RI Harus Pungut Cukai Minuman Berpemanis, Motor, dan BBM

Pemerintah diusulkan mengenakan cukai untuk minuman ringan berpemanis, kendaraan bermotor, dan bahan bakar minyak (BBM).

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 07 Feb 2017, 12:27 WIB
Diterbitkan 07 Feb 2017, 12:27 WIB
Pemerintah diusulkan mengenakan cukai untuk minuman ringan berpemanis, kendaraan bermotor, dan bahan bakar minyak (BBM).
Pemerintah diusulkan mengenakan cukai untuk minuman ringan berpemanis, kendaraan bermotor, dan bahan bakar minyak (BBM).

Liputan6.com, Jakarta Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengusulkan agar pemerintah mengenakan cukai untuk minuman ringan berpemanis, kendaraan bermotor, dan bahan bakar minyak (BBM). Usulan pungutan cukai atas tiga objek baru ini akan meningkatkan penerimaan negara dengan kontribusi hingga Rp 169 triliun.

Dalam Diskusi Publik Outlook Perpajakan 2017, diakui Prastowo, saat ini, pemerintah baru memungut cukai dari hasil tembakau atau rokok, minuman mengandung ethil alkohol (MMEA), serta ethil alkohol. "Kinerja bea cukai selama 35 tahun, pertama kali dalam sejarah, tahun ini pertumbuhan negatif," ujarnya di Tjikini Lima Restaurant, Jakarta, Selasa (7/2/2017).

Menurut Prastowo, kondisi ini bisa dilihat positif maupun negatifnya. "Kabar baiknya mungkin banyak orang berhenti merokok, minum minuman keras (miras). Kabar buruknya, mungkin menghisap rokok atau menenggak minuman ilegal yang tidak dikenai cukai," tegas dia.

Lebih jauh katanya, penerimaan cukai Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 1,2 persen. Sementara prosentase
penerimaannya cukup besar, itu artinya ada peluang bagi pemerintah untuk memungut cukai dari barang yang belum dikenai cukai selama ini.

"Penerimaan cukai terhadap PDB di Indonesia termasuk paling rendah dibanding Bolivia yang mencapai 7,8 persen. Kalau bisa sebesar Bolivia, penerimaan cukai kita berarti sampai Rp 700 triliun," jelas Prastowo.

Dia menambahkan, penerimaan cukai dari negara-negara dengan kinerja setoran cukai terbaik, diantaranya Bolivia, Turki, Polandia, dan Thailand paling besar berasal dari cukai kendaraan bermotor dan BBM. Kedua objek tersebut belum pernah dikenai cukai di Indonesia.

"Bolivia misalnya, penerimaan cukai terhadap PDB bisa 7,8 persen, paling tinggi berasal dari kontribusi cukai hydrocarbon minyak dan gas (migas). Sedangkan di Turki, ada cukai BBM, kendaraan bermotor, tembakau, dan minuman bersoda," paparnya.

Sementara di Polandia, penerimaan cukai terbesar berasal dari BBM, tembakau, dan miras. Sedangkan di Thailand ada cukai BBM, kendaraan bermotor, dan hasil tembakau.

"Jadi pemerintah bisa menerapkan pungutan cukai minuman ringan berpemanis, kendaraan bermotor, dan BBM. Kami meneliti barang-barang ini bisa jadi objek cukai selanjutnya," ucap Prastowo.

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), minuman ringan berpemanis berpotensi memicu obesitas. Hal ini sesuai dengan Undang-undang (UU) Cukai, bahwa cukai dikenakan untuk mengendalikan konsumsi karena berakibat buruk ke kesehatan, dan lainnya.

"Cukai bisa jadi instrumennya dan optimasi penerimaan negara karena dari data WHO, penyebab utama kematian adalah diabetes. Ada 47 juta orang Indonesia menderita obesitas yang berisiko menimbulkan penyakit jantung, pengeroposan tulang, dan sebagainya," terang dia.

Barang yang potensi kena cukai lainnya, kata dia, kendaraan bermotor. Sambungnya, kendaraan bermotor menimbulkan polusi udara. Jakarta dan Surabaya masuk dalam jajaran 10 negara dengan tingkat kemacetan terparah di dunia.

"Kendaraan bermotor selama ini dipungut PPnBM, tapi itu kalau masuk kategori barang mewah. Kendaraan bermotor di negara lain kena cukai, karena berdampak buruk. Ini aspek hukumnya ada, jadi bisa dipungut cukai di sini," Prastowo menerangkan.

Terakhir, dia bilang, cukai BBM. Prastowo menjelaskan, pemerintah dulu mencanangkan dana ketahanan energi untuk investasi energi baru dan terbarukan. Tapi faktanya, sulit dilaksanakan karena terbentur regulasi.

"Kenapa sulit? Kenakan saja cukai, jelas ada UU-nya. Selain itu, SKK Migas pernah bilang dalam 10 tahun mendatang, Indonesia akan menjadi nett importir karena lifting akan turun. Aspek hukum memenuhi, tinggal implementasinya oleh pemerintah," tuturnya.

Apabila pungutan cukai atas tiga barang tersebut dengan skema moderat pungutan cukai dan tarif cukai dari terendah sampai tertinggi, Prastowo menghitung ada potensi tambahan dari penerimaan cukai mencapai Rp 169 triliun.

"Kalau dikenakan cukai atas tiga objek cukai baru itu tahun ini dengan tarif terendah dan tertinggi, mampu menghasilkan tambahan penerimaan Rp 28,52 triliun sampai Rp 169 triliun atau 18,11 persen-65,69 persen dari target cukai di APBN 2017," tandas Prastowo. (Fik/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya