Kisah Runtuhnya Industri Baja Dunia

Banyak perusahaan yang terpukul dan menyatakan bangkrut. Imbas dari rendahnya harga dan turunnya permintaan.

oleh Zulfi Suhendra diperbarui 01 Apr 2016, 13:00 WIB
Diterbitkan 01 Apr 2016, 13:00 WIB
Ilustrasi Pembuatan Baja (iStockphoto)
Ilustrasi Pembuatan Baja (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Industri baja dunia tengah di ambang krisis. Banyak perusahaan baja yang terpukul dan menyatakan bangkrut. Ini merupakan imbas dari rendahnya harga dan turunnya permintaan karena kondisi ekonomi yang belum pulih betul.

Baru-baru ini, salah satu produsen baja terbesar di Eropa, Tata Steel, menyatakan akan menutup pabrik dan menjual seluruh asetnya yang berada di Inggris. Belasan ribu pegawainya terpaksa harus kehilangan pekerjaan.

Mereka tak ingin bisnisnya runtuh karena krisis yang terjadi. Tata meminta pertolongan pemerintah Inggris untuk melakukan bailout. Semata-mata untuk menyelamatkan 15 ribu pekerja yang nasibnya kian tak jelas.

Seperti dilansir dari beberapa sumber, pemerintah Inggris menyatakan bakal membantu sebisa mungkin untuk menyelamatkan pekerjaan mereka. Namun, perlu dicatat, pemerintah tak bisa menjamin akan berhasil.

Pemerintah juga bukan tanpa alasan menyatakan tak ada jaminan Tata Steel bisa keluar dari zona krisis. Hal ini bahkan berlaku juga untuk produsen baja lainnya. Siapa yang mau membeli aset atau perusahaan yang merugi 1 juta pound sterling setiap hari?

Salah satu pabrik milik Tata di Inggris, Port Talbot, yang mempekerjakan 4.100 orang dikabarkan mengalami kerugian hingga 1 juta pound sterling setiap hari, seperti yang diberitakan BBC.

Perdana Menteri Inggris David Cameron sangat prihatin dengan kondisi ini. Menurut dia, kondisi di Port Talbot butuh perhatian lebih dan lapangan kerja di sektor baja ini adalah sangat vital bagi pekerja itu sendiri, keluarga, juga lingkungan mereka.

Cameron juga menyatakan tak mungkin jika Tata dinasionalisasi setelah keputusannya menjual bisnis mereka di Inggris.

Sekretaris Luar Negeri Inggris Phillip Hammond menambahkan dalam satu kesempatan bahwa sebuah solusi yang lebih konkret dibutuhkan dalam mengatasi masalah ini.

"Kita jelas tak bisa mengabaikan ini. Terus melakukan produksi tanpa ada permintaan pun bukan jawaban," katanya.

Tampaknya pemerintah Inggris kebingungan mencari solusi. Mencari investor yang mau membeli perusahaan adalah salah satu solusi jitu. Namun pertanyaannya, dengan kerugian Port Talbot yang mencapai 1 juta pound sterling setiap hari, apa ada yang mau mengambil alih?

Para menteri menyatakan mereka butuh waktu beberapa bulan untuk mencari rencana penyelamatan perusahaan.

Sementara itu, para pekerja menunggu dalam kondisi ketidakpastian. Mereka ingin tahu berapa lama lagi mereka bekerja di Port Talbot, apa mereka dapat dana pensiun, dan lain-lainnya.

Sebenarnya bisnis Tata Steel yang merupakan produsen baja terbesar di dunia adem ayem saja sebelum krisis global menghantam banyak negara, khususnya Tiongkok.

Produksi baja di Inggris naik lebih dari separuh pada masa kejayaannya di tahun 1970-an dan mencapai produksi 12 juta ton per tahun. Namun pada 2015, produsen baja Inggris berkontribusi kurang dari 1 persen dari pasokan dunia.

Siapa pemasok terbesar? Di sini cerita menariknya.

Tiongkok Kelebihan Pasokan

Sementara pabrik baja Inggris jatuh, produksi dunia meningkat pesat, hampir dua kali lipat dalam kurun 2002 dan 2014.

Peningkatan terbesar datang dari Tiongkok, yang produksinya meningkat hingga 4 kali lipat sejak 2000. Pada 2015, Tiongkok memproduksi lebih dari 800 juta ton atau setengah dari pasokan dunia.

Namun, ekonomi Tiongkok tengah lesu. Pembangunan infrastruktur di Negeri Tirai Bambu itu berjalan lambat. Alhasil permintaan terhadap baja di dalam negeri tidak menggembirakan.

Kemudian, Tiongkok mengalihkan pasokannya ke pasar ekspor. Baja-baja dari negara ini tersebar dan menggeser pasar dari baja-baja negara lain, termasuk dari Tata Steel. Apalagi Tiongkok diduga melakukan dumping.

Itu dinilai jadi salah satu alasan para produsen baja di Eropa kehilangan pasar. Tiongkok mengekspor 112 juta ton per tahun. Baja asal Tiongkok yang berada "di mana-mana" membuat harga jatuh.

Alasan Tiongkok melakukan itu adalah karena produksi baja di negara tersebut tengah surplus. Mereka kelebihan pasokan. Produksi harus terus berjalan, sementara permintaan lambat. Mau tak mau mereka harus mencari pasar yang lain. 

Kebanyakan produsen baja dunia menderita karena kondisi ini. Namun, nasibnya berbeda.

Produsen Amerika ditolong oleh pemerintahnya yang menerapkan tarif 500 persen untuk beberapa bentuk baja. Mereka juga mendapatkan energi murah dari gas alam.

Di lain pihak, Inggris menghadapi persoalan. Biaya energi mereka tertinggi di Eropa. Penguatan pound sterling menghantam ekspor mereka, sementara pabrik baja di area Eropa beruntung karena pelemahan euro.

Kembali bicara mengenai Tiongkok, yang dinilai sebagai salah satu faktor utama dari kondisi ini. Tiongkok sebenarnya sudah memangkas produksi hingga 150 juta ton yang menyebabkan 400 ribu orang kehilangan pekerjaan. Namun tetap, negara ini kelebihan pasokan.

Sektor industri baja di Tiongkok, yang terbesar dunia dalam beberapa tahun ini kelebihan pasokan hingga mencapai 300 juta ton. Setara dengan tiga kali lipat produksi tahunan Jepang. Kondisi kelebihan ini semakin parah terjadi di dua tahun terakhir saat ekonomi negara tengah melambat. (Zul/Ndw)

 

 Sumber:

BBC, The Economist, Economic Times

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya