Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) diimbau untuk membuka draft revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 52 tahun 2000 yang mengatur tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan PP 53 tahun 2000 tentang frekuensi dan orbit satelit ke publik guna memenuhi azas transparansi.
"Seharusnya semua kebijakan publik dan perundang-undangan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak, pemerintah harus melibatkan publik. Memang tak harus semua masyarakat dilibatkan, bisa saja pemangku kepentingan seperti pelaku bisnis yang akan terkena dampak dari kebijakan tersebut," kata Pengamat Kebijakan Publik Riant Nugroho, Selasa (26/7/2016) di Jakarta.
Riant menjabarkan, di dunia akademisi ada tiga kreteria kebijakan publik. Pertama adalah kebijakan publik yang pembahasannya tertutup. Ini disebabkan kebijakan tersebut menyangkut keamanan nasional. Kreteria kedua adalah kebijakan yang semi transparan.
Biasanya kebijakan ini menyangkut persaingan usaha. Terakhir adalah kebijakan yang harus benar-benar melibatkan partisipasi publik secara terbuka. Kebijakan ini biasanya berhubungan dengan pelayanan publik dan interaktivitas publik.
“Kalau dilihat, revisi kedua PP ini memberikan pengaruh ke publik. Ini artinya seluruh pelaku usaha telekomunikasi harus dimintai pendapatnya dan persetujuannya," ujarnya.
Dari catatan yang dimiliki Riant, hingga saat ini hanya sekitar 5% kebijakan publik yang sifatnya tertutup. Sedangkan yang setengah terbuka diperkirakan hanya 10%. Sisanya merupakan kebijakan publik yang sifatnya harus dibuka secara umum.
Seperti diketahui, Telkom Group mengaku tak dilibatkan dalam revisi kedua PP yang akan mengubah lanskap industri telekomunikasi itu.
Baca Juga
Disebutkan bahwa ada dua pasal dari kedua PP yang menjadi titik krusial, yakni Pasal 12 revisi PP 52 tahun 2000 dan pasal 25 revisi PP 53 tahun 2000.
Pasal 12 revisi PP 52 tahun 2000 membahas mengenai network sharing. Dalam revisi PP tersebut dijelaskan bahwa network sharing merupakan kewajiban seluruh operator telekomunikasi di Indonesia.
Sedangkan di Pasal 25 revisi PP 53 tahun 2000 diijinkan frekuensi atau spektrum yang dikuasai operator telekomunikasi dapat dipindah-tangankan. Padahal, frekuensi merupakan sumberdaya terbatas yang dimiliki oleh negara dan tidak bisa perdagangkan atau dialihkan.
"Sebaiknya draft itu ditarik kembali, setelah itu Kemenkominfo mengajak para pelaku bisnis telekomunikasi untuk duduk bersama membahas revisi kedua PP tersebut. Setelah itu lakukan simulasi kebijakan, agar dampak negatif dari kebijakan publik yang akan dikeluarkan dapat diketahui sehingga tak menjadi permasalahan baru dikemudian hari,” sarannya.
Menurutnya, Jika Kemenkominfo tak melibatkan publik dalam pembahasan revisi kedua PP tersebut, artinya mengabaikan prinsip good governance yang tengah digiatkan Presiden Joko Widodo.
“Jika proses revisi terus dijalankan tanpa melibatkan publik, Menkominfo bisa dikatakan tidak proper dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, Kemkominfo juga bisa dikatakan melanggar Tap MPR No XI Tahun 1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme,” pungkasnya.
Wakil Ketua Desk Ketahanan dan Keamanan Cyber Nasional, Kementrian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Marsekal Pertama Ir Prakoso melihat, revisi kedua PP tak termasuk di dalam informasi publik yang dikecualikan di dalam UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Di dalam UU No 14 tahun 2008 pasal 17 dijelaskan, berbagai kreteria informasi publik yang dikecualikan.
“Jika kementerian teknis tak menyebutkan revisi tersebut, termasuk yang dikecualikan menurut UU, maka menurut saya informasi tersebut harus dibuka kepada publik,” imbuh Prakoso.
(Isk/Cas)