Kapitalisasi Pasar Saham Facebook Anjlok Rp 509 Triliun

Saham Facebook turun hampir tujuh persen mendorong kekayaan Mark Zuckerberg anjlok USD 5 miliar atau sekitar Rp 68,80 triliun.

oleh Agustina Melani diperbarui 20 Mar 2018, 14:16 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2018, 14:16 WIB
Facebook
Ilustrasi Facebook (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Saham Facebook tertekan pada awal pekan ini. Tekanan terhadap saham Facebook mendorong kapitalisasi pasar saham anjlok US$ 37 miliar atau sekitar Rp 509,18 triliun (asumsi kurs Rp 13.761 per dolar Amerika Serikat).

Saham Facebook merosot hampir tujuh persen. Harga saham Facebook ditutup jadi USD 172,56. Saham Facebook tersungkur usai perusahaan analisis data, Cambridge Analytica (CA) dilaporkan terlibat skandal besar kebocoran data puluhan juta pengguna Facebook. Demikian mengutip laman CNN Money, Selasa (20/3/2018).

Perusahaan yang pernah bekerja dengan tim kampanye Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dituding menggunakan jutaan data untuk membuat sebuah program software yang hebat sehingga bisa prediksi dan pengaruhi pemilihan suara.

Saham Facebook alami penurunan terbesar dalam empat tahun terkait ada sentimen tersebut. Namun, saham Facebook turun tajam tak membuat Facebook hilang nilai sebagai perusahaan berharga. Facebook masih tetap perusahaan paling berharga di Amerika Serikat (AS).

Kapitalisasi pasar saham Facebook masih sekitar USD 500 miliar. Angka ini di bawah Apple, induk usaha Google yaitu Alphabet, Amazon, Microsoft, dan Berkshire Hathaway.

Mark Zuckerberg memegang 400 juta saham Facebook. Harga saham Facebook tersungkur membuat kekayaan Zuckerberg turun sekitar US$ 5 miliar atau sekitar Rp 68,80 triliun pada Senin waktu setempat. Zuckerberg pun masih memiliki saham Facebook senilai USD 70 miliar.

Ia masih tercatat sebagai orang terkaya di dunia yang berada di posisi keenam. Saham Facebook yang tertekan ini membuat sejumlah pengamat menilai agar Facebook diatur. Beberapa pengguna pun menyatakan akan menghentikan penggunaan facebook. Para pengguna juga mempertanyakan bagaimana Facebook dapat memulihkan kepercayaan public terhadap privasi dan perlindungan data.

 

Facebook Terjerat Skandal Data

Facebook
Ilustrasi Facebook (iStockPhoto)

Sebelumnya, Perusahaan analisis data, Cambridge Analytica (CA), dilaporkan terlibat dalam skandal besar kebocoran data puluhan juta pengguna Facebook.

Perusahaan yang pernah bekerja dengan tim kampanye Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, itu dituding menggunakan jutaan data untuk membuat sebuah program software yang hebat sehingga bisa memprediksi dan memengaruhi pemilihan suara.

Dilansir The Guardian, Selasa 20 Maret 2018, seorang whistleblower bernama Christopher Wylie, mengungkapkan kepada Observer The Guardian, bagaimana CA menggunakan informasi personal diambil tanpa izin pada awal 2014 untuk membangun sebuah sistem yang dapat menghasilkan profil pemilih individual AS.

Hal ini dilakukan untuk menargetkan mereka dengan iklan politik yang telah dipersonalisasi. CA sendiri merupakan perusahaan yang dimiliki oleh miliarder Robert Mercer dan pada saat itu dimpimpin oleh penasihat utama Trump, Steve Bannon.

"Kami mengekspolitasi Facebook dan "memanen" jutaan profil orang-orang. Kami membuat berbagai model untuk mengeksploitasi apa yang kami tahu tentang mereka dan menargetkan 'isi hati' mereka. Itulah dasar keseluruhan perusahaan dibangun," ungkap Wylie.

Dokumen yang dilihat Observer dan dikonfirmasi oleh pernyataan Facebook, menunjukkan bahwa perusahaan pada akhir 2015 mengetahui ada kebocoran data yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Namun, Facebook saat itu gagal memperingatkan para pengguna, kemudian hanya melakukan sedikit upaya untuk memulihkan dan mengamankan informasi lebih dari 50 juta penggunanya.

Menurut laporan New York Times, salinan pengambilan data untuk CA masih bisa ditemukan di internet. Tim media tersebut, juga dilaporkan melihat beberapa data mentah.

Seluruh data dikumpulkan melalui sebuah aplikasi bernama thisisyourdigitallife, yang dibuat oleh akademisi Aleksander Kogan, terpisah dari pekerjaannya di Cambridge University.

Melalui perusahaannya, Global Science Research (GSR) berkolaborasi dengan CA, membuat ratusan ribu pengguna dibayar untuk menjalani pengujian kepribadian dan menyetujui data mereka diambil untuk kepentingan akademis.

Selain itu, aplikasi juga mengumpulkan informasi dari test-taker teman-teman di Facebook, yang menyebabkan akumulasi puluhan juta data.

Kebijakan platform Facebook hanya mengizinkan pengumpulan data teman-teman untuk meningkatkan pengalaman pengguna di aplikasinya, dan dilarang untuk dijual atau digunakan untuk iklan.

Selain dugaan keterlibatan skandal media sosial CA dalam Pilpres AS, perusahaan dan Facebookmenjadi fokus penyelidikan terkait data dan politik oleh British Information Commissioner's Office. Secara terpisah, Electoral Commision juga menyelidiki peran CA dalam referendum Uni Eropa.

Pada Jumat (16/3/2018), empat hari setelah Obeserver meminta komentar atas laporan ini dan lebih dari dua tahun setelah kebocoran data pertama kali dilaporkan, Facebook mengumumkan telah menangguhkan CA dan Kogan dari layanannya, sambil menunggu informasi lebih lanjut soal penyalahgunaan data.

Pihak CA sendiri berulang kali membantah bekerja dan menggunakan data Facebook. Sementara itu, pihak Facebook mengatakan CA mungkin memiliki banyak data, tapi bukan pengguna Facebook.

"Mereka mungkin memiliki banyak data, tapi bukan data pengguna Facebook. Data itu mungkin tentang orang-orang yang ada di Facebook yang mereka kumpulkan sendiri, tapi itu bukan kami yang memberikannya," ungkap Direktur Kebijakan Facebook di Inggris, Simon Milner.

Adapun Wylie selaku ahli analisis data asal Kanada yang bekerja dengan CA dan Kogan, menunjukkan sebuah dokumen bukti tentang penyalahgunaan data kepada Observer, sehingga menimbulkan keraguan atas pernyataan Facebook dan CA.

Ia telah menyerahkan dokumen tersebut kepada unit kejahatan siber National Crime Agency dan Information Commisioner's Office Inggris.

 

 Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya