Liputan6.com, Jakarta Polemik penurunan tarif interkoneksi sekira 26 persen menjadi Rp 204, cukup menyita perhatian sepanjang Agustus 2016.
Sejumlah pihak tidak menyambut positif perhitungan penurunan tarif interkoneksi yang dirilis oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).
Kemkominfo pada awal Agustus melalui Siaran Pers Kominfo No.49/HM/KOMINFO/08/2016 pada Selasa (2/8/2016), mengumumkan perhitungan tarif interkoneksi yang turun sekira 26 persen.
Advertisement
Perhitungan biaya interkoneksi ditetapkan atas masukan dari pemangku kepentingan dan konsultasi publik, yang bertujuan untuk menyempurnakan regulasi tarik interkoneksi.
Menurut Kemkominfo, penurunan tarif dilakukan demi meningkatkan efisiensi industri telekomunikasi. Sementara dari sisi pelanggan telekomunikasi, penurunan tarif interkoneksi dapat meringankan tarif pungut (ritel) untuk layanan antar operator (off-net), tanpa mengesampingkan kualitas layanan.
Hasil perhitungan tarif interkoneksi awalnya diatur agar mulai berlaku pada 1 September 2016 sampai Desember 2018 dan dapat dievaluasi oleh BRTI setiap tahun. Namun menjelang 1 September muncul reaksi protes dari sejumlah pihak.
Â
Protes Bermunculan
Salah satu pihak yang mengkritisi rencana penurunan tarif interkoneksi adalah Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis.
Ketua Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis, Wisnu Adhi Wuryono, pada akhir Agustus, menyatakan bahwa rencana penurunan tarif interkoneksi hanya akan menguntungkan operator milik asing. Jika diterapkan, akan merugikan negara yang dalam hal ini operator telekomunikasi milik negara (Telkom dan Telkomsel).
Wisnu menilai, selama ini operator yang berkomitmen membangun jaringan di seluruh pelosok negeri adalah Telkom Group.
Berdasarkan pernyataan Dirut Telkomsel Ririek Adriansyah, setiap tahun Telkomsel membangun sekitar 15 ribu BTS, termasuk di Indonesia bagian timur dan daerah-daerah terpencil. Bahkan di daerah perbatasan ada 700 BTS lebih milik Telkomsel.
Sekira 1.500 anggota Serikat Pekerja (Sekar) Telkomsel pada Kamis, 30 Agustus 2016, menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR RI untuk menyuarakan keberatan mereka terhadap penerapan Surat Edaran No.115/M.Kominfo/PI.0204.08/2016 tentang perubahan tarif interkoneksi per 1 September 2016.
Poin pertama unjuk rasa itu adalah mendesak DPR meminta Kemkominfo untuk tidak memberlakukan perubahan tarif seperti direncanakan dalam surat edaran tersebut, hingga dilakukan perhitungan yang transparan dan adil bagi PT Telkom.
Kedua, mendesak DPR agar Kemkominfo tidak memberlakukan revisi Peraturan Pemerintah No 52 dan 53 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, hingga selesainya pembahasan perubahan UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi di DPR. Demontrasi serupa juga digelar di depan kantor Kemkominfo.
Baca Juga
Selain itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mewaspadai potensi kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah jika kebijakan tarif interkoneksi baru diberlakukan.
Menurut hasil analisa dan pengamatan salah satu pimpinan di BPK, Achsanul Qosasi, kebijakan interkoneksi yang dikeluarkan oleh Menteri Kominfo, Rudiantara, bisa sangat membahayakan penerimaan negara dari sektor telekomunikasi dalam lima tahun ke depan.
Mulai dari potensi penurunan pendapatan hingga Rp 100 triliun, setoran dividen, pajak ke pemerintah berkurang Rp 43 triliun, hingga investasi belanja modal di daerah rural berkurang Rp 12 triliun.
Semua itu merupakan potensi kerugian Telkomsel yang dimiliki Telkom Group sebagai BUMN telekomunikasi. Sementara dari catatan yang dimiliki BPK, Telkom Group hingga saat ini masih merupakan BUMN terbesar kedua setelah Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang memberikan kontribusi pendapatan terbesar kepada negara.
Advertisement
Operator Belum Rampungkan DPI
Selain demontrasi, ada beberapa batu sandungan lain yang  mengganjal penerapan tarif interkoneksi baru. Termasuk soal Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI). Sampai 31 Agustus 2016, masih ada beberapa operator yang belum mengajukan DPI.
Padahal pemerintah berencana menerbitkan aturan tarif interkoneksi setelah operator mengajukan DPI. "Pertengahan Agustus, DPI harus keluar. Setelah itu, baru Peraturan Menteri (diterbitkan)," ujar Rudiantara saat ditemui tim Tekno Liputan6.com di Rumah Dinas Menkominfo, Selasa (2/7/2016).
Menurut Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Noor Iza, pada Rabu, 31 Agustus 2016, sampai hari itu masih ada setidaknya tiga operator yang belum mengajukan DPI.
Alasan lain terhambatnya pemberlakukan biaya interkoneksi karena harus menunggu pertemuan selanjutnya dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dijadwalkan pada awal September.
"1 September (rencana penerapan biaya interkoneksi) belum bisa, karena belum bertemu dengan DPR. Harus bertemu dahulu di pertemuan berikutnya dan juga kami masih menunggu DPI dari operator," jelas Noor Iza saat itu.
Sesuai dengan kesimpulan rapat yang digelar dengan Komisi I DPR pada 24 Agustus 2016, penetapan tarif interkoneksi harus ditunda sampai rapat digelar kembali. Hingga akhirnya sampai 31 Agustus 2016, polemik tarif interkoneksi belum juga usai.
(Din/Isk)