Lika-liku Kasus Beras Maknyuss yang Diduga Rugikan Negara

Produsen beras Maknyuss dan Cap Ayam Jago diduga melakukan praktik curang yaitu mengoplos beras subsidi dikemas ulang menjadi beras premium.

oleh Zulfi Suhendra diperbarui 24 Jul 2017, 18:47 WIB
Diterbitkan 24 Jul 2017, 18:47 WIB
20161227-Beras-Jakarta-AY
Tumpukan karung beras di pasar induk Cipinang, Jakarta, Selasa (27/12). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kasus beras oplosan kini tengah hangat diperbincangkan menyusul penggerebekan Tim Satuan Tugas (Satgas) Ketahanan Pangan dan Operasi Penurunan Harga Beras Mabes Polri ke sebuah gudang beras di Jalan Raya Rengas Bandung, Km 60, Kedungwaringin, Kabupaten Bekasi pada Kamis 20 Juli malam.

Penggerebekan yang dipimpin oleh Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian dan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman ini membuahkan hasil. Gudang milik PT Indo Beras Unggul (IBU) diduga melakukan praktik curang, yaitu mengoplos beras subsidi dikemas ulang menjadi beras premium bermerek Cap Ayam Jago dan Maknyuss yang dijual dengan harga tinggi.

Dalam operasi tersebut, 15 karyawan gudang telah diperiksa. Begitu pula pemilik gudang telah diidentifikasi dan tengah dalam perburuan polisi.

Para pelaku akan terancam pidana dengan Pasal 120 ayat (1) juncto Pasal 53 ayat (1) huruf b UU RI No 3/2014 tentang Perindustrian, Pasal 106 juncto Pasal 24 ayat (1), Pasal 107 juncto 29 ayat (1) dan Pasal 113 juncto Pasal 57 ayat (2) UU RI Nomor 7/2014 tentang Perdagangan; Pasal 139 juncto Pasal 84 ayat (1) UU RI Nomor 18/2012 tentang Pangan dan Pasal 62 ayat (1) juncto Pasal 8 UU RI No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Pemerintah menduga negara menderita kerugian puluhan triliun rupiah. Namun, hal tersebut dibantah oleh pihak dari PT Tiga Pilar Sejahtera, yang merupakan induk usaha dari PT IBU.

Lantas, benarkah negara merugi dan PT IBU melakukan praktik kecurangan?

Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, modus yang dilakukan perusahaan ini yaitu dengan mengganti kemasan beras subsidi menjadi beras premium yang dijual dengan harga beras premium.

"Mereka membeli beras IR 64, beras yang disubsidi pemerintah. Kemudian dipoles menjadi beras premium dan dijual dengan harga tinggi," ujar Amran di lokasi pekan lalu.

Hitung-hitungannya, beras subsidi jenis IR64 dibeli dengan harga Rp 7.000 per kilogram (kg), kemudian dijual berkali-kali lipat hingga mencapai Rp 24 ribu per kg. Perusahaan diduga meraup keuntungan yang sangat besar karena praktik ini.

Kapolri Jenderal Tito juga menambahkan, pihaknya tidak segan menindak tegas para mafia dan kartel beras yang nekat memainkan harga beras. Sebab, sepertiga uang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dikucurkan untuk mensubsidi komoditas beras.

"Karena kita lihat potensi pelanggaran hukum dalam komoditas beras ini tidak main-main. Uang yang beredar untuk komoditas paling tinggi dari sembako adalah beras, karena mencapai Rp 488 triliun, jadi hampir sepertiga dari APBN kita. Ini upaya menyelamatkan uang negara, seperti dalam penindakan kasus korupsi," jelas Tito.

Dugaan Pelanggaran


Dugaan Pelanggaran

Polisi menduga ada dua poin pelanggaran yang dilakukan oleh PT IBU. Pertama pembelian di atas harga rata-rata di mana beras IR64, ditetapkan harga eceran tertingginya sebesar Rp 9.000 per kg namun dijual lebih tinggi ndari itu bahkan dua kali lipat.

Kemudian yang kedua adalah pelanggaran tindak pidana persaingan usaha.

"Selain melanggar tindak pidana persaingan curang sebagaimana termaktub dalam Pasal 382 BIS KUHP, dua anak perusahaan itu diduga juga melanggar Undang-Undang Pangan No 18 Tahun 2012 tentang Pangan yaitu Pasal 141 dan 89 dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen," kata Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto.

Polri juga mendapatkan temuan soal pembohongan publik soal nilai gizi beras.

Berdasarkan hasil laboratorium, beras merk Ayam Jago mencantumkan kadar protein sebesar 14 persen, padahal lebih kecil yaitu hanya 7,73 persen. Kadar karbohidrat tercantum 25 persen, padahal lebih besar yaitu 81,45 persen. Lalu kadar lemak tercantum 6 persen padahal lebih kecil yaitu hanya 0,38 persen.

Sementara untuk beras merek Maknyuss, dalam kemasan dicantumkan kadar protein 14 persen, padahal lebih kecil yaitu hanya 7,72 persen. Kadar karbohidrat 27 persen, padahal lebih besar yaitu 81,47 persen. Lalu kadar lemak tercantum 0 persen padahal lebih besar yaitu 0,44 persen.

