Data Tak Akurat Bikin Harga Pangan Bergejolak

Dalam melakukan pendataan produksi pangan, metode yang digunakan di Indonesia juga masih terlampau sederhana.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 20 Jun 2016, 15:56 WIB
Diterbitkan 20 Jun 2016, 15:56 WIB
Data Pangan
Dalam melakukan pendataan produksi pangan, metode yang digunakan di Indonesia masih terlampau sederhana.

Liputan6.com, Jakarta - Cara perhitungan yang kurang akurat membuat harga pangan terus bergejolak. Oleh karena itu, pemerintah perlu untuk memperbaiki metode perhitungan sehingga harga pangan bisa turun. 

Staf Ahli Bidang Lingkungan Hidup dan Pembangunan Kelanjutan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Blucer welington Rajagukguk‎ menjelaskan, BPK telah melakukan penelitian terhadap kenaikan harga pangan dalam beberapa waktu ini. Kesimpulan dalam penelitian tersebut, data yang kurang akurat menjadi penyebab harga pangan perus bergejolak. 

Dalam perhitungan selama ini, luasan lahan pertanian tidak berkurang. Padahal jika dilihat, luasan lahan pertanian telah tergerus dengan industri. "Dari hasil kami melakukan pengecekan persoalan sebenarnya mengenai luas lahan," kata Blucer, di Kantor BPK Jakarta, Senin (20/6/2016).

Menurutnya, kondisi pengurangan lahan tersebut tidak masuk dalam perhitungan sehingga data produksi pangan yang ada tidak sesuai dengan kondisi realitas produksi. 

Dengan pengurangan lahan seharusnya angka produksi juga berkurang. Namun karena tidak ada pembaharuan data tersebut maka terlihat bahwa produksi yang ada saat ini mencukupi kebutuhan nasional.

"Jadi selama ini luasan lahan yang salah. Seperti diketahui industri kita cepat sekali berkembang sehingga terjadi perubahan keperuntukan lahan. Perubahan ini tidak disesuaikan, sehingga luas lahan tidak sama dengan pengalihan," terang Blucer.

Selain itu, dalam melakukan pendataan produksi pangan, metode yang digunakan di Indonesia juga masih terlampau sederhana. Seiring perkembangan, metode yang sederhana tersebut diragukan keakuratan datanya. Seharusnya, di era sudah maju seperti ini, penghitungan data pangan sudah menggunakan teknologi, sehingga sesuai dengan realisasi kebutuhan.

"Di luar sana sudah pakai teknologi, di Indonesia masih pakai pandangan mata, jaman seperti sekarang teknologi dikuatkan, kita bisa pakai GPS, sehingga angka produksi jelas bagaimana dari desa, kelurahan, sampai pemerintah pusat ini jelas, misal beras 10 ribu ton dimana saja," kata Blucer.

Sebelumnya pada 27 Januari 2016 lalu, Menteri Perdagangan (Mendag), Thomas Trikasih Lembong mengakui adanya kesimpangsiuran data pangan sehingga berpengaruh terhadap kebijakan. "Saya kira sudah rahasia publik data kita simpang siur, berantakan dan akhirnya kebijakan pemerintah jadi simpang siur karena data yang tidak beres," tegas Lembong saat ditemui di Jakarta, Rabu (27/1/2016).

Lembong mengambil sisi positif dari kesemrawutan data pangan di Indonesia. Itu artinya, ia bilang, pemerintah harus segera membenahi data tersebut dengan berbagai langkah dan terobosan. Yang penting adalah kejujuran mau mengaku kesalahan dan memperbaikinya.

"Kalau mau membenahi suatu masalah, kita harus mengakuinya. Saya tidak terlalu sedih, marah, kita akui secara jujur dan mulai membenahinya. Informasi data kurang sekali," terang dia.

Ia menjelaskan, pemerintah akan menggerakkan sistem perdagangan melalui online market place. Dengan demikian, petani, peternak dan konsumen Indonesia terkoneksi ke satu jaringan virtual.

"Jadi semua terkoneksi melalui platform yang sama, misalnya petani bisa memberikan informasi data panen, harganya, pembeli dan penjual bisa sama-sama melihatnya. Sehingga transaksinya langsung, memangkas rantai perdagangan," ujar dia.

Lembong menuturkan, naik turunnya harga menjadi sinyal dari pasar. Contohnya ketika harga pangan naik, itu artinya terjadi kekurangan pasokan sehingga perlu segera diambil tindakan, seperti melempar stok beras ke pasar, menggelar operasi pasar, pemberian insentif dan lainnya.

"Sebaliknya, jika harga pangan turun, itu pertanda oversuplai. Kita akan terus memantau perkembangan harga," tutur dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya