Google Blokir Aplikasi Penambangan Mata Uang Virtual

Google akan memblokir seluruh aplikasi yang terkait dengan aktivitas penambangan mata uang virtual dan yang mengumpulkan data pengguna tanpa izin.

oleh Agustin Setyo Wardani diperbarui 30 Jul 2018, 12:30 WIB
Diterbitkan 30 Jul 2018, 12:30 WIB
Google Play Store
Google Play Store. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Bulan lalu, Apple pernah melarang peredaran seluruh aplikasi terkait penambangan mata uang virtual (cryptocurrency) dari toko aplikasi App Store.

Apple kemudian memperbarui panduan penggunaan yang mencegah pengguna iPhone melakukan penambangan mata uang virtual di perangkatnya, kecuali jika menggunakan cloud.

Google pun memperbarui kebijakan pengembang terkait dengan aplikasi-aplikasi Android yang bisa diunggah ke Google Play Store.

Google menyebutkan deretan fitur yang secara otomatis bakal membuat aplikasi terkait penambangan mata uang virtual dilarang ada di Google Play.

Sekadar diketahui, penambangan cryptocurrency melibatkan penyelesaian rumus matematika kompleks guna membantu verifikasi transaksi di blockchain.

Google sebagaimana dikutip Tekno Liputan6.com dari Phone Arena, Senin (30/7/2018) menyebut, pihaknya akan langsung menghapus segala aplikasi yang berbau pornografi anak.

Selain itu, Google juga menghapus aplikasi yang dirancang untuk anak-anak tetapi kenyataannya menyertakan gambar dewasa.

Segala aplikasi dengan gambar yang menunjukkan pelecehan seksual terhadap anak akan dilaporkan ke petugas hukum, akun milik distributor dan developer terkait pun akan langsung dihapus.

Tidak hanya itu, aplikasi yang mengandung ujaran kebencian, kekerasan, melukai diri sendiri, diskriminasi berdasarkan gender juga akan langsung dihapus. Termasuk juga aplikasi-aplikasi dari organisasi terkait terorisme.

Google Play, kata Google, tidak akan mengizinkan peredaran aplikasi yang terkait kegiatan penipuan.

Aplikasi lainnya yang juga akan dilarang peredarannya oleh Google adalah aplikasi yang berhubungan dengan perilaku seksual vulgar. Misalnya saja pose sugestif, promosi alat seks, alat bantu, serta layanan seks.

Berbagai aplikasi terkait dengan mendapatkan keuntungan dari bencana alam, kematian, dan tragedi lainnya juga tidak akan mendapat izin untuk tayang di Google Play Store.

Sederet aplikasi lainnya yang berkaitan dengan aktivitas ilegal juga akan dilarang ada di Google Play.

Misalnya saja menjual obat-obatan terlarang serta aplikasi yang mengumpulkan data pengguna tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Google Terancam Denda Rp 72 Triliun Gara-Gara Monopoli

Google
Kantor pusat Google di Mountain View. Liputan6.com/Jeko Iqbal Reza

Sebelumnya, Google dilaporkan kembali berurusan dengan regulator Eropa. Kali ini, persoalan cukup serius karena Komisi Eropa menganggap sistem operasi Android merupakan cara ilegal perusahaan untuk mengukuhkan mesin pencari besutannya. 

Karena itu, Komisi Eropa menyebut anak perusahaan Alphabet itu telah melakukan monopoli dan meminta perusahan melakukan perubahan model bisnis.

Jika tidak dipenuhi, Google akan mendapat hukuman berupa denda mencapai lima persen dari rata-rata omset harian global,

Dikutip dari BBC, Kamis (19/7/2018), perkiraan denda yang harus dibayarkan Google mencapai 4,3 miliar euro (setara dengan Rp 72 triliun). Menurut Komisioner Kompetisi Margrethe Vestager, konsumen seharusnya memiliki pilihan dari perangkat yang dibelinya.

Seperti diketahui, Google kini mewajibkan OEM Android untuk menyertakan sejumlah aplikasi besutan perusahaan, termasuk Google Search dan Google Chrome. Langkah itu yang kini ditentang Komisi Eropa.

Monopoli Android

Kantor Google
Kantor Google

Vestager menilai ada tiga cara ilegal yang dilakukan Google dalam menjalankan bisnis Android. Pertama, manufaktur perangkat Android diharuskan memasang aplikasi Google Search dan browser Chrome sebagai syarat mendapatkan akses ke Play Store.

"Google juga membayar sejumlah manufaktur dan operator yang setuju memasang aplikasi Google Search secara eksklusif di perangkatnya," tuturnya.

Tak hanya itu, Google juga dianggap mencegah manufaktur menjual perangkat yang menjalankan versi Android alternatif. Caranya, perangkat mereka diancam tidak mendapatkan izin untuk menggunakan aplikasi Android. 

Di sisi lain, Vestager sebenarnya mengetahui bahwa Android tidak melarang penggunanya mengunduh peramban alternatif atau memakai mesin pencari lain. Namun, hanya ada satu persen pengguna yang memilih mesin pencari lain dan 10 persen peramban alternatif.

"Begitu pengguna memilikinya (aplikasi Google Search dan Google Chrome) dan bekerja, akan sangat sedikit pengguna yang penasaran untuk mencari aplikasi atau peramban lain," tuturnya menjelaskan.

(Tin/Jek)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya