Gambaran Ekonomi RI yang Sehat versi Pemerintah dan Pengusaha

Pemerintah dan pengusaha menilai fundamental ekonomi Indonesia sangat sehat. Hal ini menjadi modal bagi daya tarik investor menanamkan modal

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 05 Mar 2017, 14:24 WIB
Diterbitkan 05 Mar 2017, 14:24 WIB
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi dunia
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi dunia (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta Pendiri Triputra Group, Theodore Permadi Rachmat atau biasa disingkat T.P. Rachmat menyoroti kesehatan ekonomi Indonesia. Fundamental perekonomian yang baik sangat diharapkan bagi perkembangan bisnis para pengusaha maupun investor untuk menanamkan modal di Indonesia.

T.P Permadi mengungkapkan, performa ekonomi Indonesia saat ini sangat baik di tengah perlambatan ekonomi dunia. Indonesia, sambungnya, menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi ketiga di dunia, setelah China dan India.

"Pertumbuhan ekonomi kita 5 persen, ketiga tertinggi di dunia setelah China 6,5 persen dan India 7,5 persen. Termasuk defisit transaksi berjalan di kisaran 2 persen-2,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)," T.P. Rachmat mengatakan Saat acara Diskusi Ekonomi bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di SCTV Tower, Jakarta, Minggu (5/3/2017). 

Mantan Pimpinan Grup Astra ini menambahkan, kesehatan makro ekonomi Indonesia bisa dilihat dari defisit fiskal tetap terjaga di level 2 persen-2,5 persen dari PDB, dan rasio utang pemerintah terhadap PDB diangka 28 persen.

"Banyak yang bilang utang kita sudah kebanyakan, tapi kalau dari rasio terhadap PDB 28 persen. Masih kecil di dunia, bandingkan dengan Jepang yang mencapai 200 persen dan Amerika Serikat (AS) 90 persen," dia menerangkan.

T.P. Rachmat lebih jauh melanjutkan, banyak hal yang sudah dilakukan pemerintah Joko Widodo (Jokowi) dalam kurun waktu 2 tahun lebih ini. Di antaranya, dia mengapresiasi langkah pemerintah untuk mengurangi subsidi energi secara signifikan dan dialikan untuk pembangunan infrastruktur.

Hal lainnya, T.P Rachmat mendukung langkah pemerintah menjalankan program pengampunan pajak (tax amnesty) guna meningkatkan penerimaan negara dan paling penting menaikkan basis data (tax based) pembayar pajak.

"Peringkat kemudahan berbisnis (EoDB) pun sudah membaik walaupun dibandingkan sama Thailand dan Singapura, kita masih punya banyak pekerjaan rumah," dia berucap.

Dia pun mengaku sangat senang dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang sangat dinantikan para pengusaha sejak lama. Termasuk adanya kebijakan pembebasan visa bagi turis di 169 negara yang berkunjung ke Indonesia. 

"Dulu pengusaha selalu bingung saat kenaikan gaji pekerja, tidak ada aturan. Tapi sekarang sudah ada formula sehingga memberi kepastian bagi pengusaha. Jadi apa yang dilakukan sudah cukup baik dalam dua tahun ini," T.P. Rachmat menegaskan. 

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengungkapkan hal yang sama mengenai kesehatan kondisi makro ekonomi Indonesia. "Pertumbuhan ekonomi kita relatif baik, tingkat kemiskinan turun, defisit transaksi berjalan mengecil, dan utang secara rasio dari PDB masih normal, malah termasuk yang terendah. Jadi secara makro, negara kita sehat," jelas Darmin.

Sejak pemerintah melakukan reformasi kebijakan pada 2014, diakui Darmin, pertumbuhan ekonomi bertahan di level 5,02 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sedikit lebih rendah dengan realisasi 4,79 persen di 2015. Namun bangkit kembali pada tahun lalu dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi 5,02 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi 2017 ditargetkan 5,1 persen di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017.

"Tidak banyak peningkatannya, tapi negara lain lebih buruk lagi pertumbuhan ekonominya. Di negara G20, kita satu dari tiga negara dengan pertumbuhan ekonomi 5 persen," Darmin menegaskan.

Keberhasilan lainnya, Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) mengakui karena upaya pemerintah serius menjalankan reformasi kebijakan, tingkat kemiskinan dan pengangguran konsisten menurun. Realisasi ketimpangan konsumsi atau pengeluaran antara penduduk kaya dan miskin (gini ratio) turun.

Untuk diketahui, gini ratio pada September 2016 turun 0,003 poin menjadi 0,394 dari sebelumnya 0,397 di Maret 2016. Sementara di September 2015, angka gini ratio masih 0,402."Gini ratio angkanya terus menerus turun. Salah satunya karena kita membangun infrastruktur sehingga distribusi pendapatan membaik," ujar  Darmin. (Fik/Zul)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya