Liputan6.com, Jakarta Hitam adalah serial sebanyak empat episode dengan durasi beragam, karya sineas Sidharta Tata. Diproduseri Ifa Isfansyah dari FourColours Films, yang dikenal lewat film Siti, serial ini menjanjikan kisah menarik.
Berlatar desa yang dikepalai Pak Dibyo (Donny Damara) ayah Tika (Sara Fajira), Hitam menyajikan menu utama menghilangnya sejumlah penduduk secara misterius. Mereka diduga dimakan zombi. Ibarat makan di restoran, menu zombi tak disajikan sendirian.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Resensi Film The Conjuring 3: Cenayang Lorraine dan Ed Warren Lawan Iblis yang Bisa Baca Ayat-ayat Tuhan
Resensi Film Fast and Furious 9: Elemen Action Agak Ngadi-ngadi, Penuhi Syarat Pecahkan Rekor Box Office
Resensi Film A Quiet Place Part 2: Kekuatan Editing dan Tata Suara, Tegang Hingga Babak Pamungkas
Ada side dish yang tak kalah mengenyangkan berupa intrik politik berlatar revitalisasi pasar yang membuat sejumlah preman merasa terancam. Menilik aspek cerita saja, Hitam tampak lezat. Berikut review serial Hitam.
Tika Pulang dari London
Hitam mengawali kisah dengan pulangnya Tika (Sara Fajira) yang lulus kuliah dari London. Hubungan Tika dan ayahnya, Dibyo, sejak lama dingin. Ia membawa oleh-oleh khusus buat sahabatnya, Retno (Eka Nusa Pertiwi). Suatu hari, ayah Retno, Pak Rahmat (Ernanto Kusumo) hilang di hutan.
Yang tersisa hanya sepeda motor. Bu Rahmat (Nunung Rieta) syok berat. Kondisinya melemah. Seorang polisi, Gilang (Akasara Dena), anak angkat Pak Dibyo, mengusut kasus yang semula diduga perampokan ini.
Amblasnya Rahmat bikin Bambang (Seteng A. Yuniawan) ketar-ketir. Pasalnya, ia titip paket untuk Dibyo lewat Rahmat. Paket itu tersimpan di jok motor. Saat dicek, paket tak ada di jok. Ini terkait proyek revitalisasi pasar yang melibatkan pengembang.
Advertisement
Beberapa Warga Desa Hilang
Bambang dan para preman pasar termasuk Gareng (M.N. Qomaruddin) khawatir disingkirkan setelah revitalisasi rampung. Gareng diminta Bambang memantau Dibyo. Apes, Gareng pun lenyap nyaris berbareng dengan warga bernama Paijo (Eka Wahyu Primadani).
Daya tarik Hitam terletak pada para tokoh yang berkembang dengan cantik. Seriap tokoh punya motivasi jelas namun tak mudah ditebak. Pendalaman para aktor terhadap karakter pun beda-beda.
Donny misalnya, memahat Dibyo dengan kalem dan membangun wibawa dari dalam namun tetap membiarkan sosok ini tidak langsung utuh. Ini memberi ruang bagi penonton untuk menebak atau menaruh curiga.
Tidak Berat Sebelah
Tika di tangan Sara Fajira dari awal memang gas pol. Kencang terus sampai di satu titik, ia bertransformasi. Seteng tampil dengan gaya teraterikal. Tengok saja air mukanya, tergambar jelas ia punya kepentingan, licin teriak licin, dengan aroma antagonis yang menyengat.
Mudah saja untuk melabelinya penjahat meski kita tahu, ia tak mudah ditangkap. Yang mengundang empati, tentu performa Eka Nusa Pertiwi. Tipe gadis desa idealis yang bersuara lantang ketika hidupnya terusik.
Aksara Dena tipe polisi muda kebanyakan. Namun beban yang disangga Gilang berhasil dibawakan dengan pas. Sidharta Tata menggulir plot Hitam tanpa terasa berat sebelah.
Advertisement
Tak Seperti Kebanyakan Zombi
Kentara betul, ia tak mau Hitam menjadi serial atau film zombi generik dengan pola terinfeksi-makan orang-bikin onar-ulangi. Harus ada kearifan lokal meski zombi bukan “barang lokal.”
Kearifan lokal ini dipoles lewat dialog yang mayoritas menggunakan bahasa Jawa dari Ngoko sampai Krama Inggil. Kosakata yang jarang terdengar kembali familier. Gaman misalnya. Yang artinya, senjata tajam. Berikutnya, tata artistik berupa rumah dengan nuansa kayu.
Rumah warga desa Pak Dibyo mayoritas joglo dengan teras membentang dan banyak pintu. Pasar tradisional dengan penjual dan pembeli nyang-nyangan (tawar menawar -red), plus gali (preman) yang hobi keplek kertu lan ndem-ndeman (main kartu dan mabuk-mabukan).
Peran Penting Adegan Pembuka
Para premannya pun tipikal dengan perilaku ugal-ugalan, perangai sangar, sithik-sithik misuh sak karepe dhewe (sebentar-sebentar mengumpat seenak jidat -red).
Sidharta Tata terbilang berhasil menjaga tuturan sehingga konflik orang hilang diduga dimakan zombi ini bisa berjalan seiring dengan politik kampung yang dimulai dengan revitalisasi pasar berujung upaya pelengseran.
Keterbatasan episode dimanfaatkan sutradara dengan optimal. Menit-menit awal alias opening mengemban fungsi beragam dari mengenalkan latar belakang salah satu tokoh atau menyajikan adegan yang "hilang" untuk menjawab penasaran penonton.
Advertisement
Adegan Puncak Jadi Gong
Jika dibandingkan, tiap episode punya tensi ketegangan yang terus meningkat. Sara Fajira sebagai pendatang baru layak diapresiasi. Ia berani gila. Transformasi wajah dan gesturnya bikin deg-degan.
Sinematografi serial ini pun sejatinya standar layar lebar. Gambar-gambar dengan warna pucat menguatkan nuansa suram, mampu mewakili kondisi desa yang dipimpin Dibyo. Jangan lupa, adegan puncak serial ini benar-benar jadi gong.
Elemen akting, artistik, dan visualnya menjadi magnet yang menarik penonton masuk ke desa yang penuh dengan orang-orang “gila.” Selamat datang di desa Pak Dibyo. Anda bisa masuk lewat platform streaming Klik Film dengan biaya langganan hanya 10 ribu rupiah per minggu.
Pemain: Donny Damara, Sara Fajira, Eka Nusa Pertiwi, Aksara Dena, Seteng A. Yuniawan, Eka Wahyu Primadani, Nunung Rieta, Ernanto Kusumo, M.N. Qomaruddin
Produser: Ifa Isfansyah
Sutradara: Sidharta Tata
Penulis: Fajar Martha Santosa, Sandi Papuntungan
Produksi: Klik Film, Four Colours Films
Durasi: 4 episode