Sarana-Prasarana dan Pendanaan Hambat Peneliti di Indonesia

Menurut Kemenristekdikti, sarana-prasarana, pendanaan, dan gap antara peneliti muda dan tua masih menghambat penelitian di Indonesia.

oleh Agustin Setyo Wardani diperbarui 13 Mei 2016, 14:57 WIB
Diterbitkan 13 Mei 2016, 14:57 WIB
Kemenristek
Dirjen Riset dan Pengembangan Kemristekdikti Muhammad Dimyati (kedua kiri) merilis hasil pemetaan keunggulan riset di Perguruan Tinggi di Jakarta, Jumat (13/5/2016). (Liputan6.com/Agustin Setyo Wardani)

Liputan6.com, Jakarta - Para peneliti di Indonesia rupanya memiliki banyak tantangan dan hambatan untuk berinovasi.

Menurut Direktur Jenderal Riset dan Pengembangan Kemristekdikti Muhammad Dimyati, hal ini akan menghambat peneliti saat menjalankan riset terkait kinerja perguruan tinggi.

"Kita harus mengetahui kinerja riset di perguruan tinggi itu seperti apa. Ternyata ada hambatan dan permasalahan yang dialami peneliti Indonesia," kata Dimyati ketika ditemui di Jakarta, Jumat (13/5/2016).

Beberapa permasalahan yang dihadapi peneliti di perguruan tinggi antara lain Sumber Daya Manusia (SDM) peneliti memerlukan pembinaan profesionalisme.

"Peneliti Indonesia itu banyak yang sudah mendekati masa pensiun. Ada gap antara peneliti yang tua dan muda. Kalau tidak melakukan perekrutan, Indonesia akan kekurangan peneliti," ujarnya.

Masalah lainnya adalah sarana dan prasarana yang sudah tidak memadahi atau out of date. Bahkan, ada yang sarana-prasarananya (sapras) berusia lebih dari 10 tahun karena merupakan hasil sumbangan dari World Bank kepada Indonesia.

"Memang ada kampus yang memiliki sarpras yang terbaru, tetapi itu tergantung dana masing-masing kampus," kata Dimyati.

Untuk itu, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Iptek Dikti membantu memberikan bantuan dana kepada kampus yang salah satunya ditujukan untuk penelitian.

Hambatan lainnya adalah pendanaan terbatas dan mekanisme yang masih rumit. Menurut Dimyati, hingga 2020, Indonesia membutuhkan setidaknya 100 triliun untuk riset.

Hingga 2017, dana yang dianggarkan untuk keseluruhan penelitian sebesar Rp 20 triliun. Kini untuk penelitian perguruan tinggi, dana hibah yang dimiliki Rp 1,3 triliun.

Ia menilai perlu ada partisipasi swasta untuk mencapai anggaran tersebut. Ia mencontohkan partisipasi swasta di Korea Selatan terh adap penelitian mencapai 60 persen. Sementara di Indonesia baru 16 persen saja.

"Kalau pemerintah berkomitmen, itu pasti bisa dipenuhi. Pemerintah sedang menggalakkan agar penelitian dapat berkontribusi terhadap ekonomi nasional," tuturnya.

Pemerintah pun memetakan kekuatan riset di perguruan tinggi. Salah satu alasannya untuk membuat kebijakan yang mendukung peneliti-peneliti di kampus agar bisa terus berinovasi dan memberikan manfaat kepada dunia industri dan masyarakat. 

(Tin/Cas)

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya