BPK Minta Pemerintah Kontrol Duit Subsidi Supaya Tak Jebol

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk pertama kalinya sejak 12 tahun lalu.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 26 Mei 2017, 12:27 WIB
Diterbitkan 26 Mei 2017, 12:27 WIB
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk pertama kalinya sejak 12 tahun lalu. (Fiki/Liputan6.com)
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk pertama kalinya sejak 12 tahun lalu. (Fiki/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Kementerian dan Lembaga (LKKL) Tahun 2016 kepada menteri-menteri ekonomi Kabinet Kerja. BPK memberikan sejumlah rekomendasi yang perlu mendapat perhatian pemerintah, salah satunya terkait subsidi dan dana jaminan sosial.

Ketua BPK, Moerhamadi Soerja Djanegara mengatakan, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk pertama kalinya sejak 12 tahun lalu.

"Opini WTP atas LKPP Tahun 2016 ini merupakan yang pertama kali diperoleh pemerintah pusat, setelah 12 tahun menyampaikan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN berupa LKPP sejak tahun 2004," kata dia di kantor BPK, Jakarta, Jumat (26/5/2017).

Moerhamadi lebih jauh menyebut, hasil pemeriksaan LKPP didasarkan pada 87 LKKL dan satu laporan keuangan Bendahara Umum Negara (BUN). Dari pemeriksaan tersebut diperoleh hasil WTP sebanyak 74 LKKL atau sebanyak 84 persen.

Status Wajar Dengan Pengecualian (WDP) sebanyak 8 LKKL atau setara 9 persen dan Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atau disclaimer sebanyak 6 LKKL atau sebanyak 7 persen. "Diharapkan perolehan LKKL dapat memberi kontribusi signifikan terhadap LKPP," katanya.

Dari hasil pemeriksaan LKPP, LKKL, dan LKKBUN, Moerhamadi memberikan rekomendasi atas sistem pengendalian internal dan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, meliputi:

1. Integrasikan sistem informasi pengelolaan dan penyusunan pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di tingkat K/L dan BUN
2. Penyelesaian kelebihan pembayaran atau penyimpangan belanja negara
3. Peningkatan pengawasan dan pengendalian barang milik negara
4. penetapan kebijakan tindakan khusus penyelesaian asef negatif Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)
5. Peningkatan peran aparatur pengawas negara.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota II BPK Bidang Perekonomian, Agus Joko Pramono menyatakan, pemberian opini pada laporan keuangan K/L maupun pemerintah bertujuan mengukur akuntabilitas pengelolaan keuangan di masing-masing entitas. Opini ini bisa menjadi batasan dari laporan keuangan masing-masing.

"Perlu dicatat, pemeriksaan dalam menyampaikan opini tidak dirancang untuk mencari ada atau tidak adanya fraud. Pemeriksaan yang dibuat untuk menghasilkan opini atas laporan keuangan sesuai dengan standar yang telah disepakati. Opini ini memberikan keyakinan yang wajar atas nilai-nilai yang ada," jelas Agus.

Agus menuturkan beberapa hal penting dari hasil pemeriksaan laporan keuangan tahun 2016:

Pertama, subsidi (Public Service Obligation/PSO) yang posisinya secara legal dibiarkan lepas. Artinya meskipun anggaran subsidi sudah dipatok pada besaran tertentu, namn dalam UU APBN membolehkan melampaui alokasi tersebut.

"Jadi perlu ada sistem yang mengontrol supaya subsidi tidak melampaui yang ditentukan Undang-undang (UU)," tegas Agus.

Kedua, pemerintah belum membahas cost liabilities di 2016 yang akan mempengaruhi laporan keuangan di tahun-tahun berikutnya. Ketiga menyoal defisit APBN. Menurutnya, pengukuran defisit fiskal APBN selama ini hanya berbasis kas, sehingga terjadi model pembayaran yang mengakibatkan perhitungan defisit APBN yang tidak menunjukkan angka sebenarnya.

Terakhir, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) diberikan mandat untuk mengelola dana jaminan sosial, baik untuk kesehatan maupun tenaga kerja.

"Tapi pada praktiknya, itu tidak cukup untuk meng-cover dana jaminan kesehatan dari masyarakat Indonesia. Setiap tahun terjadi defisit Rp 2 triliun dengan asumsi pemerintah memberikan injek atau tambahan dana Rp 6 triliun," Agus mengungkapkan.

Agus berharap, pengukuran defisit APBN di tahun ini akan menggunakan basis akuntabilitas yang mempertimbangkan utang-utang yang muncul bukan karena proses pembiayaan keuangan langsung.

"Jadi berbasis utang-utang yang bersifat spontan. Contohnya subsidi yang belum dibayar, pekerjaan selesai yang belum dibayar, sehingga esensi defisit anggaran setahun menjadi lebih terlihat akuntabel," dia mengatakan.

Tak ketinggalan, Agus pun meminta kepada pemerintah untuk mengontrol subsidi pada setiap entitas atau K/L yang diberikan amanat penagihan. "Supaya BPK tidak masuk di akhir, tapi sudah dilakukan pemeriksaan pendahuluan oleh pemerintah selaku pengelola subsdi. Kita akan lakukan pemantauan terhadap rekening kas negara," tandas dia.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya