Liputan6.com, London - Pangeran Harry baru-baru ini membuat pengakuan mengejutkan yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Pengakuannya ini, berkaitan dengan kematian sang ibu, Putri Diana, saat sang pangeran masih berusia 12 tahun.
Dilansir dari The Guardian, Senin (17/4/2017), Pangeran Harry mengaku bahwa setelah kematian sang ibu, ia benar-benar menutup sisi emosinya. Dalam sebuah wawancara dengan Daily Telegraph, saat kecelakaan yang merenggut nyawa Putri Diana terjadi di tahun 1997, Pangeran Harry menolak memikirkan hal ini.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
"Caraku untuk bertahan dari semua ini adalah mengubur kepalaku dalam pasir dan menolak memikirkan hal ini, karena memangnya ini bakal membantu?" katanya dalam wawancara tersebut.
Pangeran Harry merasa bila ia berpikir tentang kematian ibunya, ia hanya akan merasa sedih. Karena itu, selama bertahun-tahun ia memilih untuk melewatkan waktunya seakan ia tidak memiliki masalah apa pun. Sampai sebuah hantaman secara emosional, terjadi saat ia berusia sekitar 28 tahun.
"Lalu aku mulai terlibat dalam beberapa percakapan soal ini, dan tiba-tiba saja semua rasa sedih yang tak pernah kuproses muncul ke permukaan, dan ternyata sebenarnya banyak yang harus kuselesaikan," ujarnya.
Kejadian ini, ternyata benar-benar memporak-porandakan hidup Pangeran Harry. Ia mengaku nyaris beberapa kali jatuh dalam depresi karena kesedihannya ini. Ia bahkan sempat hendak memukul orang karena tekanan mentalnya tersebut. Tentu hal ini sangat mengganggu kehidupan Pangeran Harry.
Beruntung, ia lantas meminta nasihat pada sang kakak, Pangeran William. The Duke of Cambridge ini lantas meminta adiknya untuk mencari pertolongan pada ahli. "Berpikir bahwa hal ini sama sekali tidak berdampak apa-apa padamu, adalah satu hal yang tidak normal," kata Pangeran William kala itu.
Pangeran Harry, lantas menghadiri konseling untuk memulihkan kondisi psikisnya. Ia juga mendalami olahraga tinju, untuk menyalurkan agresi dalam dirinya, karena pengaruh kondisi mentalnya.
Kini, Pangeran Harry mengaku kondisinya sudah jauh lebih lebih baik. "Karena proses yang kulalui selama 2,5 tahun belakangan, aku sekarang bisa bekerja dan mengurus perkara pribadi dengan lebih seius. Aku bisa menumpahkan darah, keringat, dan air mataku untuk hal-hal penting yang kurasa bisa memberikan perbedaan bagi orang lain," kata dia.