Gagasan Nasionalisme Kedua Capres Hanya Strategi Marketing

Peneliti Senior IGJ, Salamuddin Daeng menilai, ada tiga hal yang menjadi penghambat nasionalisme Indonesia.

oleh Septian Deny diperbarui 30 Mei 2014, 19:41 WIB
Diterbitkan 30 Mei 2014, 19:41 WIB
Jokowi-JK dan Prabowo Hatta (2)
Jokowi-JK dan Prabowo Hatta (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Isu nasionalisme yang diusung oleh para kandidat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dinilai hanya sebagai strategi sales marketing dalam rangka pemenangan dalam pemilihan presiden (pilpres) ditengah menguatnya isu tersebut dalam beberapa tahun terakhir.

Peneliti Senior IGJ, Salamuddin Daeng mengatakan, pasangan Jokowi-JK mengusung gagasan nasionalisme milik Soekarno yaitu Trisakti, namun hal tersebut masih dianggap belum detil.

"Sementara pasangan Prabowo-Hatta yang juga mengusung gagasan nasionalisme juga tidak secara tegas menyebutkan operasionalisasinya," ujar Salamuddin saat konferensi pers di Resto Dapur Selera, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (30/5/2014).

Menurut Salamuddin, sedikitnya ada tiga hal yang menjadi penghambat terwujudnya nasionalisme Indonesia saat ini. Pertama yaitu soal dorongan berbagai perjanjian internasional yang mengikat. Kedua, berbagai peraturan perundangan yang lahir dalam era reformasi. Dan ketiga, berbagai kontrak penjualan kekayaan alam dan kontrak dalam penguasaan kekayaan alam dan kontrak dalam penguasaan kekayaan alam.

"Seperti kontrak karya, kontrak kerjasama migas, kontrak kerja batu bara. Ini telah diserahkan pemerintah kepada investor untuk dikuasai dalam jangka waktu yang lama," kata Salamuddin.

Salamuddin menuturkan, langkah nasionalisasi dalam berbagai sektor ekonomi sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 akan menimbulkan konsekuensi gugatan arbitrase internasional oleh perusahaan-perusahaan swasta melalui peradilan internasional sebagaimana yang telah disepakati dalam perjanjian internasional.

"Kecenderungan pemerintah Indonesia untuk membuat perjanjian secara brutal akan menghambat bagi terwujudnya kedaulatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat," tandasnya. (Dny/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya