Liputan6.com, Jakarta - Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) berpendapat rencana pengembangan wilayah melalui reklamasi bukan satu hal yang baru di kota-kota metropolitan di dunia.
Untuk wilayah DKI Jakarta, Anggota KEIN Benny Soetrisno menilai pengembangan wilayah melalui reklamasi di utara DKI Jakarta bukanlah satu proyek yang selalu dipandang negatif.
Menurutnya, penghentian sementara (moratorium) proyek reklamasi Teluk Jakarta memberikan dampak negatif kepada berbagai pihak. Benny meminta nasib proyek reklamasi yang sudah dimulai sejak era kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, itu segera diputuskan supaya tidak mangkrak.
Advertisement
“Apabila diberhentikan terlalu lama maka yang merugi banyak pihak, di antaranya aktivitas perekonomian Jakarta, pendapatan pajak pemerintah pusat, pengembang, dan masyarakat yang ingin memiliki tempat tinggal,” kata Benny dalam keterangannya, Selasa (16/8/2016).
Baca Juga
Menurut Benny, reklamasi merupakan salah satu solusi untuk mengatasi semakin minimnya lahan di Jakarta. Sebab, jumlah penduduk di Ibu Kota terus bertambah setiap tahunnya. “Hal ini mengakibatkan harga lahan semakin naik. Jadi permintaan lebih besar daripada penawaran,” terang Benny.
Sementara itu, menurut Pengamat properti dari Indonesia Property Watch Ali Tranghanda persoalan minimnya lahan di Jakarta dan nasib reklamasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi para calon Gubernur yang akan dipilih pada tahun depan.
Menurutnya, ketersediaan lahan di Jakarta saat ini makin menipis seiring bertambahnya jumlah penduduk. Pengembangan kawasan baru yang sedang dikerjakan di Teluk Jakarta dinilai bisa menjadi solusi atas kekurangan lahan itu.
Ali menjelaskan kebutuhan lahan di tanah reklamasi untuk warga bisa diatur berdasarkan kesepakatan antara pengembang dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Salah satunya dengan mensyaratkan pemberian hunian vertikal. Menurut dia, izin seperti itu sangat mungkin diberikan Pemprov Jakarta terhadap pengembang.
“Dan hunian itu harus dikelola langsung Pemprov DKI,” kata dia.
Mekanisme penyiapan lahan bagi warga menengah ke bawah, menurut Ali, juga bisa disepakati kedua belah pihak. Hanya saja keharusannya adalah sekitar 20 persen lahan yang dibangun pengembang disiapkan sebagai bentuk fasilitas umum dan fasilitas sosial bagi warga Jakarta.
Ali menegaskan lahan bukan hanya diperlukan untuk kelas menengah ke bawah saja, melainkan juga kelas menengah ke atas. "Oleh karenanya, pengembangan kawasan baru tidak boleh hanya dilihat dari kacamata negatif," tegas dia.
Badan Pusat Statistik Jakarta mencatat berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 55,61 persen rumah tangga memiliki luas lantai rumah di bawah 50 m2 dan 20,92% di atas 100 m2. Ini mengindikasikan semakin sempitnya lahan di Jakarta yang digunakan sebagai hunian. (Yas/Gdn)