"Ini mencurigakan. Ada apa dengan perbedaan kandungan nilai gizi itu? Sekadar memainkan mutu beras? Persoalan bisnis semata? Atau merupakan usaha sejenis melemahkan bangsa ini, karena yang dikonsumsi oleh masyarakat selama ini justru mengandung protein, karbohidrat, dan lemak yang justru terindikasi memainkan kesehatan masyarakat melalui pangan," papar Ari.

Berdasarkan temuan, PT IBU dan PT SAKTI menjual beras yang dioplos tersebut dengan harga berikut:

Merk Ayam Jago Rp 102 ribu/5 kg = Rp 20.400/kg, Maknyuss Rp 68.500/5 kg = Rp 13.700/kg, Jatisari Rp 65.900/5 kg = Rp 13.180/kg, Rumah Adat Rp 101.500/5 kg = Rp 20.300/kg, Desa Cianjur Rp 101.500/5 kg = Rp 20.300/kg.

Kedua anak perusahaan itu diduga telah melanggar Pasal 382 BIS KUHP, dan Permendag No. 27/M-DAG/PER/2017. Dimana untuk harga acuan pembelian di petani, gabah kering panen Rp 3.700/kg, gabah kering giling Rp 4.600/kg, dan beras Rp 7.300/kg. Sedangkan harga acuan penjualan di konsumen untuk beras Rp 9.500/kg.

Hitung-hitungan Kerugian ke Negara


Hitung-hitungan Kerugian ke Negara

Kementerian Pertanian menegaskan jika kerugian negara terkait dugaan pemalsuan dan pengoplosan beras subsidi di gudang beras milik PT IBU benar mencapai Rp 10 triliun.

"Hitungan kerugiannya seperti ini, yaitu harga beras di petani sekitar Rp 7.000/kg dan harga premium di konsumen sampai Rp 20.000/kg. Jika diasumsikan selisih harga ini minimal Rp 10.000/kg dengan pengkalian beras premium yang beredar 1,0 juta ton atau 2,2 persen dari beras 45 juta ton setahun, maka kerugian keekonomian ditaksir Rp 10 triliun," ujar Kepala Subbidang Data Sosial-Ekonomi pada Pusat Data dan Sistem Informasi, Ana Astrid dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu 22 Juli 2017.

Dia pun menjelaskan, yang dimaksud beras subsidi dimulai saat proses memproduksi beras tersebut. Terdapat subsidi input yaitu subsidi benih Rp 1,3 triliun dan subsidi pupuk Rp 31,2 triliun. Ini ditambah bantuan sarana dan prasarana bagi petani dari pemerintah yang nilainya dikatakan mencapai triliunan rupiah.

"Di luar subsidi input, ada juga subsidi beras sejahtera (Rastra) untuk rumahtangga sasaran (pra sejahtera) sekitar Rp 19,8 triliun yang distribusinya satu pintu melalui BULOG, dan tidak diperjualbelikan di pasar," jelas Ana.

Padi varietas IR64 merupakan salah satu benih dari Varietas Unggul Baru (VUB), di antara varietas Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo dan lainnya. VUB ini total digunakan petani sekitar 90 persen dari luas panen padi 15,2 juta hektar setahun.

"Memang benih padi varietas IR64 cukup lama populer sejak tahun 80-an, sehingga sering menjadi sebutan tipe beras, dengan ciri bentuk beras ramping dan tekstur pulen, masyarakat sering menyebut beras IR, meskipun sebenarnya varietas VUB nya beda-beda, bisa Ciherang, Impari dan lainnya” ungkap Ana.

Kesukaan petani terhadap IR64 ini sangat tinggi, sehingga setiap akan mengganti varietas baru selalu diistilahkan dengan IR64 baru. Akibatnya seringkali diistilahkan varietas unggu baru itu adalah sejenis IR. Apapun varietasnya yang sebagian petani menyebut benih jenis IR.

"Seluruh beras medium dan premium itu kan berasal dari gabah varietas Varietas Unggul Baru (VUB) yaitu IR64, Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo dan lainnya yang diproduksi dan dijual dari petani kisaran Rp 3.500-4.700 per kilogram gabah," terang Ana.

Dari hal ini, menurut Ana, PT IBU diketahui membeli gabah/beras jenis varietas VUB dan harga beli dari petani relatif sama. Selanjutnya diolah menjadi beras premium dan dijual ke konsumen dengan harga tinggi.

Ini yang menyebabkan disparitas harga tinggi, marjin yang perusahaan peroleh tinggi bisa hingga 100 persen.

"Mereka memperoleh marjin di atas normal profit, sementara petani menderita dan konsumen menanggung harga tinggi," tutur dia.

Sementara perusahaan lain membeli gabah ke petani harga yang sama dan diproses menjadi beras medium dengan harga normal medium.

Lebih lanjut Ana menegaskan negara dirugikan akibat perilaku seperti ini. Kerugian pertama, uang negara dibelanjakan untuk membantu produksi petani, namun petani tidak menikmati.

