Liputan6.com, Jakarta Indonesia merayakan Hari Film Nasional tiap tanggal 30 Maret. Di bulan ini, lahir sineas Usmar Ismail yang digelari Bapak Perfilman Nasional. Ia melahirkan sejumlah bintang legendaris salah satunya, Widyawati.
Nyonya Sophan Sophiaan mengawali karier lewat Ja Mualim (1968) dan Bali (1970) yang menjadi karya terakhir Usmar Ismail. Dari almarhum, Widyawati belajar soal kecintaan terhadap film. Bekerja dengan cinta, begitu sang aktris mengenang.
Advertisement
Baca Juga
“Ibu saya lebih dulu di dunia film. Ibu yang mengenalkan saya pada Bapak Usmar. Awalnya saya menonton film Pedjuang di mana ibu saya ikut main di situ. Itulah saya kenalan, mungkin juga Bapak Usmar bicara dengan ibu saya, supaya saya main di film itu,” kenang Widyawati.
Mengenang Ja Mualim
“Akhirnya main di film Ja Mualim, di mana film itu semi-dokumenter keagamaan. Masih hitam putih. Setelah itu, jujur saya harus sampaikan Pak Usmar menawarkan (syuting) Big Village, setelah itu ditawari juga main film Ananda,” ia menyambung.
Namun Widyawati dikenal punya prinsip kuat. Saat hati berkata tidak, ia tidak akan memaksakan diri syuting demi uang semata. Barulah di film Bali, hatinya berpaut lagi pada Usmar Ismail.
Advertisement
Ogah Lepas Bulu Mata
Itu disampaikannya saat menjadi narasumber webinar daring “Mengenang Usmar Ismail,” Rabu (17/3/2021). Mengingat syuting bersama sang legenda membuat Widyawati senyum-senyum sendiri.
“Yang saya ingat adalah saya tidak mau lepas bulu mata. Bisa dibayangkan pada waktu itu lagi trennya bulu mata. Saya pakai bulu mata,” kenang bintang film Arini: Masih Ada Kereta yang Akan Lewat.
Sebagai Gadis Desa
“Saya juga enggak tahu kenapa, kok saya enggak disuruh copot padahal saya sebagai gadis desa. Saya ikut main, ditawari, senang. Itu saja,” kata Widyawati seraya menambahkan, di Ja Mualim, Usmar Ismail berbagi tugas penyutradaraan dengan editornya, Soemardjono.
Begitu pula ketika membintangi Bali (proyek kerja sama dengan Italia), Usmar Ismail mengarahkan para bintang bersama sineas Negeri Piza, Ugo Liberatore. Meski tampil singkat, Widyawati terkesan dengan Bali.
Advertisement
Lupa Soal Honor
“Di film itu, porsi peran saya tidak terlalu banyak dan tidak terlalu banyak juga berjumpa dengan beliau karena ada dua sutradara,” imbuh Widyawati yang mengenang Usmar Ismail sebagai seniman multibakat.
Ditanya honor di awal karier, ia tak ingat. “Waduh saya enggak tahu sama sekali karena masih muda. Masih 18 tahun, karena ibu saya yang kenal dengan Pak Usmar. Saya tidak tahu sama sekali masalah honor,” pungkasnya.