Pengusaha Desak ESDM Tak Perpanjang Izin Ekspor Freeport

Hipmi menilai izin yang diberikan kepada Freeport dapat merusak komitmen investasi dan hilirisasi industri nasional.

oleh Nurmayanti diperbarui 09 Agu 2016, 15:22 WIB
Diterbitkan 09 Agu 2016, 15:22 WIB
Tambang Freeport
Ilustrasi Pertambangan (Foto:Antara)

Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) meminta Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Archandra Tahar tidak mengeluarkan izin ekspor konsentrat kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) .

Hipmi menilai izin yang diberikan kepada Freeport dapat merusak komitmen investasi dan hilirisasi industri nasional yang tengah dibangun pemerintah.

"Kita bersusah payah sampai bankrut untuk mentaati aturan dan program hilirisasi, sementara Freeport terus-terusan memohon dispensasi ekspor konsentrat. Apa-apaan ini. Kita kecewa berat kalau Menteri ESDM sampai kasih lagi dispensasi. Ini juga akan merusak iklim investasi,” ujar Ketua BPP Hipmi Bahlil Lahadalia di Jakarta, Selasa (9/8/2016).

Sebagaimana diketahui, per Selasa ini 9 Agustus 2016, Freeport dilarang melakukan aktifitas ekspor. Sebab itu, Freeport kembali mengajukan izin ekspor konsentrat.

Sementara Kementerian ESDM mengaku masih menahan perpanjangan rekomendasi surat persetujuan ekspor konsentrat tembaga Freeport. Alasannya,  proses evaluasi terhadap persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh izin tersebut belum tuntas.

Adapun izin ekspor konsentrat tembaga Freeport yang diberikan berlaku per enam bulan, dan berakhir Senin 8 Agustus. Kementerian ESDM menyatakan belum pasti akan memberikan kuota yang diminta Freeport. Sebab hal tersebut akan tergantung hasil evaluasi, termasuk realisasi ekspor sebelumnya. Kementerian juga masih menunggu hasil evaluasi perkembangan pembangunan smelter di Jawa Timur.

Bahlil mengatakan, dispensasi yang berkepanjangan kepada Freeport dapat merusak iklim investasi yang tengah digulirkan pemerintah. “Apa pemerintah mau menggagalkan sendiri programnya? Ini amanat Undang-Undang Minerba tahun 2009,” tegas Bahlil.

Dia juga  meminta Menteri ESDM tidak tersandera kepentingan Freeport dalam mengambil kebijakan. Selain kerap mendapat dispensasi, perusahaan asal Amerika ini juga mendapatkan perlakuan khusus dengan terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 5 Tahun 2016 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Permen ESDM 5/2016 merupakan revisi dari Permen ESDM 11/2014.

Dia menilai dalam revisi Permen 11 itu, tampak jelas untuk mengakomodasi kepentingan Freeport. Investor diberi kemudahan apabila perkembangan pembangunan smelter bila tidak memenuhi syarat yang ditentukan.

Padahal, dalam Permen 11 yang belum direvisi, beleid ini menerapkan syarat yang sangat ketat untuk perpanjangan izin ekspor, yakni izin diberikan apabila smelter mencapai 60 persen dari rencana kerja per enam bulan.

Sedangkan dalam Permen 5 lebih melunak. Aturan menyebutkan, bagi smelter yang tidak mencapai 60 persen dari target yang dihitung secara kumulatif, maka perpanjangan rekomendasi diberikan dengan tingkat kemajuan pembangunan smelter dinilai sama dengan capaian pada periode sebelumnya.

“Gara-gara beleid itu, kemudian banyak pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) jadi molor,” pungkas dia.
 
Bahlil menilai, pemerintah terlalu memanjakan Freeport. Padahal, selain Freeport, perusahaan tambang saat ini rata-rata mengalami kesulitan keuangan bahkan menuju kebangkrutan seiring pelarangan ekspor konsentrat.

Namun, para pengusaha lokal saat ini masih berupaya menaati regulasi yakni Undang-Undang (UU) Minerba No.4 Tahun 2009. Terbukti, para pengusaha lokal saat ini sedang membangun smelter di beberapa tempat di Tanah Air sebagai bentuk kepatuhan kepada regulasi atau UU, meski di tengah lemahnya dukungan permodalan dan pasokan energi.(Nrm/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya