Liputan6.com, Jakarta - Semangat Hari Bumi 2025 bertema "Our Power, Our Planet" diwujudkan melalui aksi nyata di Pantai Wuihebo, Kabupaten Sabu Raijua (23/4/2025). Global Environment Facility Small Grants Programme (GEF SGP) Indonesia berkolaborasi dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sabu Raijua dan masyarakat setempat menggelar penanaman mangrove sebagai upaya menjaga kelestarian pesisir.
Kepala Bidang Pencegahan Pencemaran dan Pengendalian Pengolahan Sampah DLH Sabu Raijua, Dedi Syamhadi, mengungkapkan kendati data statistik pencemaran pesisir belum tersedia, dampak abrasi sudah terlihat jelas di beberapa wilayah. Penambangan pasir menjadi salah satu kendala utama, di mana aktivitas tersebut seringkali dilakukan di pinggir pantai.
"Untuk Sabu Raijua ini, pencemarannya sendiri belum terlalu banyak karena sumber-sumber pabrik masih kurang. Tapi yang paling sering kita hadapi itu penambang-penambang liar ini. Kebanyakan mereka menambang di sekitar pinggiran pantai," jelas Dedi.
Advertisement
Baca Juga
DLH Sabu Raijua menyambut baik kolaborasi dengan LSM dan bantuan dana hibah seperti GEF SGP Indonesia dalam upaya pengendalian pencemaran dan pelestarian pesisir. Harapannya ke depan adalah terjalin kerjasama berkelanjutan, termasuk dalam penyediaan bibit mangrove dari DLH untuk ditanam bersama masyarakat.
"Saya dari Dinas Lingkungan Hidup pertama mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan LSM yang sudah membantu dalam usaha untuk pengendalian pencemaran sama untuk daerah pesisir kita ini. Untuk harapan ke depan mungkin sama kayak kita di Dinas Lingkungan Hidup, kita juga ada pengadaan untuk anakan-anakan. Nanti mungkin kita dengan LSM bisa kerjasama ambil anakannya dari kami untuk kita tanam bersama," ujar Dedi.
Meskipun DLH saat ini fokus pada pembibitan tanaman pesisir seperti pandan laut, kerja sama dengan berbagai pihak diharapkan dapat memperluas upaya penanaman mangrove yang dinilai sangat penting bagi Sabu Raijua.
Dedi menegaskan betapa pentingnya mangrove bagi pesisir Sabu Raijua. "Itu penting sekali karena dengan tidak adanya mangrove ini kan sudah mulai terjadi abrasi-abrasi dan lain sebagainya itu. Sehingga kami berharap kesadaran masyarakat untuk mengurangi penambangan dan mulai memiliki kesadaran menanam mangrove".
Ironisnya, beberapa lokasi penambangan pasir yang menjadi penyebab abrasi justru dulunya merupakan lahan mangrove. Pembukaan lahan mangrove ini tidak hanya memperparah abrasi, terutama saat musim barat dengan gelombang tinggi, tetapi juga menghilangkan fungsi ekologis penting dari hutan mangrove.
Dengan anggaran terbatas, harapan terbesar DLH adalah meningkatnya kesadaran masyarakat akan dampak buruk penambangan pasir dan pentingnya rehabilitasi kawasan pesisir. "Harapan ke depannya itu saya harap yang pertama kesadaran dari masyarakat dong. Kesadaran dari masyarakat kalau kita tambang pasir di sini punya pulau ini otomatis tambah hari tambah kurang tambah hari tambah kurang. Yang kedua mungkin kalaupun yang sudah terjadi ya mau tidak mau kita harus upaya bersama untuk rehabilitasi," harap Dedi.
Koordinator Nasional GEF SGP Indonesia, Sidi Rana Menggala, memaknai Hari Bumi sebagai hari di mana manusia dan alam menjadi satu. Program GEF SGP Indonesia secara keseluruhan selaras dengan semangat Hari Bumi, bertujuan untuk mewujudkan pelestarian lingkungan melalui tindakan nyata di tingkat komunitas.
"Jadi seluruh proyek GEF SGP Indonesia adalah terkait dengan program Earth Day itu sendiri. Jadi tujuannya adalah bukan hanya kita menanam-menanam saja, tapi kita yang pikirkan adalah bagaimana manusia dan alam itu menjadi satu dan kita memiliki tanggung jawab yang notabenenya solid menjaga kelestarian bumi ini," jelas Sidi.
Inisiatif penanaman mangrove di Pulau Sabu ini dipandang sebagai upaya penting untuk melindungi komunitas pesisir yang rentan terhadap dampak perubahan iklim dan erosi. "Upaya kita adalah agar masyarakat ini tetap survive hundreds of years kemudian gitu, meskipun hanya mangrove, tapi saya yakin ini adalah satu upaya kecil kita untuk coastal community yang dimulai dari Pulau Sabu itu sendiri," kata Sidi.
Tagline GEF SGP Global, "Local Action Global Impact," sangat relevan dengan kegiatan ini. Mas Sidi menekankan bahwa setiap tindakan pelestarian di tingkat lokal, sekecil apapun, akan berdampak pada skala global.
"Apapun yang kita lakukan di belahan timur Indonesia pun itu pasti akan berdampak di bagian barat dunia. Kita membuang sampah yang ada di Indonesia itu bisa terkena sampai ke Alaska. Local action itu bagaimana ada kesadaran di tingkat komunitas dan juga yang terbesar adalah mereka turut aktif ke depannya dalam pelestarian. Itu menjadi sebuah wujud cahaya bagi mereka-mereka yang tinggal di kawasan kepulauan lainnya itu," jelas Sidi.
Ke depan, GEF SGP Indonesia tidak hanya fokus pada penanaman mangrove, tetapi juga berupaya untuk "mendengar alam" dan menanam pohon-pohon lain, termasuk pohon buah di kawasan hutan. Tujuannya adalah agar masyarakat juga dapat merasakan manfaat langsung dari hasil hutan dan meningkatkan nutrisi mereka.
Semangat gotong royong dan kesadaran akan ancaman abrasi sangat terasa di kalangan masyarakat Pantai Wuihebo. Mama Jubina Wila, salah satu warga yang aktif dalam kegiatan penanaman mangrove, mengungkapkan ketakutannya akan dampak abrasi yang semakin parah.
"Jujur ya, saya pribadi ada ketakutan suatu waktu kami tidak bisa tinggal lagi di pinggir pantai kan kami tidak tahu kami harus kemana. Saya lihat itu dulu tidak terlalu berhubungan, tidak melebar. Kok dari tahun ke tahun ini melebar. Dulu kami masih bisa nyebrang, tapi sekarang susah. Makanya karena itu, saya takut," ungkap Mama Jubina.
Abrasi
Kekhawatiran Mama Jubina bukan tanpa alasan. Abrasi telah menggerus daratan dan bahkan mengancam infrastruktur penting seperti gereja. Masyarakat pun merasakan dampaknya pada mata pencaharian, di mana hasil tangkapan ikan semakin sulit didapatkan di dekat pantai.
Sekitar 30 warga, termasuk anak-anak sekolah minggu, turut serta dalam penanaman mangrove kali ini. Meskipun antusias, Mama Jubina mengakui adanya keterbatasan bibit. Dari 6.000 bibit yang direncanakan, baru sebagian kecil yang berhasil ditanam.
"Total seluruhnya yang mau kami tanam itu 6.000 bibit untuk mencakup wilayah, kami sangat bersyukur melalui aksi penanaman mangrove saat hari bumi mendapatkan bibit 400 anakan ," jelas Mama Jubina.
Meskipun menghadapi keterbatasan bibit, masyarakat Wuihebo tidak patah semangat. Mereka melakukan upaya swadaya, seperti memasang pagar manual dari kayu untuk melindungi bibit mangrove yang baru ditanam dari gelombang pasang dan hewan ternak yang dilepas bebas.
"Kami memasang pagar sepanjang 500 meter bersama dari kepala desa. Kepala desa ikut turun langsung ke masyarakat, dan terdapat pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang kami wajibkan setiap penerima BLT untuk membawa lima batang kayu," cerita Mama Jubina.
Namun, tantangan dari alam tetap besar. Gelombang pasang saat musim barat seringkali merusak bibit mangrove yang baru ditanam. Meski demikian, masyarakat tidak menyerah dan terus melakukan penanaman ulang.
Semangat kolaborasi antara GEF SGP Indonesia, DLH Sabu Raijua, dan masyarakat Pantai Wuihebo dalam aksi penanaman mangrove ini adalah secercah harapan bagi masa depan pesisir yang lebih aman dan lestari. Meskipun tantangan abrasi dan keterbatasan sumber daya ada, kesadaran dan partisipasi aktif dari tingkat komunitas menjadi modal penting untuk mewujudkan aksi lokal berdampak global dan menjaga bumi untuk generasi yang akan datang.
Advertisement
