Liputan6.com, Jakarta Selain faktor iklim, lonjakan harga cabai ‎yang terjadi di berbagai daerah dalam beberapa waktu terakhir ditengarai merupakan buntut permainan dari oknum-oknum nakal.
Oknum tersebut memanfaatkan pasokan cabai yang rendah untuk menaikan harga setinggi-tingginya guna mendapatkan keuntungan yang lebih besar.‎
Ketua Umum Koperasi Agrobisnis dan Agroindustri Sutarto Alimoeso mengatakan, pada dasarnya kenaikan harga pada saat-saat seperti ini wajar terjadi. Hal seperti ini telah terjadi sejak dulu dan mampu diantisipasi dengan baik.
‎
"Di sektor pangan selalu terjadi fluktuasi, ini karena ada hubungan dengan iklim. Apakah itu beras, apalagi cabai, sejak lama itu selalu seperti itu. Karena pada saat-saat tertentu suplainya memang kurang," ujar dia di Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (12/1/2017).
Advertisement
Baca Juga
Namun lonjakan harga cabai yang mencapai Rp 150 ribu seperti saat ini dinilai sudah tidak wajar. Sebab itu, Mantan Direktur Utama Perum Bulog ini menilai ada campur tangan oknum pebisnis nakal yang menyebabkan harga komoditas ini sangat tinggi.
"Berdasarkan pengalaman puluhan tahun, pada musim penghujan ini itu selalu terjadi di beberapa tempat kegagalan panen karena iklim. Begitu ada kegagalan sering sengaja dibesar-besarkan. Kemudian dimanfaatkan oleh pelaku bisnis nakal‎. Jadi sengaja dibuat isu, dibesar-besarkan. Begitu besar ada yang bermain," jelas dia.
Namun menurut Sutarto, sulit untuk mengidentifikasi pihak yang menjadi dalang dari lonjakan harga cabai ini. Sebab, dalam distribusi komoditas pertanian begitu banyak tangan di dalamnya.
"Di pertanian yang namanya middleman itu banyak. Terlebih di situasi tertentu di lapangan pungli (pungutan liar) juga banyak, itu sebabkan akhirnya biaya juga tinggi. Ini sebenarnya sudah tidak masuk akal," dia menjelaskan.
Agar lonjakan harga ini tidak kembali terulang, lanjut Sutarto, maka pemerintah harus mendorong penerapan teknologi penyimpanan dan pengolahan cabai.
Dengan demikian, pada saat ‎musim panen, cabai-cabai tersebut bisa disimpan dan diolah untuk didistribusikan saat pasokannya berkurang.
"Pengalaman biasanya pemerintah sudah siap-siap dan pada bulan-bulan begini akan terjadi shortage. Sehingga ke depannya kita harus teknologi yang bisa dipakai untuk menjaga pasokan cabai normal. Salah satunya dengan tidak usah makan cabai segar. Saat produksi tinggi diolah dalam bentuk pasta, bubuk dan lain-lain. Kan bisa," tandas dia.(Dny/Nrm)