Ini Risiko Bila RI Tak Penuhi Aturan Pertukaran Data Pajak

Pemerintah Indonesia tengah berupaya menyiapkan aturan untuk implementasi AEoI dan mengurangi praktik penghindaran pajak ke negara lain.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 22 Mar 2017, 19:16 WIB
Diterbitkan 22 Mar 2017, 19:16 WIB
Pajak
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan komitmen Indonesia untuk menerapkan pertukaran data otomatis untuk perpajakan (Automatic Exchange of Information/AEoI) dan pelaksanaan prinsip-prinsip penghindaran pajak (Base Erotion Profit Shifting/BEPS) pada 2018.

Sebab jika tidak memenuhi peraturan hingga Mei 2017, akan ada konsekuensi yang akan ditanggung Indonesia.

Dalam pertemuan G20 di Baden-Baden, Jerman, pada 17-18 Maret 2017, Sri Mulyani di depan para Menkeu dan Gubernur Bank Sentral G20 mengaku, ikut menyampaikan jika pemerintah Indonesia tengah berupaya menyiapkan aturan untuk implementasi AEoI dan mengurangi praktik penghindaran pajak ke negara lain.

Sri Mulyani pun memaparkan pencapaian program pengampunan pajak (tax amnesty) di Indonesia. Nilai deklarasi harta sampai dengan saat ini mencapai Rp 4.578 triliun, terdiri dari deklarasi harta di dalam negeri Rp 3.410 triliun dan luar negeri Rp 1.023 triliun.

"Sepertiga dari harta yang dideklarasikan berasal dari luar negeri. Itu artinya banyak basis pajak Indonesia mengalami erosi dan profit shifting ke negara lain. Jadi dengan kerja sama ini, kita ingin mengembalikan basis pajak dan mengurangi ruang untuk melarikan kewajiban pajak ke luar negeri," ucap Sri Mulyani di kantornya, Jakarta, Rabu (22/3/2017).

Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam rangka mendukung pelaksanaan AEoI.

Perppu ini untuk menggantikan beberapa pasal terkait kerahasiaan bank, yakni UU Perbankan, UU Perbankan Syariah, UU Pasar Modal, serta UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

"Sudah dilakukan review atas komitmen AEoI kita di Desember lalu, dan kita baru memenuhi sebagian," Sri Mulyani mengatakan.

Lebih jauh dia mengungkapkan, syarat AEoI, pertama memiliki peraturan perundang-undangan di tingkat primer sebagai jaminan akses informasi bagi Ditjen Pajak terhadap data-data Wajib Pajak kapanpun dan di manapun.

"UU Perbankan, UU Perbankan Syariah, dan UU Pasar Modal, maupun UU Perasuransian memiliki elemen kerahasiaan yang tidak bisa ditembus secara otomatis. Kalaupun punya akses harus melalui proses meminta dan ini dianggap tidak memenuhi syarat AEoI," jelas dia.

Syarat kedua, Indonesia harus mempunyai sistem pelaporan yang sama antar negara, baik format maupun kontennya supaya pertukaran informasi dianggap adil, seimbang dan bertanggungjawab.

Ketiga, menghendaki ada satu sistem informasi basis data yang standar dan tegas sehingga data yang di transfer terjaga dari kerahasiaan dan manajemennya.

"Untuk bisa ikut AEoI, peraturan perundangan untuk menghilangkan kerahasiaan bank ini seluruhnya harus selesai Mei ini. Kita juga akan terus memperbaiki sistem teknologi informasi maupun sistem pelaporan supaya setara dengan AEoI," dia mengatakan.

Untuk diketahui, komitmen Indonesia menerapkan AEoI sejak 2014. Dari 102 negara yang meneken komitmen implementasi pertukaran data tersebut, hampir separuhnya melaksanakannya di 2017. Sementara 50 persen sisanya mulai menjalankan di 2018, termasuk Indonesia.

Apabila tidak mencapai standar AEoI tersebut, Sri Mulyani menegaskan, Indonesia tidak akan mendapatkan informasi atau data untuk kepentingan pajak dari negara lain karena dianggap tidak mampu.

"Ini yang harus kita hindari karena kalau kita tidak mampu mengakses data Wajib Pajak yang menempatkan dana di luar negeri, Indonesia akan menghadapi kesulitan serius dalam mengumpulkan penerimaan pajak kita," Sri Mulyani menuturkan.  

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya