Liputan6.com, Surabaya - Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Republik Indonesia (RRI) saat ini menginjak usia ke-75 tahun. Bukan usia muda, tapi semangat untuk mengamankan bangsa dan negara melalui edukasi dan informasi masih terus menggelora.
Menurut Kepala Stasiun LPP RRI Surabaya, Sumarlina menyampaikan, semangat dan konsistensi dalam memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat dari dulu sampai sekarang menjadi komitmen.
"Sebagai sabuk pengaman negara, RRI hadir tidak hanya melalui kanal informasi yang ada tapi memberikan verifikasi kabar dari berita-berita bohong (hoaks) yang marak akhir-akhir ini," ujar dia di peringatan hari Radio HUT RRI Ke-75, di Auditorium Bung Tomo RRI Surabaya, Jumat (11/9/2020).
Advertisement
"Peran strategis RRI dulu hingga sekarang itu sebagai pengaman negara dan bangsa. Perannya mempertahankan negara melalui informasi-informasi yang diberikan kepada bangsa, negara hingga luar negeri," kata dia.
Baca Juga
Sumarlina mengatakan, sejarah mencatat RRI tidak hanya berperan menyampaikan berita atau informasi kepada rakyat Indonesia dan dunia, tetapi juga turut mengobarkan semangat revolusi kemerdekaan melalui siaran-siarannya.
"Kegigihan angkasawan angkasawati RRI di zaman perjuangan hingga sekarang ini menjadi bukti bahwa sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI hadir untuk masyarakat," ucapnya.
Ia juga menyebut peran para penyiar RRI waktu itu tidak bisa dianggap remeh. Kegigihan perjuangan juga diperlihatkan dalam semangat menyampaikan pesan kemerdekaan waktu itu.
"Dulu Jepang dan Sekutu mengisolasi informasi, jadi pejuang RRI secara sembunyi-sembunyi bersiaran menyampaikan pesan kemerdekaan pada masyarakat Jatim," kata Sumarlina.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Tugu Peringatan
Ia melanjutkan sejarah RRI Surabaya juga terukir di tugu peringatan yang tepat berdiri di depan gedung RRI Jalan Pemuda No. 82-90.
"Tugu ini menceritakan pertempuran hebat heroik yang pernah terjadi di gedung RRI antara tentara Sekutu yang berada di bawah komando Jenderal Mallaby melawan para pejuang dan pemuda Surabaya yang rela mati daripada dijajah kembali," ucapnya.
Tengara Gedung RRI Surabaya itu berbunyi: "Karena fungsinya yang penting maka Gedung RRI Surabaya ini diduduki oleh pasukan Jendral Mallaby. Pada pertempuran 28-30 Oktober 1945 banyak korban rakyat jatuh. Tanggal 29 Oktober 1945 gedung ini dibakar habis dan tidak seorang pun pasukan Inggris di sini lolos dari kemarahan rakyat."
Pataka mengatakan, sejarah angkasawan-angkasawati RRI dalam kemerdekaan yang berada di balik layar membuat kisah dan perjuangan mereka seakan terlupakan.
Di era konvergensi lanjut Sumarlina, RRI juga tidak berdiam diri. Perkembangan zaman suatu keniscayaan dan harus dihadapi. Era digitalisasi RRI tidak hanya menyajikan media konvensional tapi memanfaatkan media multi platfoam yakni aplikasi Play-Go yang terdapat berbagai layanan dalam satu aplikasi.
"RRI Play-Go itu berisi aneka konten, seperti entertainment, musik khas anak muda, radio yang divisualkan, news dan lainnya." paparnya.
Dalam kesempatan ini RRI juga memperkenalkan Sprint yang merupakan sebuah big data atau artificial intelligence yang dibangun sejak setahun lalu.
"Dalam satu tahun terakhir ini RRI membangun satu data yang cerdas, artificial intelligence. Itu sedang di bangun tidak lama lagi akan diresmikan. Itu nantinya info data yang dapat diakses masyarakat tentang RRI dan negara," pungkasnya.
Advertisement
Hari Radio Nasional
Mengutip Antara, 11 September diperingati sebagai Hari Radio Nasional yang juga diperingati sebagai hari kelahiran Radio Republik Indonesia (RRI) yang didirikan pada 11 September 1945.
Dihentikannya siaran radio Hoso Kyoku pada 19 Agustus 1945 menjadi pemicu lahirnya RRI, menurut laman resmi Komisi Penyiaran Indonesia. Saat itu, masyarakat Indonesia baru saja merdeka dari penjajahan, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Terlebih, radio-radio luar negeri saat itu mengabarkan bahwa Belanda akan kembali menjalankan kekuasaannya di Indonesia. Orang-orang yang pernah aktif di radio pada masa kependudukan Jepang menyadari radio merupakan alat yang diperlukan pemerintah Republik Indonesia untuk memberikan informasi dan berkomunikasi dengan rakyat.
Delapan orang bekas radio Hosu Kyoku mengadakan pertemuan bersama pemerintah pada 11 September 1945, tepatnya pukul 17.00 di bekas gedung Raad Van Indje Pejambon, Jakarta. Delegasi radio yang saat itu mengikuti pertemuan adalah Abdulrahman Saleh, Adang Kadarusman, Soehardi, Soetarji Hardjolukita, Soemarmadi, Sudomomarto, Harto dan Maladi.
Abdulrahman Saleh yang menjadi ketua delegasi mengutarakan pentingnya radio sebagai alat komunikasi pemerintah dengan rakyat, karena lebih cepat dan tidak mudah terputus saat pertempuran. Kehadiran radio menjadi penting saat itu mengingat tentara sekutu akan mendarat di Jakarta akhir September 1945.
Pertemuan tersebut menghasilkan simpulan, antara lain dibentuknya Persatuan Radio Republik Indonesia yang akan meneruskan penyiaran dari delapan stasiun di Jawa, mempersembahkan RRI kepada Presiden dan Pemerintah RI sebagai alat komunikasi dengan rakyat, serta mengimbau agar semua hubungan antara pemerintah dan RRI disalurkan melalui Abdulrachman Saleh.
Pemerintah menyanggupi simpulan tersebut dan siap membantu RRI meski tidak sependapat dalam beberapa hal. Pada pukul 24.00, delegasi dari delapan stasiun radio di Jawa mengadakan rapat.
Delegasi yang hadir dari Purwokerto, Yogyakarta, Semarang, Surakarta dan Bandung, sementara Surabaya dan Malang tidak mengirim perwakilan. Hasil akhir dari rapat itu adalah didirikannya RRI dengan Abdulrachman Saleh sebagai pemimpin.