Produk dari petani diolah perusahaan sedemikian rupa menjadi premium dan dijual harga tinggi kepada konsumen. Tidak ada distribusi keuntungan wajar antar pelaku.

Terkait kebijakan HET yang dikatakan mendadak, Ana mengatakan harga acuan di konsumen atau biasa disebut Harga Atas tidak berlaku mendadak. Penerbitan HET sudah berlaku sejak tahun lalu.

Ini seiring penerbitan Permendag Nomor 63/M-DAG/PER/09/2016 dengan harga acuan beras di petani Rp 7.300/kg dan di konsumen Rp 9.500/kg. Selanjutnya pada Juli 2017 diterbitkan Permendag Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017 dengan harga acuan beras di petani Rp 7.300/kg dan di konsumen Rp 9.000/kg.

"Harga beras rerata sekarang Rp 10.500 per kilogram itu kan tinggi, karena terbentuk dari adanya beras yang dijual tinggi selama ini," jelas dia.

Harga acuan dikatakan sudah mempertimbangkan kelayakan usaha tani, biaya distribusi dan keuntungan wajar bagi setiap pelaku. Proses perhitungan harga acuan sudah dibahas bersama para pihak, petani, pedagang, asosiasi dan lainnya.

 

Pembelaan Mantan Mentan

Pembelaan Mantan Mentan

Kasus ini pun menyeret nama mantan Menteri Pertanian Anton Apriyantono. Anton disebut merupakan Komisaris Utama PT Tiga Pilar Sejahtera, yang tak lain adalah induk perusahaan PT IBU.

Penelusuran Liputan6.com, dalam situs tigapilar.com, Anton Apriyantono duduk sebagai Komisaris Utama dan Komisaris Independen. Di laman tersebut, terpampang foto kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menjadi Menteri Pertanian di masa era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu.

Sementara Wakil Komisaris PT TPS adalah Kang Hongkie Widjaja. Ada juga nama penggiat kuliner Bondan Haryo Winarno sebagai Komisaris Independen.
Anton mengatakan, apa yang dituduhkan kepada perusahaannya itu fitnah besar.

"Itu fitnah besar. Jelas tidak benar. Apa definisi mengoplos? Kami kan menjual merek dengan kualitas tertentu, bukan varietas tertentu," kata Anton.

Varietas IR 64, ujar Anton, merupakan varietas lama yang sudah digantikan dengan varietas yang lebih baru yaitu Ciherang. Kemudian diganti lagi dengan Inpari.

"Jadi di lapangan, IR 64 itu sudah tidak banyak lagi. Selain itu, tidak ada yang namanya beras IR 64 yang disubsidi, ini sebuah kebohongan publik yang luar biasa," ujar Anton.

Dia menambahkan, yang ada adalah beras raskin. Subsidi bukan pada berasnya, tapi pada pembeliannya, beras raskin tidak dijual bebas, hanya untuk konsumen miskin."

Menurut Anton yang mengaku bergabung dengan PT TPS 3 atau 4 tahun lalu, di dunia perdagangan beras dikenal namanya beras medium dan beras premium, SNI untuk kualitas beras juga ada.

"Yang diproduksi TPS sudah sesuai SNI untuk kualitas atas," jelas dia.

Anton juga membantah tuduhan yang menyebut negara dirugikan terkait kasus ini.

"Kalau dibilang negara dirugikan, dirugikan di mananya? Apalagi sampai bilang ratusan triliun, lha wong omzet beras TPS saja hanya Rp 4 triliun per tahun, lagi-lagi pejabat negara melakukan kebohongan publik," ucap Anton, seraya menyebut tuduhan menjual di atas HET itu tidak bijak. (Baca juga: Dituding Rugikan Negara, Berapa Omzet Produsen Beras Maknyuss?)

Anton sendiri meminta sebelum pemeriksaan, tuduhan dugaan pemalsuan beras subsidi itu dikonfirmasi dulu.

"Sebelum melakukan itu tolong konfirmasi dulu tuduhannya, dikaji ulang," pinta Anton Apriyantono.

Direktur Tiga Pilar Sejahtera Jo Tjong Seng mengungkapkan apa yang dituduhkan kepada anak usahanya mengenai kecurangan dalam penjualan beras tersebut tidaklah benar.

"Kami sudah sampaikan kepada investor bahwa itu tidak benar. kami sudah berikan update ke mereka mengenai tahapan produksi yang kita lakukan. Kami tegaskan kami tidak melakukan pelanggaran dan produksi masih normal," kata dia di Jakarta, Sabtu (22/7/2017).

Dia menjelaskan harga beras hasil produksinya selama ini lebih murah dari pasaran karena kategori gabah yang perusahaan dapatkan berbeda dengan beras kualitas premium yang lainnya.

Selain itu, gabah yang kemudian diolah menjadi beras kualitas premium tersebut sudah sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).

"Jadi tidak ada upaya monopoli di sini. Gabah yang kami beli punya spesifikasi tersendiri jadi tidak bisa dibandingkan langsung dengan yang lan," tegas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya