Liputan6.com, Jakarta - Bursa Efek Indonesia (BEI) angkat suara mengenai harga saham yang berpotensi merosot hingga Rp 1 per lembar. Hal itu menyusul terbitnya Peraturan Bursa Nomor I-X tentang Penempatan Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas pada Papan Pemantauan Khusus dan Peraturan Bursa Nomor II-X tentang Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas pada Papan Pemantauan Khusus.
Jika sebelumnya saham perusahaan mentok pada level terendah di posisi Rp 50 per lembar, kali ini harga saham bisa terjun hingga Rp 1 per lembar. Kondisi ini berlaku pula untuk emiten yang baru listing di Bursa.
Baca Juga
Catatan saja, terdapat beberapa saham emiten baru yang kurang laku di pasar, hingga sentuh harga terendah. Menanggapi kondisi ini, Direktur Utama BEI, Iman Rachman mengatakan harga saham murni berasal dari mekanisme pasar.
Advertisement
"Memang ada beberapa perusahaan harganya memang bisa Rp 50 tapi kinerjanya sebenarnya bagus, tetap profitable dan bagi hasil. Ini memang kita terus melakukan perbaikan-perbaikan atas kondisi tersebut. Tapi Bursa perlu support stakeholder bersama-sama dengan OJK dan underwriter atau perusahaan sekuritas untuk juga melakukan pengawasan," tutur Iman, dikutip Senin (3/7/2023).
BEI sudah mengimbau kepada perusahaan tercatat agar memperhatikan keberlanjutan perusahaan lewat kinerja yang bagus. Sebab, Iman mencermati harga saham tidak serta merta mencerminkan kinerja perusahaan. Dalam hematnya, bisa saja saham gocap memiliki kinerja fundamental yang bagus.
Namun, karena informasi itu tidak terdistribusi dengan baik kepada publik, harga sahamnya juga tak banyak bergerak. Bursa juga telah melakukan langkah-langkan untuk memperketat pencatatan saham baru.
"Sebenarnya kita mencari quality (dari perusahaan tercatat). Tetapi kita juga mempersilahkan perusahaan-perusahaan dan UMKM untuk listing, tapi tetap yang punya potensi. Makanya kita punya papan akselerasi. Kita juga punya papan utama dan pengembangan," kata Iman.
BEI Sebut Pertumbuhan Emiten Baru Indonesia Tertinggi di Dunia, Naik 4,7 Persen hingga Mei 2023
Sebelumnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat perusahaan publik atau emiten baru di BEI naik 4,7 persen year to date (ytd) menjadi 40 perusahaan hingga Mei 2023.
Dengan pertumbuhan perusahaan publik baru itu, Direktur Utama BEI, Iman Rachman menuturkan hal tersebut tertinggi dibandingkan dengan negara lain di dunia.
“Sampai dengan Mei 2023 jumlah perusahaan baru tercatat sudah 40, padahal belum setengah tahun. Untuk perusahaan baru tercatat di bursa kita tumbuh 4,7 persen (ytd), hampir tidak ada yang tumbuh positif lebih dari 4,7 persen (ytd) dari perusahaan tercatat yang ada,” kata Iman.
Iman mencontohkan, pada negara non ASEAN, perusahaan publik baru di bursa saham Jepang hanya tumbuh 0,28 persen (ytd), Nasdaq Amerika Serikat (AS) susut 2,9 persen (ytd), Shenzhen Stock Exchange naik 1,6 persen (ytd).
Sedangkan, perusahaan publik atau emiten baru di bursa saham negara ASEAN, bursa Malaysia naik 0,9 persen (ytd), dan Thailand tumbuh 1,4 persen (ytd).
“Jadi Indonesia yang pertumbuhan perusahaan baru tercatat terbesar dan terbanyak sampai Mei 2023. Target kami tahun lalu 59 perusahaan tercatat, tahun ini 57 perusahaan tercatat, dan ternyata ini sudah lebih dari 40 perusahaan,” kata dia.
Advertisement
Kinerja 2022
Seiring pertumbuhan itu, untuk jumlah perusahaan publik, World Federation of Exchange mencatat BEI berada di posisi kedua di antara negara ASEAN lainnya, usai bursa saham Malaysia yaitu 864 perusahaan per Mei 2023, sedangkan Malaysia sebanyak 989 perusahaan tercatat.
Sepanjang 2022, sebanyak 59 perusahaan telah menggalang dana di pasar modal melalui Initial Public Offering (IPO), atau bertambah lima perusahaan dibandingkan 2021 yang sebanyak 54 perusahaan tercatat.
Sementara itu, nilai IPO sepanjang 2022 sebesar Rp 31,1 triliun sehingga total perusahaan tercatat di BEI sebanyak 825 perusahaan hingga 2022.
“Kalau kita lihat dari pencatatan saham, jumlah perusahaan tercatat tahun lalu sebanyak 825 dengan tambahan perusahaan baru yang tercatat 59 perusahaan. Tahun lalu yang tertinggi sejak swastanisasi tahun 1992, dengan fund risk Rp 33,1 triliun,” tutur Iman.