impor beras sebesar 3 juta ton/tahun. Subejo, Guru Besar Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada mengatakan ada risiko kenaikan harga gula jika tidak dibarengi dengan peningkatan kapasitas produksi nasional terutama empat komoditas itu.

“Risiko krisis pangan karena kegagalan panen akibat perubahan iklim, bencana, pandemi dan hambatan perdagangan global harus menjadi perhatian yang sangat serius untuk meningkatkan kapasitas produksi nasional yang berkelanjutan,” tutur Subejo, Kamis (13/2/2025).

Subejo mengatakan pada tahun 2023 lalu pemerintah sudah menurunkan kuota impor gula sebesar satu juta ton, lalu saat itu harga gula di pasaran langsung melonjak naik karena kelangkaan dan menurunnya hasil produksi lokal. Lalu, tahun ini, pemerintah kembali mengurangi kuota Gula Kristal Putih (GKR) atau rafinasi untuk industri hingga 3,4 juta ton dan menghentikan total impor gula konsumsi.

Subejo mengatakan jika penghentian impor gula dilakukan maka peningkatan kemampuan produksi lokal harus berjalan. Sebab, jika tidak segera ditingkatkan, maka potensi kenaikan harga gula atau inflasi kembali terjadi melebihi rata-rata menjelang bulan puasa mendatang. “Ide untuk pencapaian ketahanan pangan bahkan swasembada pangan adalah hal fundamental dan perlu diapresiasi namun perlu dilakukan dengan langkah yang tepat,” tutur Subejo.

Ia mengatakan perlu melakukan peningkatan kapasitas produksi lokal secara bertahap dan terintegrasi. Jika pengurangan impor ditargetkan sebesar 50%, maka kapasitas produksi harus ditingkatkan sebesar 10% maka dapat berlanjut secara bertahap dalam tiga sampai empat tahun ke depan. “Ketika produksi nasional bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri sepenuhnya, baru bisa dikatakan swasembada pangan,” terangnya.

Ia mengatakan ada tantangan besar dalam meningkatkan kapasitas produksi lokal seperti dampak perubahan iklim masih menghantui produsen tebu menjadi ancaman hasil panen anjlok sehingga menjadikan petani enggan menanam tebu. Oleh karena itu, Pemerintah harus menjamin harga dari petani sampai ke konsumen agar tidak terlalu melonjak ataupun menurun dimana saat ini, Badan Pangan Nasional (Bapanas) menetapkan harga produsen sebesar Rp14.500 per kilogram dan Rp17.500-18.500 harga konsumen. “Indonesia memiliki lahan kering yang cukup besar yang belum dimanfaatkan secara optimal, perlu dicarikan inovasi yang sesuai sehingga dapat dikembangkan tebu lahan kering,” jelasnya.

Selain itu pemanfaatan lahan kering, perlu pengembangan sistem perkebunan tebu yang mampu meningkatkan produktivitas. Kedua langkah strategis tersebut dapat dijalankan melalui dorongan riset dan inovasi teknologi. “Dukungan tata kelola dan kelembagaan yang baik serta peningkatan kapasitas SDM yang mencakup petani tebu maupun pendampingan petani juga penting,” tambah Subejo.

Sementara agar kenaikan harga gula di pasaran tidak tinggi maka perlu mengendalikan harga pasar. Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai institusi yang mengatur pangan nasional harus melakukan perbaikan sistem rantai pasok dari produsen ke konsumen pada produk pangan pokok bisa dimaksimalkan dengan memperketat stabilitas harga.

Video Pilihan Hari Ini

Live dan Produksi VOD

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya