Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) secara tegas menolak pengenaan pajak bea meterai pada transaksi belanja di toko ritel. Alasannya, bisnis ritel saat ini tengah lesu akibat daya beli masyarakat menurun.
"Tidak setuju, kebijakan ngawur. Paling dapat berapa uang dari kebijakan ini tapi risikonya besar buat konsumen," ujar Ketua Umum Aprindo, Pudjianto kepada Liputan6.com, Jakarta, Senin (10/3/2015).
Lebih jauh dia mengaku, jika dituntut untuk menerapkan pajak bea meterai pada struk belanja, pengusaha ritel akan membebankan biaya itu pada konsumen. Akhirnya bisa memicu dampak inflasi dan membuat daya beli masyarakat turun.
Advertisement
"Tidak mungkin bebannya jatuh ke ritel, pastinya ke konsumen. Bayar struk belanjaan kena tarif bea meterai lagi. Inflasi, bikin daya beli berkurang. Pemerintah tidak mengerti apa," tegasnya.
Pudjianto menambahkan, bisnis pengusaha ritel saat ini sedang lesu sehingga bukan waktu yang tepat bagi pemerintah untuk mengenakan pajak atau tarif bea meterai.
"Lagi lesu, karena gaya hidup orang berubah. Kalau dulu orang tidak memikirkan rekreasi sekarang mementingkan itu. Belanja kebutuhan pokok dikurangi demi bisa menyimpan buat rekreasi dan bayar cicilan," jelas dia.
Untuk itu, dirinya berharap agar pemerintah dapat mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut baik mekanismenya, waktu yang pas, sosialisasinya ke pengusaha dan konsumen.
"Ritel itu cuma pengantar barang produsen ke konsumen. Kalau ada apa-apa, dampaknya ke produsen paling besar, akhirnya tidak bisa produksi banyak, dan ujung-ujungnya jam kerja karyawan berkurang dan daya beli menurun," pungkas Pudjianto.
Sebelumnya Ditjen Pajak menyatakan pelaku ritel harus menyertakan bea meterai untuk nominal belanja di atas Rp 250 ribu. Lantaran, peraturan itu sudah ada sejak lama, namun tidak diterapkan dengan baik oleh peritel. Saat ini, Ditjen pajak masih mendiskusikan angka pengenaan tarif bea meterai untuk belanja ritel. (Fik/Ahm)