Kemkominfo Tegaskan Migrasi TV Analog ke Digital Paling Lambat November 2022

Kemkominfo mengatakan migrasi TV analog ke digital akan dilakukan paling lambat pada November 2022.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 03 Des 2020, 14:10 WIB
Diterbitkan 03 Des 2020, 14:10 WIB
Ilustrasi televisi (iStock)
Ilustrasi televisi (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akhirnya menegaskan batas akhir migrasi TV analog ke digital. Hal itu diungkapkan oleh Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ahmad M. Ramli.

"Paling lambat dua tahun, yaitu pada tanggal 2 November 2022, kita sudah harus menghentikan siaran analog dan kemudian beralih ke digital," tutur Ahmad dalam siaran pers, Kamis (3/12/2020).

Keputusan ini dilakukan sebagai bentuk pengawasan pemerintah terhadap kualitas layanan sektor telekomunikasi, pos, dan penyiaran seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Menurut Ramli, pengawasan ini dilakukan untuk memastikan layanan yang telah diberikan izin tetap melindungi konsumen dan memberikan pelayanan terbaik terhadap publik.

Untuk itu, dia menuturkan semua pihak terkait dapat memberikan masukan dalam penyusunan RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) melalui kanal yang sudah disiapkan pemerintah.

"Aspirasi yang sejalan dengan Undang-Undang Cipta Kerja akan dipertimbangkan untuk diakomodasi dalam RPP yang sedang disusun. Tentunya ada juga yang tidak bisa diakomodasi," ujar Ahmad melanjutkan.

Selain itu, untuk mendorong peningkatan efisiensi dalam industri telekomunikasi, Kemkominfo juga mendorong skema berbagi infrastruktur antar pelaku usaha.

"Kami mengharapkan ada efisiensi yang sangat tinggi tetapi di sisi lain juga bisa menjadikan industri telekomunikasi ini sebagai tulang punggung ekonomi digital," kata Ramli menjelaskan.

Terlebih, industri telekomunikasi dalam kondisi pandemi Covid-19, bidang telekomunikasi menjadi industri yang tetap tumbuh dan menjadi tulang punggung ekonomi di Indonesia.

"Untuk meningkatkan penetrasi infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T, UU Cipta Kerja juga memungkinkan pemerintah menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) jika dana kontribusi kewajiban pelayanan universal (USO) tidak mencukupi," tutur Ramli.

Rencana Migrasi TV Analog ke Digital

Ilustrasi
Ilustrasi menonton televisi. (dok. unsplash.com/Asnida Riani)

Untuk diketahui, Analog switch off (ASO) atau penghentian siaran analog akan diselesaikan paling lambat dua tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja. DPR RI pada Senin (5/10/2020) telah mengesahkan UU tersebut.

Hal ini sekaligus menetapkan bahwa ASO tidak harus menunggu UU Penyiaran baru, yang hingga kini belum juga selesai. Jika menunggu sampai dua tahun, maka penghentian siaran analog akan selesai pada 2022.

"ASO ini ditetapkan di PP tidak bisa, tapi UU Penyiaran baru juga belum juga selesai. Karena gagal terus, maka dititipkan untuk ASO ini Omnibus Law pasal 60A. Berkahnya di situ, negara diberikan kewenangan untuk melakukan ASO," ungkap staf ahli Menkominfo, Henri Subiakto, kepada tim Tekno Liputan6.com (15/10/2020).

Dalam pasal 60A ayat 1 disebutkan penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi termasuk migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital.

Kemudian pada pasal 2 tertulis, migrasi penyiaran televisi terrestrial dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghentian siaran analog (analog switch off) diselesaikan paling lambat dua tahun sejak mulai berlakunya UU Cipta Kerja.

Henri mengatakan saat ini pemerintah sedang membuat sejumlah rencana untuk membantu proses migrasi tersebut, termasuk Peraturan Menteri (Permen). Sementara itu, menurutnya, industri memberikan respons positif terhadap proses ASO tersebut.

"Mereka (penyelenggaran siaran TV) baik-baik saja, karena mereka juga sudah lama sekali mempersiapkan untuk transisi," tuturnya.

Subsidi untuk Masyarakat

Pengamat telekomunikasi, Nonot Harsono, mengatakan bahwa selain masa transisi ini, hal lain yang harus diperhatikan adalah mekanismenya.

Ia berharap jika memang nanti penyiaran terresterial secara simulcast atau analog dan digital bersamaan terlaksana, maka tidak dilakukan terlalu lama.

"Simulcast ini tidak boleh berlama-lama. Jika berdasarkan survei, lebih banyak jumlah TV di rumah sudah ada channel digital, maka langsung digital saja semua. Artinya yang tidak mendapatkan siaran kan jumlahnya sedikit, maka pemerintah bisa memberikan subsidi misalnya berupa TV baru," jelas Nonot.

Subsidi tersebut, katanya, bisa diambil dari penghematan yang didapatkan pemerintah atas digitalisasi penyiaran tersebut.

"Artinya, keuntungan ASO bisa dipakai untuk subsidi," tuturnya.

Lebih lanjut, Henri mengatakan ada sejumlah keuntungan yang bisa didapatkan negara dan masyarakat dari digitalisasi penyiaran ini.

Akan ada digital deviden untuk memenuhi kebutuhan broadband Indonesia, termasuk kebutuhkan broadband sebesar 1.310 MHz lima tahun yang akan datang.

Indonesia diklaim akan segera merdeka dari blank spot. Melaluai penataan frekuensi 700 MHz yang selama berpuluh tahun dipakai oleh TV analog, negara akan memperoleh broadband baru, untuk melayani wilayah blank spot di berbagai daerah.

Selain itu, operator seluler akan segera bisa membangun jaringan untuk berbagai daerah yang masih blank spot dan lemot, dengan menggunakan frekuensi 700 Mhz yang selama ini kurang termanfaatkan secara optimal untuk kehidupan digital.

Frekuensi 700 MHz merupakan frekuensi terbaik yg seluruh dunia mengupayakan untuk perkembangan digital termasuk pengembangan 5G dan industri 4.0.

Dari sisi penghematan, kata Henri, teknologi analog memerlukan 8MHz per satu televisi, sedangkan teknologi digital dengan lebar pita yang sama bisa dipakai oleh 9 hingga 12. Sementara itu, lebar pita 10MHz bisa digunakan mengakses internet oleh ratusan ribu orang.

(Dam/Why)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya