Harga Komoditas Sulit Bangkit

Ekonomi China melambat membuat harga komoditas masih lesu sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 28 Mei 2015, 19:37 WIB
Diterbitkan 28 Mei 2015, 19:37 WIB
Ilustrasi CPO 5 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi CPO 5 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia perlu menggenjot sektor infrastruktur untuk menggenjot ekonomi daerah di tengah harga komoditas terus tertekan. Karena itu, pemerintah diimbau tidak terlalu mengandalkan komoditas sebagai pendorong ekonomi Indonesia.

Ekonom Senior PT Mandiri Sekuritas Leo Putra Rinaldy menyampaikan itu dalam acara Economics Outlook pada Kamis (28/5/2015). Dia menuturkan, saat ini komoditas tidak terlalu menggairahkan karena harganya terus jatuh. Harga komoditas tertekan itu sejalan dengan pelemahan ekonomi China. "Sulit mengandalkan China tumbuh double digit," kata dia.

Kondisi itu berbeda dengan periode tahun-tahun sebelumnya. Saat itu, pertumbuhan ekonomi China 11 persen, dan diikuti harga komoditas melesat tinggi. Di awal 2015, ekonomi China tumbuh sekitar 7 persen.

"Implikasi harga komoditas. Awal 2007-2012 mengalami komoditi super cycle era. Harga batu bara naik 120 persen," ujar Leo.

Dengan ekonomi China melemah dan harga komoditas anjlok, membuat perekonomian wilayah produsen mengalami tekanan. Sebut saja, wilayah itu seperti Kalimantan Timur dan Riau sebagai produsen batu bara dan minyak kelapa sawit/crude palm oil (CPO). "Kalimantan Timur Year on Year (YoY) -1 persen, Riau kontraksi," ujar dia.

Karena itu, dia bilang perlu menggenjot infrastruktur wilayah supaya perekonomian daerah ikut naik. "Pentingnya realisasi anggaran infrastruktur  ke depan," kata Leo.

Untuk diketahui, harga rata-rata CPO global turun 1 persen pada April dibandingkan bulan sebelumnya. Harga CPO turun menjadi US$ 654,6 per metrik ton pada April dari US$ 662 per metrik ton pada Maret 2015.

Sementara itu, harga harian CPO global selama tiga pekan pertama Mei masih stagnan dan cenderung menurun. Harga hanya bergerak di kisaran US$ 642,5-US$ 665 per metrik ton. (Amd/Ahm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya