Liputan6.com, Jakarta - Inflasi tahunan Amerika Serikat (AS) secara tak terduga lebih tinggi dari bulan sebelumnya. Inflasi AS tercatat 3 persen pada Januari dari prediksi 2,9 persen yang dipimpin asuransi kendaraan bermotor dan harga rekreasi.
Hal ini akibatkan perubahan ekspektasi suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed). Pasar perkirakan batas bawah suku bunga lebih tinggi dan mungkin hanya akan mengalami penurunan suku bunga 25 basis poin (bps) pada 2025.
Baca Juga
Pandangan ini selanjutnya didukung oleh data klaim pengangguran mingguan yang lebih rendah dari yang diharapkan yang menunjukkan pasar tenaga kerja tetap relatif kuat dan menambah narasi untuk penurunan suku bunga yang lambat.
Advertisement
"Namun, sekali lagi diingatkan ekspektasi pada jumlah penurunan cenderung tidak stabil dalam jangka pendek, intinya adalah lintasan suku bunga tetap sama untuk penurunan lebih lanjut yang menguntungkan aset berisiko seperti saham dan obligasi negara berkembang,” demikian seperti dikutip dari riset Ashmore Asset Management Indonesia, Senin (17/2/2025).
Selain itu, berita tentang rencana Donald Trump untuk tarif dagang sekali lagi muncul pekan lalu karena Donald Trump terus mendorong syarat yang dianggapnya adil untuk perdagangan AS. Khususnya langkah-langkah yang direncanakan mencakup penerapan tarif berdasarkan negar aper negara yang diharapkan akan diterapkan paling cepat 1 April.
“Hal ini memberikan sedikit kelonggaran bagi mitra dagang utama AS karena langkah-langkah perlindungan perdagangan ini tidak segera berlaku,”
Selain itu, fakta kalau tarif dagang tidak akan segera diterapkan dapat menunjukkan kemungkinan lebih besar kalau langkah ini menjadi bagian dari alat negosiasi seperti yang dilihat untuk Kanada dan Meksiko.
"Jika kita isolasi dampak dari tarif, kita dapat harapkan perbaikan pada kondisi fiskal karena pendapatan tarif. Namun, kekhawatiran tentang inflasi kembali muncul,” demikian seperti dikutip.
Prospek Saham dan Obligasi
Selain itu, imbal hasil obligasi di Indonesia terus menunjukkan penurunan tajam pekan lalu. Hal ini dibuktikan oleh penurunan berkelanjutan dalam imbal hasil jangka pendek. Berdasarkan lelang Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) terbaru, imbal hasil tenor 12 bulan di posisi 6,46 persen, terus turun dan di bawah imbal hasil IndoHB 1 tahun di 6,59 persen. Ini baru saja terjadi dan belum pernah terjadi sejak penerbitan awal SRBI pada 23 September.
"Kita dapat melihat bank sentral kurangi penerbitan instrument mahal dan sebagai hasilnya mengurangi jumlah likuiditas yang diserap di pasar,” demikian seperti dikutip.
Ashmore prediksi, hal itu juga dapat jadi sinyal imbal hasil kemungkinan terus turun.
Di sisi lain, valuasi saham Indonesia juga masih tertekan terutama dengan perusahaan yang punya fundamental kuat. Katalis pertumbuhan tetap berperan sepanjang tahun untuk mendukung pertumbuhan pendapatan. Selain itu, tren dividen lebih tinggi juga menjadi katalis.
“Dari perspektif total pengembalian, saham Indonesia tetap sangat menarik untuk jangka menengah hingga panjang, dan merekomendasikan untuk mempertimbangkan eksposur di kelas aset ini,”
Selain itu, obligasi juga terus menarik karena imbal hasil terus menurun terutama dengan kurva imbal hasil yang semakin tajam.
"Dengan penerbitan obligasi yang diperkirakan tetap ketat tahun ini, kami pertahankan pandangan kalau kedua kelas aset akan berkinerja baik tahun ini,”
Advertisement
Kinerja IHSG pada 10-14 Februari 2025
Sebelumnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok pada perdagangan 10-14 Februari 2025. Koreksi IHSG terjadi dipengaruhi rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) dan nilai tukar rupiah yang bergejolak.
Mengutip data Bursa Efek Indonesia (BEI), ditulis Sabtu (15/2/2025), IHSG tersungkur 1,54 persen ke posisi 6.638,45. Pada pekan lalu, IHSG susut 5,1 persen ke posisi 6.752,57.
Kapitalisasi pasar bursa merosot 1,67 persen menjadi Rp 11.401 triliun dari pekan lalu Rp 11.595 triliun. Rata-rata frekuensi transaksi harian bursa juga anjlok 11,58 persen menjadi 1,16 juta kali transaksi dari 1,31 juta kali transaksi pada pekan lalu.
Selain itu, rata-rata volume transaksi harian bursa terpangkas 25,55 persen menjadi 15,45 miliar saham dari 20,75 miliar saham pada pekan lalu. Investor asing jual saham Rp 3 triliun pada pekan ini. Aksi jual saham oleh investor asing ini turun tipis dibandingkan pekan lalu Rp 3,8 triliun.
Secara sectoral, mayoritas sektor saham menguat. Sementara itu, sektor saham energi terpangkas 3,57 persen, sektor saham consumer nonsiklikal susut 0,53 persen, sektor saham keuangan melemah 0,59 persen, sektor saham infrastruktur terpangkas 3,45 persen dan sektor saham transportasi dan logistic merosot 2,22 persen.
Di sisi lain, sektor saham basic materials mendaki 1,15 persen, sektor saham industri bertambah 0,45 persen, sektor saham consumer siklikal menguat 1,47 persen, sektor saham perawatan kesehatan naik 1,43 persen. Kemudian sektor saham properti dan real estate naik 0,86 persen, dan sektor saham teknologi bertambah 2,69 persen.
Kata Analis
Analis PT MNC Sekuritas Herditya Wicaksana menuturkan, IHSG melemah 1,54 persen selama sepekan didorong sejumlah faktor. Pertama, rilis data inflasi Amerika Serikat pada Januari 2025 yang naik menjadi 3 persen YoY dari Desember 2024 sebesar 2,9 persen. Inflasi AS ini juga berada di atas harapan konsensus.
“Kedua, dengan peningkatan inflasi, the Federal Reserve akan cenderung hawkish ke depan dengan diperkirakan mempertahankan suku bunga acuannya,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com.
Faktor ketiga, nilai tukar rupiah juga masih cenderung bergejolak terhadap dolar AS. Faktor keempat, aliran dana investor asing yang keluar masih terjadi pada IHSG yang cenderung menekan emiten kapitalisasi besar.
"Untuk sepekan ke depan, kami perkirakan IHSG masih rawan terkoreksi dengan support di 6.509 dan resistance di 6.698,” ujar dia.
Herditya menambahkan, sejumlah sentimen yang akan pengaruhi IHSG antara lain investor akan wait and see rilis data neraca perdagangan dan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia. Selain itu, ada rilis data suku bunga China. Ketiga, nilai tukar rupiah dan pergerakan harga komoditas akan pengaruhi IHSG.
Advertisement
