Liputan6.com, Sidoarjo - Sejumlah buruh dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menggelar aksi mengawal proses pengusulan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Sidoarjo.
"Ini karena proses Dewan Pengupahan Sidoarjo yang sudah seminggu sampai detik ini belum menyepakati angka usulan upahnya. Aksi ini untuk mengawal proses itu," ujar Koordinator Lapangan (Korlap) aksi Anam Parin di Pendapa Delta Wibawa Sidoarjo, Kamis (18/11/2021).
Baca Juga
Buruh di Sidoarjo, lanjut Anam, juga menolak penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 36/2021 tentang Pengupahan sebagai turunan UU Cipta Kerja 11/2020 sebagai dasar penetapan upah.
Advertisement
"Setelah kami simulasikan, kalau dengan rumusan itu tidak ada kenaikan upah sampai 20 tahun ke depan. Selain itu masih ada judicial review terkait UU Cipta Kerja di MK (Mahkamah Konstitusi). Jadi masih ada kekosongan peraturan di sini," ucapnya.
Karena buruh menganggap adanya kekosongan seiring judicial review yang masih berproses, mereka meminta dasar penetapan upah dikembalikan dengan menggunakan PP 78/2015.
"Atau kalau pemerintah tetap memaksakan pakaj PP 36/2021, kami melihat hasil perhitungan BPS soal biaya hidup itu ada margin of error 5 persen. Maka besarannya kami minta dikalikan 5 persen," ucap Anam.
Dua skema kenaikan UMK 2022 itulah yang diusung dan akan dikawal para buruh. Bila menggunakan PP 78/2015 kenaikannya 3,62 persen. Sedangkan bila dengan PP 36/2021 mereka minta naik lima persen.
"Kalau dengan PP 36/2021, kenaikan UMK 2022 nanti sekitar Rp212 ribu dari UMK 2021 yang saat ini sedang berjalan," ujar Anam.
Ada sejumlah pertimbangan, kenapa masa buruh/pekerja menuntut kenaikan UMK tetap dilakukan pad 2022 mendatang. Pertama, kata Anam, karena tidak semua perusahaan itu terdampak.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Penghitungan Pemerintah
"Kedua, sebenarnya para pengusaha ini mampu membayar lebih. Tapi mereka tidak mau. Data kami, dari 3 ribu perusahaan di Sidoarjo, tidak sampai seribu perusahaan yang menerapkan UMK 2021," ujar Anam.
Padahal, lanjut Anam, kenaikan UMK 2021 tidak ditetapkan berdasarkan penghitungan dengan peraturan pemerintah. Para pekerja menyebutnya, formula UMK 2021 itu adalah "formula solutif".
"Dan sebagian besar pengusaha, kami lihat, masih menganggap bahwa UMK ini merupakan Upah Maksimal Kabupaten/Kota. Karena itu kami menuntut penetapan UMK yang berkeadilan," ucapnya.
Advertisement