Liputan6.com, Jakarta - Pasar saham Indonesia mengalami volatilitas pekan lalu. Hal ini seiring investor global mencerna laba perusahaan dan menetapkan harapan untuk pertumbuhan ke depan.
Selain kekhawatiran terhadap kinerja perusahaan, investor juga waspada arah kebijakan Bank Indonesia (BI) ke depan. Keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan 5,75 persen untuk menjaga kestabilan mata uang yang relatif di 16.300 sejak pemangkasan suku bunga mendadak bulan lalu.
Advertisement
Baca Juga
"BI terus mengharapkan lebih banyak pemangkasan suku bunga tahun ini yang didukung oleh kondisi saat ini yang memungkinkan ruang untuk lebih banyak pemotongan yang meliputi inflasi Indonesia yang berada di bawah kisaran target bank sentral 1,5 persen-3,5 persen,” demikian seperti dikutip dari riset Ashmore, Senin (24/2/2025).
Advertisement
BI meski pertahankan suku bunga acuan, tetapi tetap merilis inisiatif yang bertujuan meningkatkan likuiditas di pasar, sehingga mengambil peran pelonggaran kuantitatif tanpa secara langsung menyesuaikan suku bunga.
Inisiatif ini termasuk menambahkan lebih banyak insentif pada kebijakan likuiditas makroprudensial yang ada bagi bank untuk memberikan pinjaman kepada sektor-sektor prioritas yang mencakup sektor pertanian, manufaktur dan konstruksi.
“Dengan melakukan itu, Bank Indonesia secara efektif akan menurunkan rasio persyaratan cadangan yang harus dipertahankan oleh bank-bank ini, yang berarti bank-bank yang memenuhi persyaratan ini dapat meningkatkan pinjaman dan pada dasarnya akan menambah likuiditas bagi perekonomian,” demikian seperti dikutio.
Selain dari pemotongan giro wajib minimum (GWF) melalui kebijakan makroprudensial, faktor lain yang dapat meningkatkan stabilitas ekonomi lokal termasuk kebijakan repatriasi hasil ekspor yang akan meningkat dari persyaratan 30 persen menjadi 100 persen dan periode penyimpanan dari tiga bulan menjadi satu tahun efektif mulai 1 Maret.
Ini ditargetkan secara khusus untuk hasil dari ekspor sumber daya alam. "Dampak dari hal ini akan terasa jelas segera setelah kebijakan tersebut berlaku karena mungkin ada potensi peningkatan likuiditas dalam sistem keuangan sekitar USD 80 miliar dan juga akan membantu memperkuat stabilitas Rupiah,”
Imbal Hasil Obligasi
Ashmore juga melihat lintasan yang tepat suku bunga tetap sama untuk pemotongan lebih lanjut tahun ini.
"Dan kita dapat melihat bahwa keputusan BI tidak terlalu bergantung pada keputusan Federal Reserve (the Fed). Kami ingatkan bahwa tujuan BI sekarang lebih selaras dengan pemerintah di mana pertumbuhan ekonomi telah menjadi tujuan yang lebih signifikan,”
Di sisi lain, imbal hasil obligasi di AS dan Indonesia juga telah mengalami decoupling atau kurangi ketergantungan di mana imbal hasil Indonesia telah turun cukup cepat, sementara imbal hasil AS tetap tinggi.
Dari puncaknya pada Januari, imbal hasil IndoGB 10Y telah turun sebesar 49,2 bps menjadi 6,78% dan imbal hasil IndoGB 1 tahun telah turun sebesar 82,4 bps menjadi 6,35%. Sebagai perbandingan, pada periode sama, imbal hasil UST 10 tahun turun 30,7 bps menjadi 4,46% dan imbal hasil UST 1 tahun turun 2,4 bps menjadi 4,18%.
“Dengan demikian, kami terus memperkirakan imbal hasil di ujung kurva yang lebih panjang akan bergerak turun dan merekomendasikan untuk tetap berinvestasi pada pendapatan tetap dan ekuitas dengan katalis yang masih berlaku tahun ini,”
Advertisement
Kinerja IHSG pada 17-21 Februari 2025
Sebelumnya, laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat signifikan pada periode 17-21 Februari 2025. Penguatan IHSG ini dinilai didukung neraca perdagangan Indonesia.
Mengutip data Bursa Efek Indonesia (BEI), ditulis Sabtu (22/2/2025), IHSG melonjak 2,48 persen ke posisi 6.803 pada 17-21 Februari 2025. Pekan lalu, IHSG turun 1,5 persen ke posisi 6.638.
Kenaikan IHSG juga diikutp kapitalisasi pasar bursa. Kapitalisasi pasar bursa melonjak 3,37 persen menjadi Rp 11.786 triliun dari pekan lalu Rp 11.401 triliun.
Selain itu, rata-rata volume transaksi harian bursa melambung 18,99 persen menjadi 18,38 miliar saham dari 15,45 miliar saham pada pekan lalu.
Rata-rata frekuensi transaksi harian bursa melonjak selama sepekan. Rata-rata frekuensi transaksi harian bursa naik 6,17 persen menjadi 1,23 juta kali transaksi dari 1,16 juta kali transaksi pada pekan lalu.
Selama sepekan, rata-rata nilai transaksi harian bursa merosot 3,74 persen menjadi Rp 11,78 triliun dari Rp 12,24 triliun pada pekan lalu. Sepanjang 2025, investor asing jual saham Rp 11,68 triliun.
Analis PT MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana menuturkan, selama sepekan IHSG naik 2,48 persen yang didorong sejumlah faktor.
Sentimen Lainnya
Analis PT MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana menuturkan, selama sepekan IHSG naik 2,48 persen yang didorong sejumlah faktor. Pertama, rilis data neraca dagang Indonesia yang masih surplus. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia surplus USD 3,45 miliar pada Januari 2025. Di sisi lain, suku bunga acuan tetap 5,75 persen. Kedua, pergerakan nilai tukar rupiah yang masih cenderung tertekan terhadap dolar Amerika Serikat.
"Ketiga, perkembangan dari pertemuan FOMC, di mana diperkirakan cenderung berhati-hati dalam penerapan kebijakan moneter ke depannya sembari mencermati dan mempertimbangkan terhadap beberapa rilis data yang akan datang, tetapi demikian secara konsensus diperkirakan the Federal Reserve (the Fed) masih akan cenderung pertahankan suku bunga acuan,” ujar Herditya saat dihubungi Liputan6.com.
Keempat, aliran dana investor asing yang keluar dari IHSG masih cenderung besar dan diperkirakan masih mencapai Rp 1 triliun. Sepanjang 2025 saja, investor asing jual saham Rp 11,68 triliun.
Pada pekan depan, Herditya prediksi IHSG berpeluang naik dengan level support di 6.656 dan level resistance 6.932. Pergerakan IHSG masih akan dipengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. “Kedua, ada rilis data GDP dan PCE AS,” kata Herditya.
Advertisement
