Liputan6.com, Jakarta - Peneliti mikroplastik yang juga Wakil Dekan Fakultas Teknologi Pangan Universitas Soegijapranata Inneke Hantoro mengatakan, pemerintah di banyak negara belum bisa memberikan kepastian berapa standar mikroplastik yang boleh ada di dalam tubuh manusia. Menurutnya, hal itu disebabkan banyaknya tingkat kesulitan untuk analisis mikroplastik.
Dia mengatakan, untuk menjawab apakah mikroplastik bisa disebut sebagai foor hazard atau memberikan bahaya pada kesehatan tubuh, yang harus dilakukan adalah risk assessment atau evaluasi risiko.
Baca Juga
Inneke menyatakan, berdasarkan Codex Alimentarius Commision (CAC), ada 4 tahapan untuk melakukan evaluasi resiko ini. Pertama melakukan identifikasi hazard, dengan mengidentifikasi dulu keberadaan mikroplastik, faktor apa yang mendorong keberadaannya, karakternya bagaimana baik konsentrasinya, bentuk, ukuran, warna dan jenis polimernya.
Advertisement
Kedua, membuat karakteristik bahayanya dengan mengujinya kepada hewan percobaan. Ketiga, melakukan studi perkiraan paparan mikroplastik pada tubuh manusia sehingga bisa melakukan evaluasi resikonya.
Keempat, mengelompokkan risk assessment untuk menentukan apakah memang ada bahayanya pada manusia.
“Saat ini, penelitian mikroplastik ini baru ada pada tahap 1 dan 2, itupun masih banyak tantangannya. Jadi belum sampai kepada uji terhadap manusianya,” ujarnya pada Webinar “Mengenal Mikroplastik dan Dampaknya pada Lingkungan & Kesehatan", Kamis (16/6/2022).
Karenanya, terkait sudah berlimpahnya artikel yang bicara mengenai deteksi keberadaan mikroplastik di banyak produk, dia mengatakan semua itu tetap harus dikaji lebih jauh.
"Jadi, akan masih sangat sulit untuk melakukan penetapan standar aman dari mikroplastik itu. Seluruh dunia juga masih mengalami hal yang sama,” tukasnya.
Belum Ada Regulasi
Peneliti Pusat Riset Kimia Maju Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andreas, juga menyampaikan hal yang sama. Dia juga menyampaikan sampai sekarang belum ada regulasi yang mengatur standar terkait dengan jumlah mikroplastik dalam satu produk pangan olahan.
“Karena, kalau dihitung sebagai jumlah itu tidak fair. Hal itu disebabkan dalam ada produk itu yang mungkin ada serpihan mikroplastiknya kecil-kecil dan jumlahnya 10, sedangkan produk lain serpihannya cuma satu tapi panjang. Itu kan tidak fair kalau dihitung dari jumlah mikro plastiknya. Jadi, tidak fair juga kalau jumlah itu dijadikan patokan,” tukasnya.
Karenanya, kata Andreas, negara-negara di dunia juga masih belum ada yang menentukan regulasi terkait dengan jumlah mikroplastik dalam satu produk pangan olahan. Menurutnya, mikroplastik yang ukurannya terlalu kecil tidak bisa dilihat secara visual dengan mata, tapi harus menggunakan alat bantu misalnya mikroskop.
“Tetapi, itu kan baru terduga apakah memang betul itu material plastik. Nah, untuk bisa memastikan itu material plastik, harus dilakukan pengujian secara instrumentasi. Jadi, semakin banyak informasi yang dirangkum untuk memastikan sesuatu itu adalah mikroplastik, akan semakin meningkatkan validitas dalam kita memastikannya,” katanya.
Advertisement