Serok Cuan Saat Window Dressing, Begini Strateginya

Pasar modal biasanya akan memasuki musim window dressing jelang akhir tahun. Secara garis besar, window dressing merupakan strategi yang digunakan oleh suatu perusahaan dan manajer investasi untuk menarik investor.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 28 Nov 2024, 06:00 WIB
Diterbitkan 28 Nov 2024, 06:00 WIB
Perdagangan Awal Pekan IHSG Ditutup di Zona Merah
Pekerja tengah melintas di layar pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (18/11/2019). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup pada zona merah pada perdagangan saham awal pekan ini IHSG ditutup melemah 5,72 poin atau 0,09 persen ke posisi 6.122,62. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Pasar modal biasanya akan memasuki musim window dressing jelang akhir tahun. Secara garis besar, window dressing merupakan strategi yang digunakan oleh suatu perusahaan dan manajer investasi untuk menarik investor. Yakni dengan cara mempercantik laporan atau kinerja keuangan dan portofolio bisnis yang dimilikinya.

"Potensi window dressing (tahun ini) ada, apalagi melihat kondisi emiten bigcaps yang sudah terdiskon banyak, tentunya menjadi daya tarik untuk para big fund untuk mengoleksi saham-saham bigcaps," kata Equity Analyst Kanaka Hita Solvera, Andhika Cipta Labora kepada Liputan6.om, Kamis (28/11/2024).

Andhika menyebutkan, salah satu sektor yang menarik dicermati pda sisa tahun ini adalah perbankan. Menurut dia, sektor perbankan khususnya big bank menarik karena kinerja sampai kuartal III 2024 masih bertumbuh sementara harga sahamnya turun. "Selain itu biasanya big bank menjadi incaran para big fund pada saat window dressing," kata dia.

Pengamat Pasar Modal Desmond Wira mencermati, secara historikal statistik indeks harga saham gabungan (IHSG) lebih sering naik daripada turun saat akhir tahun. Hal itu salah satunya didorong laporan kinerja emiten yang positif.

"Jika mau antisipasi window dressing berarti spekulasi beli beberapa bulan sebelumnya. Kalau beli di akhir tahun saat window dressing terjadi ya sudah terlambat. Saya katakan spekulasi, karena window dressing tidak jamin pasti terjadi," kata Desmond.

Meski begitu, Founder Silent Trader Academy, Om Silent mengatakan saat ini belum terlambat jika investor ingin serok cuan dari fenomena windows dressing. "Jadi sebenarnya ini belum telat sama sekali, tapi disclaimer. Tetap ada potensial growth," kata dia dalam diskusi MNC Sekuritas bertajuk Strategi Jitu Sambut Window Dressing.

 

Sektor untuk Dicermati

Pergerakan IHSG Ditutup Menguat
Karyawan mengamati pergerakan harga saham di Profindo Sekuritas Indonesia, Jakarta, Senin (27/7/2020). Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,66% atau 33,67 poin ke level 5.116,66 pada perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menurut Om Silent, beberapa sektor yang menarik dicermati saat windows dressing yakni perbankan dan batu bara. Di mana saham-saham dalam sektor tersebut sudha hampir pasti ada dalam portofolio manajer investasi.

"Jadi sektor banking, top 4 banking. Sebenarnya bisa yang second layer seperti BNGA dan NISP. Tapi kalau ragu bisa BBCA, BBRI, BMRI, dan BBNI. Cukup salah satu aja, jangan semuanya kita beli di satu sektor, itu juga gak tepat. Maksimal dua (per sektor)," ulas Om Silent.

Sementara untuk sektor batu bara, Om Silent menjelaskan sektor ini memiliki kecenderungan naik jelang musim dingin di Eropa. Sehingga harga batu bara berpotensi naik pada akhir tahun hingga awal 2025, yang berpotensi mendongkrak kinerja emiten batu bara pada periode tersebut.

"Jadi bertepatan dengan Desember-Januari, kita tahu di Barat itu mostly sudah winter, di mana sudah pasti secara siklus permintaan akan batu bara-nya meningkat. Jadi harga coal dunia perlahan meningkat jelang akhir tahun sampai awal tahun, dan di situ investor mulai melihat dan mengambil inisiatif untuk melakukan buy," jelas Om Silent.

Beberapa emiten pilihan sektor batu bara antara lain PTBA, ITMG, dan ADRO. Selain dua sektor ini, emiten spesifik yang biasanya tersengat window dressing adalah TLKM, INDF, dan ICBP. "Jadi sebenarnya itu secara price (TLKM) itu masih oke banget. Atau mungkin yang lebih stabil kayak ICBP atau INDF, itu untuk consumer goods juga mostly fund manager banyak keep in di sana," kata Om Silent.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya