Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyegel lokasi pembangunan resor di Pulau Biawak, gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, yang merusak ekosistem mangrove dan terumbu karang setempat. Dua kedeputian KLH, yakni Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) dan Bidang Penegakkan Hukum (Gakkum) ditugaskan untuk mendalami kasus perusakan lingkungan tersebut.
Penyegelan dilakukan setelah mendapat laporan warga setempat yang terdampak akibat kerusakan mangrove yang masif. Dengan penyegelan tersebut, aktivitas apapun yang berkaitan pembangunan kawasan resor harus dihentikan total. "Berhenti total," kata Deputi Gakkum Irjen Pol. Rizal Irawan ditemui di lokasi, Kamis (23/1/2025).
Advertisement
Selanjutnya, pihaknya akan mendalami potensi kerugian yang diakibatkan proses pembangunan tidak bertanggung jawab tersebut. Rizal menyebut setidaknya ada tiga jenis kerugian yang dihitung, yakni kerugian ekonomi, kerugian sosial, dan kerugian lingkungan. KLH pun meminta bantuan ahli untuk mengukur kerugian tersebut, meliputi ahli lingkungan, ahli kerusakan, dan ahli valuasi.
Advertisement
"Tim sudah memanggil ahli... Mudah-mudahan ke depan kita sudah bisa menghitung. Tapi untuk batas waktu (penghitungan), tim ahli nantilah yang akan menjawab," sambungnya.
Lewat proses pendalaman tersebut, diharapkan bisa dipastikan luasan mangrove yang terdampak serta berapa banyak areal yang harus dipulihkan. Deputi PPKL Rasio Ridho Sani menyatakan bahwa bukan hanya Pulau Biawak yang rusak akibat pembangunan tidak bertanggung jawab, tetapi juga gugusan lain yang masuk dalam gugusan Pulau Pari yang juga rusak akibat reklamasi.
"Jadi tidak hanya lokasi ini, tapi beberapa lokasi lainnya yang diduga terjadi pelanggaran berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terjadi di lokasi ini," ujarnya tanpa menyebut spesifik.
Timbunan Karang-karang Mati
Berdasarkan pemantauan lapangan, ditemukan timbunan karang-karang yang mati di dekat areal hutan mangrove, tak jauh dari lokasi proyek pembangunan. Menurut Asmania, humas Forum Warga Peduli Pulau Pari, timbunan karang itu diurug menggunakan beko oleh pekerja perusahaan pemilik resor tanpa berkoordinasi dengan masyarakat setempat.
Diperkirakan kejadiannya berlangsung pada Kamis malam, 16 Januari 2025, saat warga sedang lengah. Warga Pulau Pari baru mengetahuinya keesokan harinya, Jumat, 17 Januari 2025, dan langsung meminta proses reklamasi yang diyakini ilegal dihentikan.
Saat berbincang dengan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq sebelumnya, perempuan yang akrab disapa Teh Aas itu mengungkapkan bahwa pekerja PT CPS, perusahaan yang diduga bertanggung jawab, telah mencabuti sekitar 40 ribu pohon mangrove berusia sekitar dua tahunan yang ditanam warga bersama wisatawan untuk melindungi lingkungan pantai dari abrasi. Hanya sedikit pohon yang masih bertahan di areal penanaman.
Aktivitas tersebut juga menghancurkan 62 meter persegi laut dangkal yang merupakan ekosistem terumbu karang dan padang lamun. Ekosistem itu sangat penting untuk bagi nelayan sekitar karena menjadi tempat tinggal ikan karang dan berbagai biota laut yang menjadi sumber mata pencaharian utama.
Advertisement
Kecewa KKP Tak Datang
Dalam kesempatan itu, Aas mengaku senang protes warga Pulau Pari akhirnya ditanggapi oleh KLH dengan penyegelan lokasi pembangunan. Hanya saja, ia mempertanyakan ketidakhadiran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dianggap ikut bertanggung jawab atas pengrusakan mangrove dan terumbu karang di laut sekitar tempat tinggalnya.
"KLH sudah datang, mana nih KKP? Kalau datang, saya ingin colek," ucapnya ditemui terpisah.
Sebelumnya, warga Pulau Pari mendesak KKP untuk segera mencabut Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang diterbitkan untuk pembangunan fasilitas pariwisata di gugusan Pulau Pari. Warga menilai proyek itu merusak ekosistem laut, seperti terumbu karang, mangrove, serta mengancam ruang hidup masyarakat nelayan setempat.
Kabar itu beredar luas di media sosial, termasuk di akun Instagram @lbh_jakarta, 20 Januari 2025. Menurut keterangan Walhi Jakarta, KKP memberikan persetujuan KKPRL kepada PT CPS untuk pembangunan cottage apung dan dermaga wisata pada 12 Januari 2024. Tetapi, warga baru mengetahui hal itu pada 6 September 2024 ketika pihak perusahaan membagikan dokumen tersebut langsung kepada warga.
"Padahal mereka adalah orang-orang yang paling terdampak dari pembangunan ini. Warga telah mengirimkan Keberatan Administratif, namun tidak mendapatkan tanggapan KKP," bunyi pernyataan Walhi Jakarta.
Koordinasi dengan Kementerian/Lembaga Terkait
Menanggapi hal itu, Rasio menyatakan bahwa KLH akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk kementerian/lembaga dan pemerintahan daerah terkait kegiatan pembangunan yang diduga merusak lingkungan kawasan Kepulauan Seribu, khususnya di sekitar gugusan Pulau Pari.
"Ya, tentu kami akan koordinasi. Ini akan kita koordinasi, tidak hanya dengan kementerian/lembaga terkait, tapi juga koordinasi dengan pemerintah daerah dalam hal ini Provinsi Daerah Khusus Jakarta," kata Rasio. Ia menambahkan bahwa koordinasi juga akan dilakukan berkaitan dengan kegiatan reklamasi.
Seruan untuk mendukung penyelamatan Pulau Pari pun ramai beredar di media sosial. Salah satunya lewat akun Instgram @save.pulaupari, "Belum selesai urusan klaim tanah dengan PT. Bumi Pari Asri, kini warga Pulau Pari harus menghadapi ancaman baru dari PT. Central Pondok Sejahtera (CPS). Kali ini, ekosistem laut dan mangrove mereka menjadi korban demi proyek cottage apung dan dermaga wisata," tulis keterangan unggahan pada Selasa, 21 Januari 2025.
"Ini saatnya kita semua ikut bersuara. Jangan biarkan pemerintah dan korporasi terus mengabaikan kepentingan rakyat. Bagikan cerita ini sekarang supaya makin banyak yang tahu dan ikut dukung perjuangan warga Pulau Pari," tambahnya.
Advertisement