Cara Tiongkok Redam Tuntutan Kenaikan Upah Buruh

Upah minimum yang ditetapkan setiap tahun seharusnya bukan menjadi patokan bagi kesejahteraan buruh di Indonesia.

oleh Septian Deny diperbarui 09 Mei 2016, 17:42 WIB
Diterbitkan 09 Mei 2016, 17:42 WIB
Investasi Teksil Meningkat Saat Ekonomi Lesu
Pekerja memotong pola di pabrik Garmen,Tangerang, Banten, Selasa (13/10/2015). Industri tekstil di dalam negeri terus menggeliat. Hal ini ditandai aliran investasi yang mencapai Rp 4 triliun (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Tuntutan buruh terkait kenaikan upah minimum terjadi setiap tahun di Indonesia. Namun hal seperti ini jarang terjadi di Tiongkok yang industrinya jauh lebih besar dari Indonesia.

Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Hendri Saparini mengatakan, pemerintah Tiongkok memiliki strategi agar buruh di negaranya tidak selalu menuntut kenaikan upah. Caranya bukan dengan meningkatkan besar upah minimum setiap tahun, melainkan dengan mengurangi beban para buruh.

"Mereka mengurangi beban-beban bagi tenaga kerjanya, bukan dari segi salary. Tetapi biaya sekolah diberikan (pemerintah), biaya rumah diberikan, biaya makanan diberikan. Itu memang diberikan," ujar dia saat Kunjungan Kerja KEIN ke PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Sunter, Jakarta Utara, Senin (9/5/2016).

Hendri menuturkan, dengan cara seperti ini, buruh di Negeri Tirai Bambu tersebut tidak lagi merasa pendapatannya kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Hal ini juga menjadi salah satu faktor pendorong daya saing industri di negara tersebut.

"Dengan demikian mereka tidak menuntut dengan gaji besar, yang penting kan daya beli. Ini juga dijadikan salah satu bagian dari daya siang industri," ungkap dia.

Hendri mengungkapkan, upah minimum yang ditetapkan setiap tahun di Indonesia seharusnya bukan menjadi patokan bagi kesejahteraan buruh. Sebab jika ini yang terjadi, maka setiap tahun tuntutan kenaikan upah akan terus terjadi.

"Jadi dengan upah minimum dijadikan faktor untuk meningkatkan kesejahteraan, itu salah besar. Karena kalau melihat kesejahteraan buruh, seolah-olah buruh harus diberikan ini itu supaya sejahtera, tidak do‎ng. Yang penting beban dia dikurangi, gajinya tidak naik, tetapi bebannya dikurangi. Ini yang tidak kita lakukan," kata dia.

Selain itu, di negara-negara yang industrinya telah maju, komponen-komponen yang berpotensi menjadi beban industri seperti upah dan biaya energi tidak pernah dinaikkan secara bersamaan. Negara-negara tersebut telah memiliki formula ‎untuk mengatur kenaikan komponen-komponen tersebut sehingga industrinya tetapi memiliki daya saing.

"Sementara negara lain melakukan itu, bahkan ada banyak negara naik upah minimumnya tidak tiap tahun. Tapi telah ada sistemnya. Sekarang yang naik energi, besok yang naik salary, jadi dalam list biaya produksi itu gantian. Kalau kita naik bareng, listrik naik bareng dengan upah minimum. Kemudian industrinya malah dituntut untuk berdaya saing," ujar dia. (Dny/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya