Nostalgia Nonton Film Pengkhianatan G30S/PKI

Tanggal 30 September waktu yang tepat bernostalgia dengan film Pengkhianatan G30S/PKI.

oleh Ade Irwansyah diperbarui 30 Sep 2014, 19:00 WIB
Diterbitkan 30 Sep 2014, 19:00 WIB
Pengkhianatan G30S/PKI
Poster film Pengkhianatan G30S/PKI

Liputan6.com, Jakarta Andai saat ini kita hidup di zaman Orde Baru, malam ini kita bakal menyaksikan film Pengkhianatan G30S/PKI. TVRI yang menayangkannya dan semua TV swasta wajib me-relay alias ikut memutarnya. 

Ya, selama masa Orde Baru di tahun 1980-an hingga menjelang Orde Baru runtuh, saban malam tanggal 30 September kita hanya punya satu pilihan menonton film itu. Pilihan lainnya mematikan TV, tidur lebih cepat, keluyuran keluar rumah, atau mendengarkan radio.

Filmnya tayang jam 19.30 WIB selepas Berita Nasional TVRI. Lalu berhenti sebentar dipotong Dunia Dalam Berita. Kemudian dilanjutkan lagi hingga total durasinya 4 jam 30 menit.

Tahun 2014 menandai 49 tahun sejak peristiwa tanggal 30 September itu. Mari bernostalgia lagi dengan film itu.

Perubahan Judul

Nostalgia Nonton Film Pengkhianatan G30S/PKI
Tanggal 30 September waktu yang tepat bernostalgia dengan film Pengkhianatan G30S/PKI.

Perubahan Judul

Hal pertama yang menarik perhatian adalah opening sequence-nya. Di layar usai lambang PPFN (Pusat Produksi Film Negara), pembuat film itu yang juga membuat serial Si Unyil, muncul tulisan “PENGKHIANATAN GERAKAN 30 SEPTEMBER.” Ini menarik, karena selama ini kita mengenal film itu dengan judul Pengkhianatan G30S/PKI. Di poster film yang saya dapatkan dari buku katalog film keluaran 1984 juga menyebut judul filmnya Pengkhianatan G30S/PKI.

Menurut John Roosa, penulis buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, menyebut “G-30-S” dengan mencantumkan akhiran “/PKI” berarti menganggap PKI sebagai dalang dari gerakan itu. Teks sejarah Orde Baru jelas menyebut G-30-S didalangi PKI.

Makanya, selama Orde Baru "G-30-S" tak pernah berdiri sendiri. Deret angka dan huruf itu selalu diimbuhi akhiran "/PKI". Tapi, siapa sangka, di film yang jadi propaganda utama rezim akan peristiwa itu, pejabat Orde Baru sepertinya alpa mencantumkan "/PKI". Baru di poster dan semua media lain film itu disebut dengan Pengkhianatan G30S/PKI. Dari buku katalog film JB Kristanto (2007), film itu semula juga berjudul SOB (Sejarah Orde Baru).

Ada yang mengatakan SOB juga bisa berarti singkatan dari Staat van Oorlog en Beleg yang berarti negara dalam keadaan bahaya/darurat perang. Tulisan "SOB" tetap dicantumkan di poster film.

Yang lebih aneh lagi, saat muncul dalam bentuk VCD dan dijual bebas ke masyarakat (dengan tanggal lulus sensor tahun 2001), di sampul VCD muncul judul lain lagi: Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI. Di dalam film tetap muncul judul asli.

Di Balik Pembuatan Pengkhianatan G30S/PKI

Nostalgia Nonton Film Pengkhianatan G30S/PKI
Tanggal 30 September waktu yang tepat bernostalgia dengan film Pengkhianatan G30S/PKI.

Di Balik Pembuatan Pengkhianatan G30S/PKI

Yang janggal soal judul saja. Isinya tetap sama: versi Orde Baru atas tragedi yang terjadi tahun 1965 itu. Maka, buat saya, menghilangnya "/PKI" dari judul di dalam film semata karena kealpaan mendiang Arifin C. Noer, sutradaranya. Menganggapnya sebagai pembangkangan terhadap rezim rasanya terlalu jauh. Toh Arifin sudah bersedia membuat filmnya dan mengadaptasi cerita sejarawan Orde Baru Nugroho Notosusanto menjadi skenario film.

"Pengkhianatan G30S" (saya memilih memakai judul di dalam film, bukan di poster atau VCD) adalah versi resmi Orde Baru dan paling dikenal luas masyarakat. Tentu karena saat rilis 1984, setiap murid sekolah diwajibkan menontonnya—yang berujung pada film terlaris nomor wahid di Jakarta pada 1984 dengan jumlah penonton 699.282. Dan sejak tahun itu filmnya diputar di TVRI setiap malam 30 September sampai 1998 saat Menteri Penerangan Yunus Yosfiah mengatakan film itu takkan diputar lagi.

"Pengkhianatan G30S" melibatkan tokoh-tokoh kunci Orde Baru. Nugroho Notosusanto, sejawarawan militer yang jadi arsitek penulisan sejarah semasa Orde Baru bertindak sebagai penulis cerita. Artinya, cerita di film itu adalah rekaannya yang kemudian diadaptasi jadi skenario oleh Arifin C. Noer.

Kemudian ada pula Brigadir Jenderal G. Dwipayana, seorang kepercayaan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Direktur Perusahaan Film Nasional. Karena produk film tersebut sensitif, tulis Katherine E. McGreggor di buku `Ketika Sejarah Berseragam`, film itu diperiksa dulu oleh mereka yang terlibat, seperti Soeharto dan Jenderal Sarwo Edhie, maupun tokoh militer senior lain, sebelum diputar.

Majalah Tempo edisi 7 April 1984 menyebut, Soeharto sudah menonton filmnya pada Januari tahun itu. Komentarnya waktu itu, “… banyak yang belum diceritakan…karena itu akan dibuat satu film lagi, kelak.” (Untung niatan itu tak pernah kejadian.) Di majalah yang sama untuk adegan penyiksaan di Lubang Buaya ada yang berkomentar “kurang sadis”.

Total Arifin membutuhkan waktu dua tahun membuat film itu. Untuk sebuah hasil kerja dua tahun apa yang dibuat Arifin memang monumental. Dengan durasi 4,5 jam, bujet Rp 800 juta (yang termahal di awal 1980-an), melibatkan 120 orang memerankan tokoh nyata dan 10 ribu figuran pantas bila film ini menyebut di posternya "Film terbesar yang tak mungkin terulang lagi!”

Film Horor Sebenarnya

Nostalgia Nonton Film Pengkhianatan G30S/PKI
Tanggal 30 September waktu yang tepat bernostalgia dengan film Pengkhianatan G30S/PKI.

Film Horor Sebenarnya


"Cita-cita perjuangan kami untuk menegakkan kemurnian Pancasila tidak mungkin dipatahkan hanya dengan mengubur kami dalam sumur ini."

“Tidak usah mandi, jenderal.”

“Paling tidak cuci muka, toh dan berpakaian.”

“Tidak usah berpakaian.”

“Lancang kalian.”

“Bidik!” TRATATATATAAT....

“Mana Nasution?”

“Saya Nasution.”

“Penderitaan itu pedih jenderal… sekarang coba rasakan sayatan silet ini. Juga pedih.”

“Bukan main wanginya minyak wangi jenderal. Begitu harum sehingga mengalahkan amis darah sendiri.”

“Teken, jenderal. Teken!”

Demikian sejumlah dialog yang terus dikenang dari film `Pengkhianatan G30S`.

Film ini patut diacungi jempol lantaran kaya akan detil. Setting-nya berpindah-pindah dari Istana Bogor dan ke rapat-rapat gelap PKI, lalu ke rumah para jenderal yang diculik, lalu ke Lubang Buaya. Kisah juga diselingi suasana hidup susah di tahun 1960-an seperti gambaran rakyat antri beras. Kerawanan politik masa itu digambarkan lewat guntingan koran, berita radio, dan komentar-komentar tajam masyarakat. Poster Bung Karno muncul di sana-sini, dan tulisan Manipol Usdek bertebaran di tembok dan atap rumah.

Beralih ke soal teknis penggarapan, Arifin telah melakukan tugasnya dengan baik. Ia meramu filmnya bergerak cepat dan terasa genting setiap saat. Durasi lebih dari 4 jam tidak terasa kepanjangan. Alur filmnya tak kalah dengan sebuah thriller politik menegangkan.

Apalagi bila kemudian menyoroti ilustrasi musik `Pengkhianatan G30S`. Kepada adiknya, Embie C. Noer, yang jadi direktur musik film itu, seperti dimuat Tempo, 7 Oktober 2007, Arifin mendeskripsikan filmnya dengan sangat singkat, "Ini film horor, Mbi."

Embie menerjemahkan horor dengan sangat tepat. Di film ini ilustrasi musik tidak jadi tempelan, justru malah memperkuat narasi gambar. Suasana malam mencekam sudah jamak muncul di film bergenre horor.

Tapi, tidak ada yang rasa mencekamnya melebihi Pengkhianatan G30S. Musiknya tidak menggedor jantung seperti film-film horor kita saat ini yang bisanya cuma bikin kaget. Melainkan seperti mengiris jantung sedikit demi sedikit. Membuat kita ingin menutup kuping dan mata karena tak kuat lagi jantung diiris-iris.

PKI Sebagai Dalang, Soeharto Pahlawan

Nostalgia Nonton Film Pengkhianatan G30S/PKI
Tanggal 30 September waktu yang tepat bernostalgia dengan film Pengkhianatan G30S/PKI.

PKI Sebagai Dalang, Soeharto Pahlawan

Sebagai media untuk mengerti satu versi peristiwa di bulan September 1965 itu, film ini tampil sempurna. Cuma masalahnya, ini film pesanan rezim. Ini film propaganda. Majalah Total Film Indonesia edisi Agustus 2010 mengibaratkan apa yang dilakukan Arifin persis yang dilakukan Leni Riefenstahl saat membuat film dokumenter Nazi tahun 1934, Triumph of Will. Sebagai karya sinema hasil kerja Riefenstahl fenomenal. Tapi tetap saja yang dihasilkannya bukan karya yang jujur, melainkan sebuah propaganda.

Arifin mengatakan `Pengkhianatan G30S` diniatkan sebagai film pendidikan dan renungan tanpa "menawarkan kebencian." Tapi apa daya, di tangan rezim niat baiknya tak kesampaian. Dengan disodori cerita yang sudah jadi versi Nugroho dan pengawasan ketat pemerintah, yang dilakukannya semata tinggal bagaimana filmnya jadi tontonan yang enak diikuti.

Sejak awal, film ini sudah menawarkan kebencian. Film dibuka dengan aksi-aksi PKI di sejumlah tempat di Indonesia. Yang diberi visualisasi bagian saat anggota PKI menyerang sebuah masjid di waktu salat subuh. Kita diperlihatkan Al-Quran dirusak pakai celurit serta seorang imam masjid ditendang dan diinjak. Gambar sempat berhenti di bagian celurit merusak Al-Quran dan sang imam masjid diinjak, seakan hendak menekankan PKI anti agama dan dengan demikian adalah musuh bagi orang-orang beragama.

Kemudian, film ini tentu berisi kebohongan rezim atas peristiwa itu. Film ini jelas menuding PKI sebagai dalang dan pihak yang paling bertanggungjawab atas penculikan para jenderal tanggal 30 September itu.

Yang dimaksud PKI di film ini adalah lembaga, bukan lagi individu-individunya. Artinya, G-30-S adalah kebijakan partai, bukan kerjaan Aidit, Syam, atau Letkol Untung. Ini bisa dilihat dari adegan rapat para pemimpin PKI yang dipimpin Aidit (diperankan Syubah Asa). Dengan menyalahkan PKI sebagai lembaga berarti setiap pimpinan, anggota, dan simpatisan PKI ikut bersalah atas kejadian tahun 1965 itu.

Dari situ kemudian film ini meminta legitimasi penontonnya bahwa pembunuhan terhadap sekitar setengah juta warga negara yang dituding PKI dari akhir 1965 sampai pertengahan 1966 dibenarkan.

Pengkhianatan G30S menggambarkan tokoh-tokoh PKI—mengutip istilah Katherine E. McGregor—persis gangster. Para petinggi PKI perancang G30S digambarkan melakukan rapat-rapat rahasia dalam ruang yang remang, penuh asap rokok. Soal rokok ini, kabarnya melenceng dari fakta. Sebab, menurut adik Aidit, Murad, kakaknya tak merokok.

Di majalah Tempo edisi 7 Oktober 2007, Jajang C. Noer, istri Arifin, mengatakan merokok sebagai representasi The Thinker alias pemikir. "Secara visual terlihat lebih bagus penggambaran seseorang yang berpikir keras lewat rokoknya," kata Jajang pada Tempo.

Di lain pihak, para serdadu TNI pimpinan Soeharto digambarkan kebalikan dari para tokoh PKI. Mereka digambarkan bak jagoan yang ksatria. Setiap tindakannya terukur dan hasil pemikiran matang. Tidak ada keraguan dalam tindakan TNI pimpinan Soeharto saat menggebuk PKI. Makanya, dengan mudah kita bisa langsung mengidentifikasi siapa jagoan dan penjahat di film ini.

 

Film Propaganda yang Tak Mungkin Terulang Lagi

Rahmat petugas di Monumen Lubang Buaya, Pondok Gede, Jaktim. Saat membersihkan diorama Meyjen S Parman yang mengalami penyiksaan ketika meletusnya G30SPKI. (ANTARA)


Film Propaganda yang Tak Mungkin Terulang Lagi  

Yang paling diingat juga dari Pengkhianatan G30S tentu adegan-adegan penyiksaan PKI pada para jenderal yang mereka culik malam itu. Bagian penyiksaan itu jadi horor utama film ini. Saya tak sanggup menontonnya waktu kecil. Saat dewasa menonton lagi, saya masih merasa ngeri dan tak habis pikir: Kok bisa sih adegan sadis begini dipertontonkan pada khalayak?

Tentu, buat rezim hal itu untuk menunjukkan kekejian PKI. Jadi, adegan begitu tak usah disensor, malah harus di-close-up. Anda tentu masih ingat ada seorang Gerwani mengambil silet lalu menyilet wajah seorang jenderal.

"Penderitaan itu pedih jenderal… sekarang coba rasakan sayatan silet ini. Juga pedih." Kemudian wajah sang jenderal disilet.

Kekerasan di film ini tampil tanpa estetisasi alias dibuat indah. Arifin memilih pendekatan realis dan mendramatisasinya dengan close-up hingga yang terlihat adalah pertunjukkan penyiksaan yang detil.

Efeknya jitu. Penonton ngeri melihatnya. Dan, terutama, dalam pikiran khalayak terbit anggapan PKI tukang siksa orang dan tak berperikemanusiaan. Niatan rezim mencitrakan orang-orang PKI biadab telah berhasil.

Sampai di sini, muncul tanya bagaimana sebaiknya memaknai Pengkhianatan G30S kini?

Sebagai karya sinema, film ini berhasil menyuguhkan tontonan yang baik, enak diikuti, serta mampu mengaduk emosi penonton. Sekali lagi, menyajikan tontonan 4 jam tanpa membuat bosan adalah hasil kerja yang mengagumkan dari Arifin.

Sayang memang, Pengkhianatan G30S atau Pengkhianatan G30S/PKI atau Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI yang sesungguhnya karya monumental yang baik sebagai karya sinema, adalah film propaganda yang isinya kebohongan rezim Orde Baru.*** (Ade/Mer)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya