Startup Harus Setop Bakar Uang Jika Ingin Bertahan

Menghentikan praktik bakar uang bukan sekadar menyelamatkan perusahaan (satartup) dan para pihak yang terlibat di dalamnya, tetapi juga menyelamatkan industri.

oleh Iskandar diperbarui 14 Feb 2020, 16:30 WIB
Diterbitkan 14 Feb 2020, 16:30 WIB
Startup
Ilustrasi Startup (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Praktik bakar uang yang kerap dilakukan startup berbasis teknologi dianggap tidak akan membuat perusahaan bertahan dan berkembang dalam jangka panjang.

Business Development Advisor Bursa Efek Indonesia (BEI) Poltak Hotradero mengatakan setiap entitas memiliki kekuatan dan nafas masing-masing. Sebuah startup haru berpikir bahwa bakar uang akan menjadi zero-sum game (satu pihak rugi, pihak lain untung).

"Meski perusahaan yang semula sebagai rintisan, kemudian mendapat suntikan investasi besar dari institusi besar sekali pun, harus tetap menjalankan praktik tata kelola yang baik," ujar Poltak melalui keterangannya, Jumat (14/2/2020).

Ia menilai, startup harus memperhatikan good corporate covernance (GCG) atau tata kelola yang baik. Sebab, hanya dengan GCG, sebuah perusahaan termasuk startup bisa berkelanjutan. Juga bertahan dan terus berkembang dalam jangka Panjang.

"Menghentikan praktik bakar uang bukan sekadar menyelamatkan perusahaan dan para pihak yang terlibat di dalamnya, tetapi juga menyelamatkan industri. Salah satunya untuk mulai mengetahui kebutuhan konsumen secara riil," ucap Poltak.

Namun ia tak menyalahkan sebuah startup melakukan promosi. Menurutnya, promo bolah saja dilakukan asalkan wajar dan tak terus-menerus.

"Jangan sampai konsumen datang hanya karena ada promo. Promo boleh saja dilakukan, tetapi bukan yang terus-terusan,” imbuh Poltak.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

Contoh Kasus

Startup
Ilustrasi Startup (iStockPhoto)

Poltak meyakini, bakar uang yang dilakukan secara terus-menerus tidak akan pernah kembali menjadi sebuah keuntungan.

"Ini alasan yang cukup jelas. Jika praktik bisnis anda tidak melahirkan data yang baik, ya percuma saja,” tegasnya.

Ia memberi contoh bagaimana startup co-working space, WeWork dan investornya SoftBank harus menerima kegagalan karena terlalu banyak bakar uang. Salah satu imbasnya adalah gagal masuk bursa saham (IPO).

"Kita bisa lihat dalam prospektus WeWork saat mau IPO, banyak hal tidak sustainability dan benturan kepentingan,” ungkap Poltak.

Data Crunchbase mencatat, SoftBank telah menyuntik dana ke WeWork hingga USD 10,4 miliar. Investasi terakhir dari SoftBank mencapai USD 2 miliar. Sekitar USD 700 juta atau setara hampir Rp 10 triliun per kuartalnya digunakan untuk promosi dengan model bakar uang.

Setelah kegagalan IPO tersebut, WeWork dikabarkan tengah menghadapi risiko bangkrut.

(Isk/Ysl)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya