Ini Dampak Penurunan Harga Minyak bagi Negara Produsen Migas

Bagi Indonesia, penurunan harga minyak dunia menyebabkan penerimaan negara dari sektor migas anjlok.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 26 Mei 2016, 17:14 WIB
Diterbitkan 26 Mei 2016, 17:14 WIB
Ilustrasi Harga Minyak Turun
Ilustrasi Harga Minyak Turun (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta - Penurunan harga minyak dunia berpengaruh kepada seluruh negara produsen minyak bumi. Negara-negara yang mengandalkan minyak dan gas bumi (migas) sebagai tulang punggung perekonomian, seperti Saudi Arabia, Rusia, Venezuela, Brasil, dan Rusia mengalami tekanan.

Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengungkapkan, dampak penurunan harga minyak dunia membuat‎ Rusia mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat anjloknya pendapatan negara yang sebagian besar diperoleh dari ekspor komoditas migas.

Saudi Arabia juga mengalami kesulitan keuangan karena anjloknya pendapatan negara dari ekspor migas ditambah biaya program-program sosial yang besar, termasuk subsidi energi. Tahun 2016 ini, Saudi Arabia meluncurkan Visi 2030 yang menetapkan arah reformasi perekonomian negara ini untuk mengurangi ketergantungan pada sektor migas.

Demikian halnya dengan Venezuela yang selama ini memberikan subsidi yang besar untuk minyak, selain gangguan finansial, juga ancaman stabilitas sosial di mana antrean kelangkaan kebutuhan dasar manusia terjadi di banyak tempat.

"Brasil mengalami dua kali pukulan selain terganggunya keuangan negara, juga isu korupsi dan politik yang mengganggu stabilitas negara," kata Sudirman, dalam The Indonesian Petroleum (IPA) Convention & Exhibition ke-40, di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Kamis (26/5/2016).

Bagi Indonesia, penurunan harga minyak dunia menyebabkan penerimaan negara dari sektor migas menurun dari Rp. 304 triliun pada 2014 menjadi Rp 173 triliun pada 2015. Pada 1976 di saat produksi minyak bumi Indonesia mencapai puncaknya sebanyak 1,6 juta barel per hari, porsi penerimaan migas mencapai lebih dari 55 persen dari total penerimaan negara, sementara di 2015 ini porsi tersebut menurun hanya sekitar 10 persen.

Perlambatan ekonomi global menyebabkan konsumsi energi menurun, sehingga investasi dan produksi migas baru ikut tak bergairah. Hasil analisa Wood Mackenzie menyampaikan bahwa sebesar US$ 380 miliar investasi dari 68 proyek migas besar dunia tertunda. Demikian halnya terdapat potensi produksi minyak dunia sebesar 2,9 juta barel per hari yang juga akan mengalami penundaan.

Aktifitas ekonomi yang lesu menyebabkan meningkatnya pengangguran, turunnya pendapatan masyarakat dan melemahnya permintaan produk barang dan jasa. Investasi migas Indonesia pun turun 22 persen dari US$ 22 miliar 2014 menjadi US$ 18 miliar tahun 2015 akibat penundaan dan pengurangan kegiatan usaha hulu migas‎.

Sudirman menjelaskan, fenomena penurunan harga minyak dunia dipicu oleh turunnya permintaan akibat perlambatan ekonomi sebagian besar negara-negara di dunia. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun 2015 mencapai titik terendah di bawah 6,9 persen dalam 25 tahun terakhir.

Selain itu, impor migas Amerika juga terus menurun akibat kebutuhan domestik mendapatkan pasokan yang cukup besar dari migas nonkonvensional. Di sisi lain, pasokan minyak dunia masih terus membanjiri pasar.

Berdasarkan data OPEC, pada awal tahun 2016, terdapat over supply pasokan minyak dunia sekitar 1,5 juta barel per hari, sedangkan pertumbuhan kebutuhan minyak dunia melambat dari sekitar 1,5 juta barel per hari tahun 2014 menjadi 1,25 juta barel per hari pada tahun 2015.

Di samping itu, saat ini minyak bumi yang diproduksi secara konvensional bukan merupakan satu-satunya sumber daya energi yang dapat diandalkan. Pesatnya perkembangan teknologi migas unkonvensional telah menyebabkan harga minyak bumi konvensional menjadi tidak kompetitif.

"Dengan potensi ekonomi yang besar, di masa depan, produksi migas unkonvensional akan menjadi pesaing yang kuat terhadap minyak bumi konvensional," ucap Sudirman. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya