Upi Beberkan Beda Perlakuan Penonton Terhadap Film Indonesia dan Hollywood di Bioskop

Jelang Hari Film Nasional, Upi bicara karakter penonton saat menonton film Indonesia dan luar negeri. Juga kaitan bakat menulis dengan regenerasi penulis naskah.

oleh Wayan Diananto diperbarui 26 Mar 2020, 06:00 WIB
Diterbitkan 26 Mar 2020, 06:00 WIB
Upi. (Foto: Dok. Avatara 88 Manajemen)
Upi. (Foto: Dok. Avatara 88 Manajemen)

Liputan6.com, Jakarta - Jelang Hari Film Nasional yang dirayakan setiap 30 Maret, Showbiz Liputan6.com mewawancara sejumlah sutradara untuk membahas wajah film Indonesia yang menggeliat 20 tahun terakhir. Salah satunya, kami mewawancarai Upi.

Selama ini banyak yang menyebut, bahwa salah satu problem industri layar lebar Indonesia adalah skenario yang mumpuni. Terkait hal ini, Upi memiliki perspektif unik.

Upi rupanya mencermati perilaku penonton bioskop saat menonton film produksi dalam negeri dan produk Hollywood. Upi menilai, penonton yang hendak menonton film Indonesia cenderung ingin yang aman.

Karakter Penonton Sebelum Menonton

Ilustrasi bioskop.
(Foto: Derks24/Pixabay)

“Contohnya kalau ada film asing yang hit muncul, calon penonton akan bilang kepada yang sudah menonton, 'Gue belum nonton, jangan diceritain!' Tapi kalau film Indonesia seringkali mereka menunggu dulu komentar orang tentang film itu atau memastikan dulu dari orang ceritanya seperti apa,” ulas Upi.

Akhirnya banyak produser film yang juga ingin aman secara bisnis dengan memproduksi film-film dari buku laris. “Karena aman. Tapi apakah bahwa dari buku laris lalu filmnya juga laris itu artinya naskahnya baik, belum tentu juga,” ujar sutradara My Stupid Boss dan My Generation ini.

Kultur Dari Masa Lampau

Upi. (Foto: Dok. Avatara 88 Manajemen)
Upi. (Foto: Dok. Avatara 88 Manajemen)

Jika disebutkan bahwa problem mendasar di industri film Indonesia adalah naskah, Upi setuju. Sampai detik ini pun Upi mengaku masih terus belajar untuk menulis naskah yang baik.

“Saya pikir ini dipengaruhi kultur kita dari masa lampau yang turun temurun di mana anak-anak (tidak peduli bakat mereka apa), mereka cuma dianggap pandai jika nilai mata pelajaran pokok mereka bagus,” papar Upi, panjang.

Dianggap Tak Berarti

[Bintang] Bioskop Indonesia
Cinema 21 Menembus 1000 Layar

Jika bakat seorang anak menulis, itu hanya akan dianggap sebagai kemampuan selingan. Akhirnya, kemampuan itu dianggap tidak berarti dan bahkan tidak dihargai. Lain ceritanya jika seorang anak pintar matematika, fisika, kimia, atau pelajaran “serius” lainnya.

“Jadi tidak ada anak-anak yang benar-benar menyeriusi bidang menulis sejak dini karena sibuk mengejar (sesuatu) yang justru tidak mereka kuasai (atau kurang sukai). Sistem kita tidak pernah sungguh-sungguh menghargai karya tulis, so yeah jadi tidak perlu dipertanyakan lagi,” ungkap Upi yang tengah menyiapkan film Sri Asih.

Asal Diikuti Kualitas Bioskop

Upi. (Foto: Dok. Avatara 88 Manajemen)
Upi. (Foto: Dok. Avatara 88 Manajemen)

Ia bersyukur, industri film Indonesia makin bergairah. Jumlah produksi film setiap tahun makin banyak. Artinya, tenaga penulis naskah makin dibutuhkan. Belum lagi, jumlah layar bioskop meninggi.

“Semakin banyak dan beragam film tentu akan semakin baik. Asal diikuti dengan kualitas biskopnya, termasuk juga mungkin memberi ruang pada film-film alternatif seperti arthouse,” harap Upi.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya