Liputan6.com, Jakarta - Kesultanan Ternate adalah salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara yang memiliki warisan budaya dan adat istiadat yang kaya, salah satunya adalah adat Segulaha.
Adat ini merupakan sistem sosial dan hukum yang diwariskan dari generasi ke generasi, mencerminkan perpaduan antara nilai-nilai Islam dan budaya lokal yang telah berkembang di bawah pengaruh Kesultanan Ternate. Adat Segulaha bukan sekadar aturan atau kebiasaan, tetapi juga identitas masyarakat yang mencerminkan harmoni antara ajaran agama dan kearifan lokal.
Dalam sejarahnya, adat Segulaha berkembang seiring dengan masuknya Islam ke Maluku Utara, terutama melalui peran para ulama dan pedagang Arab, Persia, serta Gujarat yang berdagang di wilayah ini sejak abad ke-13. Pengaruh Islam semakin kuat seiring dengan konversi raja-raja Ternate ke Islam dan pembentukan sistem pemerintahan berbasis syariat.
Advertisement
Baca Juga
Namun, Islam yang diterapkan di Ternate tidak menghilangkan unsur budaya asli, melainkan melebur secara harmonis dengan adat istiadat setempat. Segulaha menjadi bukti nyata bagaimana hukum adat dan nilai Islam dapat bersinergi dalam kehidupan sosial masyarakat Ternate.
Segulaha bukan hanya sekadar aturan, tetapi juga mencakup filosofi dan nilai-nilai yang mengatur hubungan sosial, pemerintahan, serta kehidupan sehari-hari. Dalam sistem adat ini, terdapat konsep hierarki sosial yang jelas, di mana sultan sebagai pemimpin tertinggi memiliki otoritas dalam menjalankan hukum adat yang berlandaskan Islam.
Sultan dibantu oleh Bobato Nyagimoi Se Tufkange (dewan penasihat kesultanan) yang terdiri dari para bobato (pejabat adat) dan imam yang bertugas mengawasi penerapan nilai-nilai Islam dalam kebijakan kesultanan. Salah satu aspek penting dari adat Segulaha adalah sistem peradilan yang menggabungkan hukum Islam dan adat lokal.
Dalam menyelesaikan suatu perkara, para bobato dan hakim adat (juga disebut Jou Kolano) akan merujuk pada Al-Qur’an dan Hadis sebagai dasar hukum, tetapi dalam praktiknya, penyelesaian sengketa tetap mempertimbangkan tradisi yang telah lama dianut oleh masyarakat.
Misalnya, dalam hukum waris, Segulaha tetap mengacu pada prinsip Islam, tetapi juga memberi ruang bagi penyelesaian berbasis musyawarah keluarga yang merupakan ciri khas budaya Ternate. Selain dalam bidang hukum, adat Segulaha juga terlihat dalam upacara adat dan tata cara pergaulan masyarakat.
Upacara-upacara seperti Kololi Kie (ritual penghormatan kepada leluhur dan alam) serta Fere Kie (ritual pembersihan desa) menunjukkan bagaimana kepercayaan lokal tetap dijaga, tetapi di dalamnya disisipkan doa-doa Islam sebagai bentuk integrasi nilai agama dengan budaya.
Identitas Budaya
Tata cara berpakaian pun mencerminkan perpaduan ini, di mana busana adat Ternate seperti Jubah Kolano (pakaian sultan) mengadaptasi pakaian khas Timur Tengah tetapi tetap memiliki corak lokal yang unik.
Salah satu hal yang membuat adat Segulaha tetap lestari adalah karena nilai-nilai Islam yang terkandung di dalamnya tidak bertentangan dengan prinsip dasar kehidupan masyarakat Ternate. Konsep keadilan (‘adl), musyawarah (syura), dan kebersamaan (ukhuwah) menjadi inti dari adat ini.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Ternate diajarkan untuk hidup dalam kebersamaan dan saling membantu, sebagaimana dalam ajaran Islam yang menekankan pentingnya ukhuwah Islamiyah.
Adat Segulaha juga memiliki prinsip moral yang kuat, seperti konsep Maka Kolano yang berarti bahwa seorang pemimpin harus memiliki sifat amanah dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Prinsip ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan bahwa seorang pemimpin adalah khalifah di muka bumi yang wajib menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Oleh karena itu, dalam pengangkatan seorang sultan, bukan hanya faktor keturunan yang dipertimbangkan, tetapi juga kualitas moral dan pengetahuannya tentang Islam.
Dalam aspek sosial, Segulaha juga menekankan pentingnya adat sopan santun yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam, seperti menghormati orang tua, menjaga adab berbicara, serta menghindari perbuatan yang dilarang dalam Islam seperti mabuk-mabukan dan berjudi.
Pelanggaran terhadap norma-norma ini bukan hanya dipandang sebagai pelanggaran adat, tetapi juga sebagai pelanggaran terhadap ajaran agama, sehingga sanksinya bisa berupa teguran dari tokoh agama hingga hukuman adat yang melibatkan komunitas.
Meskipun adat Segulaha telah bertahan selama berabad-abad, tantangan zaman modern membuat adat ini menghadapi berbagai ancaman, terutama dari globalisasi dan modernisasi yang sering kali membawa nilai-nilai baru yang berbeda dengan budaya lokal.
Urbanisasi, pergeseran pola pikir generasi muda, serta pengaruh budaya luar dapat mengikis penghormatan terhadap adat Segulaha. Namun, berbagai upaya dilakukan untuk melestarikan adat ini.
Kesultanan Ternate bersama tokoh adat dan ulama terus mengadakan kegiatan budaya dan pendidikan untuk mengenalkan Segulaha kepada generasi muda. Festival budaya, seminar adat, serta pendidikan berbasis kearifan lokal di sekolah-sekolah menjadi langkah penting dalam memastikan bahwa nilai-nilai Segulaha tetap hidup dalam masyarakat.
Selain itu, integrasi adat Segulaha dalam sistem pemerintahan lokal juga menjadi salah satu cara agar adat ini tetap relevan. Beberapa aturan dalam hukum adat mulai diakui dalam regulasi daerah, seperti dalam penyelesaian sengketa tanah adat atau pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas.
Ini menunjukkan bahwa adat Segulaha bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi juga memiliki relevansi dalam kehidupan masyarakat modern. Adat Segulaha merupakan bukti nyata bagaimana Islam dan budaya lokal dapat menyatu secara harmonis dalam kehidupan masyarakat Ternate.
Sebagai sistem adat yang mengandung nilai-nilai Islam, Segulaha bukan hanya menjadi aturan sosial, tetapi juga identitas yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun menghadapi tantangan zaman, upaya pelestariannya terus dilakukan agar nilai-nilai luhur yang terkandung dalam adat ini tetap hidup dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Ternate di masa depan.
Dengan terus menjaga dan mengembangkan adat ini, masyarakat Ternate dapat tetap mempertahankan identitasnya di tengah arus perubahan zaman, tanpa kehilangan akar tradisi dan spiritualitas yang telah diwariskan oleh leluhur mereka.
Penulis: Belvana Fasya Saad
Advertisement
